Disfungsi Ereksi Jangan Dibiarkan! Ini akan Memengaruhi Kesehatan

Rabu, 28 Oktober 2020 - 15:45 WIB
Pada pria, disfungsi ereksi bisa memengaruhi kesehatannya. Foto/IST
JAKARTA - Disfungsi Ereksi (DE) atau impotensi merupakan bagian dari disfungsi seksual pada pria, selain penurunan dorongan seksual (libido atau gairah) dan kelainan ejakulasi. Fungsi seksual melibatkan proses yang kompleks, yaitu sistem syaraf, hormon, dan pembuluh darah, maka kelainan pada sistem ini, baik oleh penyakit, obat-obatan, gaya hidup, atau sebab lain, dapat mempengaruhi proses ereksi, ejakulasi, dan orgasme.

“Sebaliknya, jika kemampuan seksual pria baik atau tanpa adanya gangguan, maka tubuhnya pun akan lebih sehat,” kata Dr. dr. Nur Rasyid, SpU (K), Departemen Medik Urologi FKUI-RSCM, dalam acara Virtual Press Conference Men's Health & Couple Well-being Clinic RSCM Kencana. Walaupun DE sering dianggap remeh dan dianggap tabu untuk dibicarakan, nyatanya 52% pria berusia 40-70 tahun sudah mengalami gejala DE.





“Di Indonesia, prevalensi DE pada populasi berusia 20-80 tahun cukup tinggi, yaitu 35.6%, dengan angka kejadian yang meningkat seiring bertambahnya usia,” imbuh Dr. Nur. Sementara itu, dr. Riyadh Firdaus, SpAn-KNA, Kepala Instalasi Pelayanan Terpadu RSCM Kencana mengatakan, penelitian mencatat sekitar 15-20% pasangan di dunia memiliki gangguan infertilitas dengan proporsi gangguan pasangan pria dan wanita yang kurang lebih sama.

Masih banyak masyarakat yang belum sadar dan memeriksakan pasangannya di awal gangguan, demikian juga dengan masalah seksual. Penelitian mencatat, masalah, angka gangguan seksual pada pria mencapai 31% dan 43% pada perempuan. “Namun pengobatan secara baik dan profesional terhadap kasus-kasus tersebut masih kurang,” papar dr. Riyadh.



Dalam manajemen DE, pemeriksaan komprehensif untuk menentukan faktor penyebab dan selanjutnya memilih terapi yang tepat dan optimal. Sebelum melakukan prosedur terapi, perlu adanya pemahaman akan ekspektasi pasien sehingga terapi yang dipilih nantinya sudah dipahami dengan baik.

Berapapun derajat DE yang dialami oleh pasien, manajemen DE selalu dimulai dari 3 hal, yaitu terapi penyebab DE yang bisa disembuhkan (curable), eliminasi faktor risiko dengan modifikasi gaya hidup, serta edukasi dan konseling pasien dan pasangan. Setelah itu, dapat dilakukan terapi yang bersifat spesifik untuk tiap-tiap pasien, berkaitan dengan toleransi, invasiness(operatif vs non-operatif), efektivitas, biaya, keamanan, dan ekspektasi pasien,” tandas dr. Nur.
(wur)
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More