Kho Ping Hoo, Suling Emas Jilid 9 Bagian 2
loading...
A
A
A
Kho Ping Hoo, Suling Emas Jilid 9 Bagian 2
Hwesio itu meleset pergi dengan gerakan cepat sekali. Liu Sian makin tertarik. Ia sudah mendengar dari ayahnya akan nama Sin-jiu Couw Pa Ong yang terhitung seorang diantara tokoh-tokoh besar di dunia persilatan.
Menurut cerita ayahnya, Couw-Pa Ong adalah seorang Raja Muda Kerajaan Tang yang memiliki ilmu silat tinggi sekali, seorang yang mempertahankan Kerajaan Tang, akan tetapi karena pengeroyokan orang-orang gagah yang berusaha menjatuhkan kerajaan itu, ia kalah dan terpukul hancur kedua kakinya.
Semenjak itu orang tidak mendengar lagi namanya dan ia dianggap sebagai seorang pelarian yang selalu dicari oleh Kerajaan Liang untuk dibinasakan. Sekarang ia secara kebetulan bertemu dengan tokoh ini, menyaksikan keganasan yang luar biasa dan juga sebentar lagi ia akan menyaksikan kelihaian kakek lumpuh ini menghadapi empat orang gagah yang berjuluk Wei-ho Si-eng.
Maka ketika ia melihat kakek itu keluar dari gubuk, duduk di atas dipan bambu dan dipukul dua orang pelayannya, secara diam-diam ia mengikuti dari jauh. Tidak berani ia mengikuti terlalu dekat karena kakek lihai itu berbahaya sekali dan ia tidak mau melibatkan diri dalam pertandingan yang sama sekali tidak ada sangkut-pautnya dengan dirinya. Maka ia malah mendahului larinya dua orang pemikul itu, menuju ke tepi sungai, ia melihat empat orang sudah menanti musuh. Ia memperhatikan mereka.
Di bawah sinar bulan yang penuh dan terang, ia melihat seorang hwesio setengah tua, yang ia duga tentulah hwesio yang tadi dipatahkan toyanya oleh Si Kakek Lumpuh. Hwesio ini bertangan kosong, akan tetapi melihat bentuk tubuhnya yang tegap, dapat dibayangkan bahwa tanpa toya, hwesio bernama Houw Hwat Hwesio murid Siauw-lim-pai ini tentulah seorang lawan yang cukup tangguh.
Orang ke dua adalah seorang laki-laki berusia tiga puluh tahun lebih, memegang sebatang tongkat baja, berdiri tegak memandang ke depan. Orang ke tiga adalah seorang tosu (pendeta To) yang tidak memegang senjata apa-apa, akan tetapi pinggangnya terlibat sebuah cambuk hitam. Adapun orang ke empat adalah seorang wanita berusia empat puluh tahun, dipunggungnya terselip sebatang pedang. Mereka berempat berdiri dengan sikap tegang dan memandang ke depan, menanti datangnya musuh mereka yang lihai, yang akan muncul dari arah timur.
Lu Sian juga memandang ke arah itu. Dan tak lama kemudian, di bawah sinar bulan yang mencorong yang merupakan bola api merah bulat di sebelah timur, muncullah dua orang pemikul itu, berjalan dengan langkah lebar setengah berlari. Kakek lumpuh itu bersila di atas dipan bambu, rambutnya sebagian besar menutupi muka, menyembunyikan sepasang matanya yang bersinar-sinar seperti mata harimau. Suasana menjadi tegang sekali, dan ini terasa oleh Liu Lu Sian yang sudah merasa gembira karena sebentar lagi ia akan menyaksikan pertandingan hebat.
"Berhenti!" Kakek lumpuh mengomando dan kedua orang pemikul itu berhenti pada jarak dua puluh meter dari keempat orang yang sudah siap itu. Tiba-tiba pikulan itu berikut dipan bambu dan kakek lumpuh, terlempar ke atas, melayang ke depan dan turun ke atas tanah di depan empat orang musuh, turun tanpa suara dan tanpa menimbulkan debu seakan-akan sehelai daun kering melayang turun dari pohon.
Bukan main hebatnya gin-kang (ilmu meringankan tubuh) yang diperlihatkan kakek lumpuh itu! Dua orang pemikul lau berjongkok dan sikap mereka tidak peduli. Agaknya sudah terlalu sering mereka ini melihat tuan mereka bertempur atau membunuh orang. Memang selama belasan tahun ini setelah Kerajaan Tang roboh, Sin-jiu Couw Pa Ong yang sudah mengganti namanya menjadi Kong Lo Sengjin, kerjanya hanyalah mencari perkara dan membunuhi orang-orang yang dianggapnya tidak setia kepada Kerajaan Tang yang sudah roboh.
Dalam kecewanya dan sakit hatinya karena kedua kakinya lumpuh, kakek ini menjadi seperti tidak normal lagi pikirannya, menjadikan ia ganas kejam dan gila-gilaan!
"Nah, kalian menentangku, aku sudah datang. Majulah!" dengan sikap tenang saja, masih bersila, kedua tangannya diletakkan di atas paha, kakek itu menantang.
Hwesio itu mewakili teman-temannya menjawab setelah melangkah maju setindak, "Couw Pa Oag, sebelum kami turun tangan terhadapmu, baiklah kau ketahui lebih dulu bahwa kami bukanlah rang-orang yang tidak tahu bahwa kau seorang bekas raja muda yang setia terhadap rajamu, dan di samping itu seorang yang terkenal di dunia kang-ouw. Kalau kau membunuhi musuh-musuhmu atau membunuhi orang-orang yang kau anggap telah menghianati Kerajaan Tang, itu pinceng dan adik-adik pinceng ini tidak akan ambil peduli. Akan tetapi secara kejam kau membunuhi para pengungsi hanya karena mereka hendak mengungsi ke daerah Kerajaan Liang, hal ini amatlah keji dan bukan hanya kami, melainkan semua orang gagah tentu akan menentangmu. (Bersambung)
Hwesio itu meleset pergi dengan gerakan cepat sekali. Liu Sian makin tertarik. Ia sudah mendengar dari ayahnya akan nama Sin-jiu Couw Pa Ong yang terhitung seorang diantara tokoh-tokoh besar di dunia persilatan.
Menurut cerita ayahnya, Couw-Pa Ong adalah seorang Raja Muda Kerajaan Tang yang memiliki ilmu silat tinggi sekali, seorang yang mempertahankan Kerajaan Tang, akan tetapi karena pengeroyokan orang-orang gagah yang berusaha menjatuhkan kerajaan itu, ia kalah dan terpukul hancur kedua kakinya.
Semenjak itu orang tidak mendengar lagi namanya dan ia dianggap sebagai seorang pelarian yang selalu dicari oleh Kerajaan Liang untuk dibinasakan. Sekarang ia secara kebetulan bertemu dengan tokoh ini, menyaksikan keganasan yang luar biasa dan juga sebentar lagi ia akan menyaksikan kelihaian kakek lumpuh ini menghadapi empat orang gagah yang berjuluk Wei-ho Si-eng.
Maka ketika ia melihat kakek itu keluar dari gubuk, duduk di atas dipan bambu dan dipukul dua orang pelayannya, secara diam-diam ia mengikuti dari jauh. Tidak berani ia mengikuti terlalu dekat karena kakek lihai itu berbahaya sekali dan ia tidak mau melibatkan diri dalam pertandingan yang sama sekali tidak ada sangkut-pautnya dengan dirinya. Maka ia malah mendahului larinya dua orang pemikul itu, menuju ke tepi sungai, ia melihat empat orang sudah menanti musuh. Ia memperhatikan mereka.
Di bawah sinar bulan yang penuh dan terang, ia melihat seorang hwesio setengah tua, yang ia duga tentulah hwesio yang tadi dipatahkan toyanya oleh Si Kakek Lumpuh. Hwesio ini bertangan kosong, akan tetapi melihat bentuk tubuhnya yang tegap, dapat dibayangkan bahwa tanpa toya, hwesio bernama Houw Hwat Hwesio murid Siauw-lim-pai ini tentulah seorang lawan yang cukup tangguh.
Orang ke dua adalah seorang laki-laki berusia tiga puluh tahun lebih, memegang sebatang tongkat baja, berdiri tegak memandang ke depan. Orang ke tiga adalah seorang tosu (pendeta To) yang tidak memegang senjata apa-apa, akan tetapi pinggangnya terlibat sebuah cambuk hitam. Adapun orang ke empat adalah seorang wanita berusia empat puluh tahun, dipunggungnya terselip sebatang pedang. Mereka berempat berdiri dengan sikap tegang dan memandang ke depan, menanti datangnya musuh mereka yang lihai, yang akan muncul dari arah timur.
Lu Sian juga memandang ke arah itu. Dan tak lama kemudian, di bawah sinar bulan yang mencorong yang merupakan bola api merah bulat di sebelah timur, muncullah dua orang pemikul itu, berjalan dengan langkah lebar setengah berlari. Kakek lumpuh itu bersila di atas dipan bambu, rambutnya sebagian besar menutupi muka, menyembunyikan sepasang matanya yang bersinar-sinar seperti mata harimau. Suasana menjadi tegang sekali, dan ini terasa oleh Liu Lu Sian yang sudah merasa gembira karena sebentar lagi ia akan menyaksikan pertandingan hebat.
"Berhenti!" Kakek lumpuh mengomando dan kedua orang pemikul itu berhenti pada jarak dua puluh meter dari keempat orang yang sudah siap itu. Tiba-tiba pikulan itu berikut dipan bambu dan kakek lumpuh, terlempar ke atas, melayang ke depan dan turun ke atas tanah di depan empat orang musuh, turun tanpa suara dan tanpa menimbulkan debu seakan-akan sehelai daun kering melayang turun dari pohon.
Bukan main hebatnya gin-kang (ilmu meringankan tubuh) yang diperlihatkan kakek lumpuh itu! Dua orang pemikul lau berjongkok dan sikap mereka tidak peduli. Agaknya sudah terlalu sering mereka ini melihat tuan mereka bertempur atau membunuh orang. Memang selama belasan tahun ini setelah Kerajaan Tang roboh, Sin-jiu Couw Pa Ong yang sudah mengganti namanya menjadi Kong Lo Sengjin, kerjanya hanyalah mencari perkara dan membunuhi orang-orang yang dianggapnya tidak setia kepada Kerajaan Tang yang sudah roboh.
Dalam kecewanya dan sakit hatinya karena kedua kakinya lumpuh, kakek ini menjadi seperti tidak normal lagi pikirannya, menjadikan ia ganas kejam dan gila-gilaan!
"Nah, kalian menentangku, aku sudah datang. Majulah!" dengan sikap tenang saja, masih bersila, kedua tangannya diletakkan di atas paha, kakek itu menantang.
Hwesio itu mewakili teman-temannya menjawab setelah melangkah maju setindak, "Couw Pa Oag, sebelum kami turun tangan terhadapmu, baiklah kau ketahui lebih dulu bahwa kami bukanlah rang-orang yang tidak tahu bahwa kau seorang bekas raja muda yang setia terhadap rajamu, dan di samping itu seorang yang terkenal di dunia kang-ouw. Kalau kau membunuhi musuh-musuhmu atau membunuhi orang-orang yang kau anggap telah menghianati Kerajaan Tang, itu pinceng dan adik-adik pinceng ini tidak akan ambil peduli. Akan tetapi secara kejam kau membunuhi para pengungsi hanya karena mereka hendak mengungsi ke daerah Kerajaan Liang, hal ini amatlah keji dan bukan hanya kami, melainkan semua orang gagah tentu akan menentangmu. (Bersambung)
(dwi)