Sejarah Panjang Sunscreen, dari Era Mesir Kuno hingga Perang Dunia II
Jum'at, 28 April 2023 - 14:13 WIB
JAKARTA - Sunscreen atau yang dikenal tabir surya merupakan produk perawatan kulit untuk melindungi kulit dari paparan sinar ultraviolet (UV). Memiliki manfaat yang penting, ternyata sunscreen mempunyai sejarang yang panjang.
Seperti dilansir cosmoderma.org, pada 4000 SM orang Mesir sudah menggunakan ekstrak bekatul, melati, lupin untuk melindungi kulit dari panasnya sinar matahari .
Masing-masing bahan tersebut memiliki manfaatnya sendiri. Bekatul mampu menyerap sinar ultraviolet, melati dapat membantu memperbaiki DNA, sedangkan lupin membantu mencerahkan kulit.
Pada 1938, seorang mahasiswa kimia Swiss bernama Franz Greiter mengalami sengatan matahari usai mendaki Gunung Piz Buin. Kemudian, peristiwa itu menginspirasinya untuk menciptakan sunscreen atau tabir surya.
Enam tahun kemudian, Benjamin Green, seorang penerbang dan apoteker menggunakan zat berminyak red vet pet (petrolatum veteriner merah) guna melindungi dirinya serta tentara lain dari sinar ultraviolet saat Perang Dunia II. Kala itu, tekstur yang dibuatnya berat dan kental.
Seiring berjalannya waktu, Franz Greiter pun mengembangkan sunscreen buatannya. Hingga pada 1946, dia memasarkan produk glacier cream dengan merek Piz Buin. Pada 1970, merek Piz Buin meluncurkan produk sunscreen dengan filter ultraviolet (UV) A serta B.
Selang 8 tahun, Food and Drug Administration (FDA) mengusulkan untuk membuat standar sunscreen demi keamanan dan efektivitas.
Standar tersebut termasuk penetapan pengujian serta pelabelan SPF (Sun Protection Factor). Selanjutnya, pada 1988, FDA menyetujui sunscreen yang mengandung filter khusus UVA dan UVB.
Sunscreen dengan SPF 15 sampai 30 pun mulai dipasarkan pada era 1990-an. Saat ini, sunscreen hadir dengan tekstur yang beragam, mulai dari krim, gel, stick, hingga spray.
Seperti dilansir cosmoderma.org, pada 4000 SM orang Mesir sudah menggunakan ekstrak bekatul, melati, lupin untuk melindungi kulit dari panasnya sinar matahari .
Masing-masing bahan tersebut memiliki manfaatnya sendiri. Bekatul mampu menyerap sinar ultraviolet, melati dapat membantu memperbaiki DNA, sedangkan lupin membantu mencerahkan kulit.
Pada 1938, seorang mahasiswa kimia Swiss bernama Franz Greiter mengalami sengatan matahari usai mendaki Gunung Piz Buin. Kemudian, peristiwa itu menginspirasinya untuk menciptakan sunscreen atau tabir surya.
Enam tahun kemudian, Benjamin Green, seorang penerbang dan apoteker menggunakan zat berminyak red vet pet (petrolatum veteriner merah) guna melindungi dirinya serta tentara lain dari sinar ultraviolet saat Perang Dunia II. Kala itu, tekstur yang dibuatnya berat dan kental.
Seiring berjalannya waktu, Franz Greiter pun mengembangkan sunscreen buatannya. Hingga pada 1946, dia memasarkan produk glacier cream dengan merek Piz Buin. Pada 1970, merek Piz Buin meluncurkan produk sunscreen dengan filter ultraviolet (UV) A serta B.
Selang 8 tahun, Food and Drug Administration (FDA) mengusulkan untuk membuat standar sunscreen demi keamanan dan efektivitas.
Standar tersebut termasuk penetapan pengujian serta pelabelan SPF (Sun Protection Factor). Selanjutnya, pada 1988, FDA menyetujui sunscreen yang mengandung filter khusus UVA dan UVB.
Sunscreen dengan SPF 15 sampai 30 pun mulai dipasarkan pada era 1990-an. Saat ini, sunscreen hadir dengan tekstur yang beragam, mulai dari krim, gel, stick, hingga spray.
(nug)
tulis komentar anda