Hak Ibu Hamil dan Menyusui di Tempat Kerja Belum Terpenuhi
Jum'at, 29 Januari 2021 - 18:15 WIB
JAKARTA - Berdasarkan survei yang dilakukan oleh Teman Bumil dan Populix pada 1.024 ibu di Indonesia, dari 707 responden, masih ada 3% wanita yang mengaku tidak diperbolehkan hamil selama masa bekerja dan 17% tidak mendapatkan hak cuti melahirkan selama 3 bulan. Bahkan, 30% dari mereka tidak mendapatkan gaji secara penuh selama cuti melahirkan.
Padahal merujuk pada UU RI No. 13 tahun 2003 pasal 82 ayat 1 dan pasal 84, wanita berhak memperoleh istirahat selama 1,5 bulan sebelum melahirkan dan 1,5 bulan sesudah melahirkan, serta mendapatkan upah penuh pada masa tersebut.
Menurut Friska Finalia Sitohang (Fina), HR Manager PT Global Urban Esensial (GUE) yang merupakan bagian dari Dexa Group, jika melihat dari kasus-kasus yang terjadi, biasanya perusahaan yang melanggar aturan adalah perusahaan yang segi keuangannya tidak stabil.
“Mereka memainkan ini supaya sustainability perusahaan mereka tetap terjaga. Padahal mereka tidak tahu, jika mau dibawa ke jalur hukum, mau dibawa ke dinas ketenagakerjaan, mereka akan kalah pasti,” ungkapnya dari keterangan pers yang diterima.
Senada dengan hasil survei dari Teman Bumil dan Populix, Maria Ulfah Anshor, komisioner Komnas Perempuan, berpendapat bahwa meski kebijakan terkait hak untuk hamil dan menyusui bagi ibu bekerja sudah baik, tetapi implementasinya belum ideal. Misalnya bagi pekerja kontrak, mereka masih dibatasi untuk tidak boleh menikah dan memiliki anak dalam masa tertentu.
Fina menyebutkan bahwa pelaku usaha sudah seharusnya bisa berkomitmen dengan peraturan yang ada ketika mengubah perusahaan mereka dalam bentuk PT (Perseroan Terbatas) atau badan usaha. Mereka juga harus siap untuk menyiapkan semua fasilitas pendukung.
Sebaliknya, pegawai pun berhak untuk menuntut maupun melaporkan perusahaan tempat mereka bekerja jika tidak mendapatkan haknya untuk hamil dan menyusui. Maria menjabarkan, Komnas Perempuan terbuka untuk membantu memberikan rujukan atau memberikan semacam surat keterangan untuk melanjutkan pengaduan ke kementerian ketenagakerjaan.
Padahal merujuk pada UU RI No. 13 tahun 2003 pasal 82 ayat 1 dan pasal 84, wanita berhak memperoleh istirahat selama 1,5 bulan sebelum melahirkan dan 1,5 bulan sesudah melahirkan, serta mendapatkan upah penuh pada masa tersebut.
Menurut Friska Finalia Sitohang (Fina), HR Manager PT Global Urban Esensial (GUE) yang merupakan bagian dari Dexa Group, jika melihat dari kasus-kasus yang terjadi, biasanya perusahaan yang melanggar aturan adalah perusahaan yang segi keuangannya tidak stabil.
“Mereka memainkan ini supaya sustainability perusahaan mereka tetap terjaga. Padahal mereka tidak tahu, jika mau dibawa ke jalur hukum, mau dibawa ke dinas ketenagakerjaan, mereka akan kalah pasti,” ungkapnya dari keterangan pers yang diterima.
Senada dengan hasil survei dari Teman Bumil dan Populix, Maria Ulfah Anshor, komisioner Komnas Perempuan, berpendapat bahwa meski kebijakan terkait hak untuk hamil dan menyusui bagi ibu bekerja sudah baik, tetapi implementasinya belum ideal. Misalnya bagi pekerja kontrak, mereka masih dibatasi untuk tidak boleh menikah dan memiliki anak dalam masa tertentu.
Fina menyebutkan bahwa pelaku usaha sudah seharusnya bisa berkomitmen dengan peraturan yang ada ketika mengubah perusahaan mereka dalam bentuk PT (Perseroan Terbatas) atau badan usaha. Mereka juga harus siap untuk menyiapkan semua fasilitas pendukung.
Sebaliknya, pegawai pun berhak untuk menuntut maupun melaporkan perusahaan tempat mereka bekerja jika tidak mendapatkan haknya untuk hamil dan menyusui. Maria menjabarkan, Komnas Perempuan terbuka untuk membantu memberikan rujukan atau memberikan semacam surat keterangan untuk melanjutkan pengaduan ke kementerian ketenagakerjaan.
tulis komentar anda