Hati-Hati, Polusi Udara Perparah COVID-19
Kamis, 21 Mei 2020 - 13:30 WIB
JAKARTA - Studi terbaru dari Universitas Harvard memastikan bahwa orang-orang yang sudah lama terpapar polusi udara menjadi kelompok yang paling rentan terkena COVID-19.
Guru Besar Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Prof. Dr. Budi Haryanto, SKM, M.Kes, M.Sc menjelaskan, gangguan kesehatan atau penyakit akibat pencemaran udara dapat menyebabkan kondisi akut seperti infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) dan asma, serta kronis. Untuk polusi udara yang menyebabkan kondisi kronis, kata Prof Budi, umumnya berasal dari emisi BBM kendaraan bermotor, industri, dan juga kebakaran hutan. (
)
“Jika sudah masuk ke dalam tahap kronis, biasanya seseorang akan mengalami iritasi saluran napas, gangguan fungsi paru, PPOK (Penyakit Paru Obstruktif Kronis), penyakit jantung, hipertensi, diabetes, gangguan ginjal, dan lain-lain,” ujar Prof Budi dalam "Media Briefing" lewat Zoom, belum lama ini.
Dalam penelitian-penelitian yang telah dilakukan sebelumnya, Prof Budi menemukan bahwa 57,8% dari populasi Jakarta telah menderita berbagai penyakit terkait polusi udara pada 2010. Merujuk pada situasi saat ini serta hasil-hasil penelitian kesehatan terbaru, Prof Budi meyakini, penyakit kronis akibat polusi udara dapat memicu komorbiditas keparahan penderita COVID-19.
“Tingkat fatalitas kasus (CFR) di Indonesia 8%, sedangkan untuk global adalah 3%,” imbuh Prof Budi.
"COVID-19 sangat mampu memperparah dampak kesehatan akibat perubahan iklim," tambah Prof. Budi.
Dengan latar belakang berbagai riset tersebut, Koalisi Inisiatif Bersihkan Udara Koalisi Semesta (Ibukota) yang merupakan gabungan individu maupun organisasi yang memperjuangkan hak atas udara bersih, meminta pemerintah Indonesia untuk segera membuka data sumber emisi. Hal itu ditujukan untuk dapat mengetahui sumber emisi apa saja yang hingga kini masih menyebabkan angka pemantauan Indeks Kualitas Udara tetap terbilang buruk.
“Meski langit Jakarta terlihat lebih cerah ketika diberlakukan WFH dan PSBB, tetapi emisi dari salah satu sumber pencemar yaitu PLTU bisa jadi tidak mengalami pengurangan yang signifikan. Ada potensi polutan tersebut juga berkontribusi pada polusi udara di Jakarta dan kota tetangganya,” timpal Juru kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia Bondan Andriyanu.
Menurut Bondan, masyarakat berhak tahu polusi udara yang mereka hirup ini porsinya bersumber dari mana saja, karena berpotensi membahayakan kesehatan, apalagi di masa pandemi COVID-19 saat ini.
Di tempat yang sama, peneliti dari Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) Fajri Fadhillah menegaskan bahwa pencemaran udara telah menyebabkan banyak masalah kesehatan serta lingkungan.
“Perbaikan kualitas udara tidak saja hanya akan menguntungkan kesehatan masyarakat di saat keadaan normal, tapi juga semakin penting dalam situasi pandemi seperti saat ini," kata Fajri. ( )
Langkah pengendalian pencemaran udara bisa diawali dengan publikasi informasi tentang kualitas udara yang lengkap (ambien, emisi, meteorologis, dan geografis). Publikasi informasi tentang kualitas udara tidak saja penting untuk menyampaikan dampak atau risiko kepada masyarakat, tapi juga memastikan akuntabilitas pemerintah dalam pengambilan kebijakan pengendalian pencemaran udara.
Guru Besar Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Prof. Dr. Budi Haryanto, SKM, M.Kes, M.Sc menjelaskan, gangguan kesehatan atau penyakit akibat pencemaran udara dapat menyebabkan kondisi akut seperti infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) dan asma, serta kronis. Untuk polusi udara yang menyebabkan kondisi kronis, kata Prof Budi, umumnya berasal dari emisi BBM kendaraan bermotor, industri, dan juga kebakaran hutan. (
Baca Juga
“Jika sudah masuk ke dalam tahap kronis, biasanya seseorang akan mengalami iritasi saluran napas, gangguan fungsi paru, PPOK (Penyakit Paru Obstruktif Kronis), penyakit jantung, hipertensi, diabetes, gangguan ginjal, dan lain-lain,” ujar Prof Budi dalam "Media Briefing" lewat Zoom, belum lama ini.
Dalam penelitian-penelitian yang telah dilakukan sebelumnya, Prof Budi menemukan bahwa 57,8% dari populasi Jakarta telah menderita berbagai penyakit terkait polusi udara pada 2010. Merujuk pada situasi saat ini serta hasil-hasil penelitian kesehatan terbaru, Prof Budi meyakini, penyakit kronis akibat polusi udara dapat memicu komorbiditas keparahan penderita COVID-19.
“Tingkat fatalitas kasus (CFR) di Indonesia 8%, sedangkan untuk global adalah 3%,” imbuh Prof Budi.
"COVID-19 sangat mampu memperparah dampak kesehatan akibat perubahan iklim," tambah Prof. Budi.
Dengan latar belakang berbagai riset tersebut, Koalisi Inisiatif Bersihkan Udara Koalisi Semesta (Ibukota) yang merupakan gabungan individu maupun organisasi yang memperjuangkan hak atas udara bersih, meminta pemerintah Indonesia untuk segera membuka data sumber emisi. Hal itu ditujukan untuk dapat mengetahui sumber emisi apa saja yang hingga kini masih menyebabkan angka pemantauan Indeks Kualitas Udara tetap terbilang buruk.
“Meski langit Jakarta terlihat lebih cerah ketika diberlakukan WFH dan PSBB, tetapi emisi dari salah satu sumber pencemar yaitu PLTU bisa jadi tidak mengalami pengurangan yang signifikan. Ada potensi polutan tersebut juga berkontribusi pada polusi udara di Jakarta dan kota tetangganya,” timpal Juru kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia Bondan Andriyanu.
Menurut Bondan, masyarakat berhak tahu polusi udara yang mereka hirup ini porsinya bersumber dari mana saja, karena berpotensi membahayakan kesehatan, apalagi di masa pandemi COVID-19 saat ini.
Di tempat yang sama, peneliti dari Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) Fajri Fadhillah menegaskan bahwa pencemaran udara telah menyebabkan banyak masalah kesehatan serta lingkungan.
“Perbaikan kualitas udara tidak saja hanya akan menguntungkan kesehatan masyarakat di saat keadaan normal, tapi juga semakin penting dalam situasi pandemi seperti saat ini," kata Fajri. ( )
Langkah pengendalian pencemaran udara bisa diawali dengan publikasi informasi tentang kualitas udara yang lengkap (ambien, emisi, meteorologis, dan geografis). Publikasi informasi tentang kualitas udara tidak saja penting untuk menyampaikan dampak atau risiko kepada masyarakat, tapi juga memastikan akuntabilitas pemerintah dalam pengambilan kebijakan pengendalian pencemaran udara.
(tsa)
tulis komentar anda