Pentingnya Penerapan Kesehatan dan Keselamatan Kerja, Harus Lebih Promotif dan Preventif
Selasa, 30 Januari 2024 - 19:42 WIB
“Dan, yang juga tidak boleh dilupakan, para pekerja adalah tulang punggung keluarga,” tegas Prof. Budi. Dengan kondisi yang semacam itu, lanjut dia, kesehatan dan keselamatan pekerja harus menjadi tujuan penting dalam penerapan budaya K3 di Indonesia.
Prof. Budi juga menekankan pentingnya kita untuk mengantisipasi perubahan lingkungan kerja. “Kita sedang berada dalam masa transisi menuju era Industry 5.0. Era tersebut akan memicu munculnya beberapa perubahan. Misalnya, munculnya budaya kerja baru, bentuk dan pola kerja baru, perubahan jam kerja, dan bahkan lahirnya profesi-profesi baru,” ujarnya.
“Kondisi tersebut memerlukan penyesuaian, transformasi dan inovasi, pada semua sektor kehidupan dengan tetap menjaga efektivitas dan efisiensi dalam mencegah terjadinya kecelakaan kerja dan PAK,” ujar Prof. Budi.
Di Fakultas Kedokteran, Presuniv, lanjut Prof. Budi, para mahasiswanya sejak awal sudah diperkenalkan dengan budaya K3 melalui kurikulum dan kecirian kesehatan kerja.
“Mereka sedini mungkin juga sudah memperoleh paparan program-program K3 langsung dari lapangan. Ini agar mereka lebih memahami upaya untuk meningkatkan keselamatan dan kesehatan pekerja, dan bisa melakukan inovasi baru dalam bidang K3,” katanya.
Promotif dan Preventif
Sementara, Sudi Astono mencatat jumlah pekerja yang mengalami Kecelakaan Kerja (KK) dan PAK terus meningkat. Jika 2020 jumlahnya mencapai 221.740 pekerja, pada 2021 menjadi 234.370 atau naik 5,6%. Seiring dengan itu, biaya Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) yang dikeluarkan BPJS Ketenagakerjaan juga meningkat lebih dari 14% dari Rp1,56 triliun (2020) menjadi Rp1,79 triliun (2021).
Dari sisi usia, kelompok yang terbesar mengalami KK dan PAK adalah pada rentang usia 25 s/d 30 tahun. “Mereka betul-betul kelompok usia yang sangat produktif. Ini tentu menjadi kerugian bagi kita,” tegas Sudi Astono.
Beranjak dari data tersebut, senada dengan Prof. Budi Setiabudiawan, Sudi Astono juga memandang penting upaya promotif dan preventif, ketimbang yang reaktif dan kuratif. Melihat besarnya alokasi dana JKK dari BPJS Ketenagakerjaan, menurut Sudi Astono, terlihat bahwa penanganan K3 masih lebih ke arah reaktif dan kuratif. “Dari situ terlihat bahwa K3 masih belum menjadi budaya perusahaan,” tegas dia.
Menurut Sudi Astono, kasus-kasus K3 berbanding terbalik dengan daya saing suatu negara.
Prof. Budi juga menekankan pentingnya kita untuk mengantisipasi perubahan lingkungan kerja. “Kita sedang berada dalam masa transisi menuju era Industry 5.0. Era tersebut akan memicu munculnya beberapa perubahan. Misalnya, munculnya budaya kerja baru, bentuk dan pola kerja baru, perubahan jam kerja, dan bahkan lahirnya profesi-profesi baru,” ujarnya.
“Kondisi tersebut memerlukan penyesuaian, transformasi dan inovasi, pada semua sektor kehidupan dengan tetap menjaga efektivitas dan efisiensi dalam mencegah terjadinya kecelakaan kerja dan PAK,” ujar Prof. Budi.
Di Fakultas Kedokteran, Presuniv, lanjut Prof. Budi, para mahasiswanya sejak awal sudah diperkenalkan dengan budaya K3 melalui kurikulum dan kecirian kesehatan kerja.
“Mereka sedini mungkin juga sudah memperoleh paparan program-program K3 langsung dari lapangan. Ini agar mereka lebih memahami upaya untuk meningkatkan keselamatan dan kesehatan pekerja, dan bisa melakukan inovasi baru dalam bidang K3,” katanya.
Promotif dan Preventif
Sementara, Sudi Astono mencatat jumlah pekerja yang mengalami Kecelakaan Kerja (KK) dan PAK terus meningkat. Jika 2020 jumlahnya mencapai 221.740 pekerja, pada 2021 menjadi 234.370 atau naik 5,6%. Seiring dengan itu, biaya Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) yang dikeluarkan BPJS Ketenagakerjaan juga meningkat lebih dari 14% dari Rp1,56 triliun (2020) menjadi Rp1,79 triliun (2021).
Dari sisi usia, kelompok yang terbesar mengalami KK dan PAK adalah pada rentang usia 25 s/d 30 tahun. “Mereka betul-betul kelompok usia yang sangat produktif. Ini tentu menjadi kerugian bagi kita,” tegas Sudi Astono.
Beranjak dari data tersebut, senada dengan Prof. Budi Setiabudiawan, Sudi Astono juga memandang penting upaya promotif dan preventif, ketimbang yang reaktif dan kuratif. Melihat besarnya alokasi dana JKK dari BPJS Ketenagakerjaan, menurut Sudi Astono, terlihat bahwa penanganan K3 masih lebih ke arah reaktif dan kuratif. “Dari situ terlihat bahwa K3 masih belum menjadi budaya perusahaan,” tegas dia.
Menurut Sudi Astono, kasus-kasus K3 berbanding terbalik dengan daya saing suatu negara.
tulis komentar anda