Jaga Ketahanan Keluarga dengan Kelola Emosi
Sabtu, 24 Oktober 2020 - 06:35 WIB
JAKARTA - Di masa pandemi corona (Covid-19) , ketahanan keluarga banyak mengalami tantangan dan bahkan menghadapi ujian berat. Komunikasi dan manajemen stres yang baik menjadi kunci dalam memecahkan berbagai masalah seperti mengurus anak 24 jam nonstop.
Psikolog Arijani Lasmawati menerangkan Covid-19 yang sudah berlangsung lebih dari satu semester ini diakui telah membuat lelah secara fisik dan mental seluruh masyarakat. Pikiran masyarakat terbagi antara bertahan hidup dengan melakukan berbagai aktivitas dan ancaman terpapar virus. Kekhawatiran itu beralasan, sebab Covid-19 diakui bisa mengakibatkan dampak buruk, termasuk kematian. (
Banyak kasus kekerasan dalam rumah tangga dan seksual juga dilatarbelakangi pandemi. Maka dalam situasi Covid-19 diperlukan ketahanan keluarga yang kuat untuk mengarungi badai yang belum diketahui kapan berakhirnya ini.
Menurut Undang-Undang (UU) No 52 Tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga, ketahanan keluarga adalah kondisi keluarga yang memiliki keuletan dan ketangguhan. Selain itu punya kemampuan fisik-materiil guna hidup mandiri dan mengembangkan diri dan keluarganya untuk hidup harmonis dalam meningkatkan kesejahteraan lahir dan batin.
Ada dua kelompok besar yang bertanggung jawab dalam ketahanan keluarga, yakni kelompok internal dan eksternal. Kelompok internal terbagi dua, yakni aktif dan pasif. Kelompok aktif ini merupakan orang dewasa sehingga bisa menjaga orang tua dan anak. Adapun kelompok pasif adalah yang tidak produktif seperti bayi, anak-anak, lansia. Mereka itu memiliki keterbatasan dan kerentanan. Sementara itu kelompok eksternal adalah masyarakat dan pemerintah.
Tidak Ideal
Pembicara lain Niken Prativi mengatakan pandemi ini telah membuat semua orang dalam kondisi tidak ideal. Dia menekankan pentingnya mengontrol pikiran untuk menghadapi berbagai masalah yang muncul karena wabah global ini. Pandemi ini diakui telah mengakibatkan orang-orang panik, cemas, marah, bingung, dan frustrasi. (Baca juga: Bioskop Mulai Dibuka, Ini 10 Tips Aman saat ke Bioskop)
Dia menceritakan, pengalamannya pada masa awal pandemi yang tetap bekerja di kantor. Niken justru merasa nyaman karena jalanan Jakarta lengang. Namun begitu Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) kendur, ibu satu anak itu merasa khawatir bepergian ke luar rumah. Niken mengklaim beruntung karena ring I keluarganya memberikan dukungan untuk berbagai kegiatan. Bahkan dirinya mendapatkan pengetahuan dan masukan-masukan dari sang kakak yang seorang psikolog.
Lantas bagaimana mengaplikasikannya di kantor yang banyak sekali dinamika? Saat ada teman kantor yang khawatir karena efek finansial, dia meminta agar bisa mengontrol diri sendiri. “Ketika situasi tidak nyaman banyak sekali noise, opini dan gangguan. Cara terbaik mendengarkan diri sendiri. Caranya macam-macam, ada yang melalui doa, meditasi, dan curhat,” tutur editor The Jakarta Post itu.
Psikolog Arijani Lasmawati menerangkan Covid-19 yang sudah berlangsung lebih dari satu semester ini diakui telah membuat lelah secara fisik dan mental seluruh masyarakat. Pikiran masyarakat terbagi antara bertahan hidup dengan melakukan berbagai aktivitas dan ancaman terpapar virus. Kekhawatiran itu beralasan, sebab Covid-19 diakui bisa mengakibatkan dampak buruk, termasuk kematian. (
Banyak kasus kekerasan dalam rumah tangga dan seksual juga dilatarbelakangi pandemi. Maka dalam situasi Covid-19 diperlukan ketahanan keluarga yang kuat untuk mengarungi badai yang belum diketahui kapan berakhirnya ini.
Menurut Undang-Undang (UU) No 52 Tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga, ketahanan keluarga adalah kondisi keluarga yang memiliki keuletan dan ketangguhan. Selain itu punya kemampuan fisik-materiil guna hidup mandiri dan mengembangkan diri dan keluarganya untuk hidup harmonis dalam meningkatkan kesejahteraan lahir dan batin.
Ada dua kelompok besar yang bertanggung jawab dalam ketahanan keluarga, yakni kelompok internal dan eksternal. Kelompok internal terbagi dua, yakni aktif dan pasif. Kelompok aktif ini merupakan orang dewasa sehingga bisa menjaga orang tua dan anak. Adapun kelompok pasif adalah yang tidak produktif seperti bayi, anak-anak, lansia. Mereka itu memiliki keterbatasan dan kerentanan. Sementara itu kelompok eksternal adalah masyarakat dan pemerintah.
Tidak Ideal
Pembicara lain Niken Prativi mengatakan pandemi ini telah membuat semua orang dalam kondisi tidak ideal. Dia menekankan pentingnya mengontrol pikiran untuk menghadapi berbagai masalah yang muncul karena wabah global ini. Pandemi ini diakui telah mengakibatkan orang-orang panik, cemas, marah, bingung, dan frustrasi. (Baca juga: Bioskop Mulai Dibuka, Ini 10 Tips Aman saat ke Bioskop)
Dia menceritakan, pengalamannya pada masa awal pandemi yang tetap bekerja di kantor. Niken justru merasa nyaman karena jalanan Jakarta lengang. Namun begitu Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) kendur, ibu satu anak itu merasa khawatir bepergian ke luar rumah. Niken mengklaim beruntung karena ring I keluarganya memberikan dukungan untuk berbagai kegiatan. Bahkan dirinya mendapatkan pengetahuan dan masukan-masukan dari sang kakak yang seorang psikolog.
Lantas bagaimana mengaplikasikannya di kantor yang banyak sekali dinamika? Saat ada teman kantor yang khawatir karena efek finansial, dia meminta agar bisa mengontrol diri sendiri. “Ketika situasi tidak nyaman banyak sekali noise, opini dan gangguan. Cara terbaik mendengarkan diri sendiri. Caranya macam-macam, ada yang melalui doa, meditasi, dan curhat,” tutur editor The Jakarta Post itu.
tulis komentar anda