Produk Nikotin Alternatif Tidak Sepenuhnya Bebas Risiko
Sabtu, 05 Desember 2020 - 22:58 WIB
JAKARTA - Sebanyak 33 ahli memaparkan temuan dan tinjauan tentang rokok elektrik dan produk nikotin alternatif lainnya dalam The E-Cigarette Summit 2020 yang diadakan pada 3-4 Desember 2020. Para ahli dengan latar belakang akademik dan profesional secara garis besar memaparkan bagaimana rokok elektrik memiliki risiko yang lebih rendah bagi kesehatan.
( )
"Temuan-temuan mengenai rokok elektrik menjadi sangat penting karena kami ingin mengetahui bagaimana rokok elektrik berperan dalam mengurangi risiko kesehatan akibat merokok," kata Co-Chair E-Cigarette Summit 2020, Profesor Ann McNeill dalam pernyataan tertulis, Sabtu (5/12).
Professor of Cardiovascular Medicine and Therapeutic University of Dundee, Jacob George memaparkan tinjauannya terhadap studi klinis laporan Scientific Committee on Health, Environmental and Emerging Risks (SCHEER) dan temuan dalam Vascular Effects of Smoking Usual Cigarettes Versus Electronic Cigarettes Trial (VESUVIUS).
George menyimpulkan bahwa terjadi perbaikan fungsi saluran kardiovaskuler pada perokok yang berpindah ke rokok elektrik. "Rokok elektrik memang tidak sepenuhnya bebas risiko dan sebaiknya tidak digunakan bagi orang yang tidak merokok. Namun, temuan-temuan VESUVIUS telah membuktikan bahwa rokok elektrik lebih rendah risiko dibandingkan rokok konvensional, terutama untuk kesehatan kardiovaskuler," terangnya.
Merespons hal itu, Kenneth Warner, Professor Emeritus of Public Health and Dean Emeritus, University of Michigan School of Public Health, mengatakan, rata-rata orang yang beralih menggunakan rokok elektrik memiliki kemungkinan tambahan usia 1,2–2 tahun jika dibandingkan dengan perokok konvensional.
Bagi Warner, rokok elektrik membawa dampak positif dalam upaya pengurangan risiko kesehatan akibat merokok. Pun demikian, diperlukan kajian lebih lanjut untuk memperkuat temuan-temuan tersebut. "Rokok elektrik bukan merupakan jawaban utama untuk mengatasi krisis kesehatan di masyarakat. Namun, rokok elektrik merupakan alat yang penting untuk melengkapi tindakan pengendalian risiko kesehatan," lanjutnya.
Meninjau temuan-temuan yang ada, para ahli melihat urgensi interaksi yang transparan antara pembuat kebijakan dan pelaku industri nikotin, melalui audiensi publik maupun penyampaian informasi-informasi penting. Adanya standar dan regulasi bagi produk nikotin alternatif menjadi pekerjaan rumah bagi setiap pembuat kebijakan, dengan mempertimbangkan keamanan konsumen dan pelaku industri.
Dr. Karl E. Lund, Peneliti Senior Norwegian Institute of Public Health, memaparkan tentang bagaimana regulasi yang melarang atau membatasi penggunaan snus berperisa (flavoured snus) dapat berdampak pada perokok. Apalagi snus berperisa merupakan produk Hasil Pengolahan Tembakau Lainnya (HPTL) yang paling banyak digunakan di Norwegia dengan persentase mencapai 46 persen pada 2019/2020.
(Baca juga: Melalui Abyss, Jin BTS Ungkap Emosi Negatifnya )
"Angka berhenti merokok pada pengguna snus lebih besar dibandingkan nonpengguna. Dengan banyaknya pengguna snus berperisa, otoritas pembuat kebijakan harus memperhatikan kompleksitas realita dalam mengatur pembatasan produk nikotin berperisa yang tidak dibakar," kata dia.
( )
"Temuan-temuan mengenai rokok elektrik menjadi sangat penting karena kami ingin mengetahui bagaimana rokok elektrik berperan dalam mengurangi risiko kesehatan akibat merokok," kata Co-Chair E-Cigarette Summit 2020, Profesor Ann McNeill dalam pernyataan tertulis, Sabtu (5/12).
Professor of Cardiovascular Medicine and Therapeutic University of Dundee, Jacob George memaparkan tinjauannya terhadap studi klinis laporan Scientific Committee on Health, Environmental and Emerging Risks (SCHEER) dan temuan dalam Vascular Effects of Smoking Usual Cigarettes Versus Electronic Cigarettes Trial (VESUVIUS).
George menyimpulkan bahwa terjadi perbaikan fungsi saluran kardiovaskuler pada perokok yang berpindah ke rokok elektrik. "Rokok elektrik memang tidak sepenuhnya bebas risiko dan sebaiknya tidak digunakan bagi orang yang tidak merokok. Namun, temuan-temuan VESUVIUS telah membuktikan bahwa rokok elektrik lebih rendah risiko dibandingkan rokok konvensional, terutama untuk kesehatan kardiovaskuler," terangnya.
Merespons hal itu, Kenneth Warner, Professor Emeritus of Public Health and Dean Emeritus, University of Michigan School of Public Health, mengatakan, rata-rata orang yang beralih menggunakan rokok elektrik memiliki kemungkinan tambahan usia 1,2–2 tahun jika dibandingkan dengan perokok konvensional.
Bagi Warner, rokok elektrik membawa dampak positif dalam upaya pengurangan risiko kesehatan akibat merokok. Pun demikian, diperlukan kajian lebih lanjut untuk memperkuat temuan-temuan tersebut. "Rokok elektrik bukan merupakan jawaban utama untuk mengatasi krisis kesehatan di masyarakat. Namun, rokok elektrik merupakan alat yang penting untuk melengkapi tindakan pengendalian risiko kesehatan," lanjutnya.
Meninjau temuan-temuan yang ada, para ahli melihat urgensi interaksi yang transparan antara pembuat kebijakan dan pelaku industri nikotin, melalui audiensi publik maupun penyampaian informasi-informasi penting. Adanya standar dan regulasi bagi produk nikotin alternatif menjadi pekerjaan rumah bagi setiap pembuat kebijakan, dengan mempertimbangkan keamanan konsumen dan pelaku industri.
Dr. Karl E. Lund, Peneliti Senior Norwegian Institute of Public Health, memaparkan tentang bagaimana regulasi yang melarang atau membatasi penggunaan snus berperisa (flavoured snus) dapat berdampak pada perokok. Apalagi snus berperisa merupakan produk Hasil Pengolahan Tembakau Lainnya (HPTL) yang paling banyak digunakan di Norwegia dengan persentase mencapai 46 persen pada 2019/2020.
(Baca juga: Melalui Abyss, Jin BTS Ungkap Emosi Negatifnya )
"Angka berhenti merokok pada pengguna snus lebih besar dibandingkan nonpengguna. Dengan banyaknya pengguna snus berperisa, otoritas pembuat kebijakan harus memperhatikan kompleksitas realita dalam mengatur pembatasan produk nikotin berperisa yang tidak dibakar," kata dia.
(nug)
tulis komentar anda