Perang Rusia dan Ukraina, Ini 3 Risiko Cedera Parah yang Terjadi
Selasa, 01 Maret 2022 - 14:53 WIB
2. Gas Beracun
Cedera terparah akibat perang selanjutnya disebabkan oleh gas beracun. Gas beracun telah berkembang pesat selama perang. Penggunaan pertama pada pertempuran kedua Ypres menggunakan tangki gas yang setengah terkubur di dalam bumi. Ketika angin bertiup dari jalur mereka, orang Jerman membuka katup dan membiarkan gas mengepul menuju jalur Prancis. Gas ini menyebabkan sekitar 1.000 kematian dan 4.000 korban.
Ada pula gas yang disebut gas klorin. Target utamanya adalah paru-paru, dan kematian biasanya diakibatkan oleh cedera inhalasi. Selain cedera inhalasi, klorin juga dapat menyebabkan kerusakan parah pada mata dan selaput lendir yang terbuka. Setelah perang, semakin banyak gas-gas beracun lainnya yang dikembangkan seperti gas fosgen, mustard, dan lewisite.
Pelayanan medis yang bisa dilakukan untuk korban klorin dan gas fosgen adalah dengan mengistirahatkan pasien di tempat tidur, dan berharap gejala yang parah tidak muncul. Sementara untuk korban gas mustard harus ditelanjangi dan dicuci bersih, terutama bagian mata. Meskipun gas mustard memberi efek yang lebih lambat dibandingkan gas lainnya, gas mustard juga menyerang paru-paru, terutama saluran pernapasan bagian bawah dan bisa menyebabkan semacam edema paru refrakter.
3. Psikologis
Cedera terparah akibat perang terakhir adalah psikologis. Selain cedera secara fisik, kesehatan mental pun turut terganggu. Prajurit yang telah mengalami perang terkadang mengalami sindrom neuropsikiatri atau yang dikenal sebagai shell shock. Pertama kali dijelaskan oleh seorang dokter Inggris, Charles Myers, itu terdiri dari serangkaian gejala.
Sindrom neuropsikiatri ini termasuk gemetar tak terkendali, sakit kepala, pusing, ketidakmampuan untuk berkonsentrasi, kehilangan memori, kebingungan, dan gangguan tidur. Bahkan, beberapa pasien hampir tidak bisa berjalan, mengalami kelumpuhan sebagian, terbata-bata tak terkendali, hingga tidak dapat berbicara.
Gangguan yang kini dikenal sebagai Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) memiliki hubungan yang kuat dengan shell shock. Namun, ada banyak bukti bahwa penyakit seperti yang terlihat pada Perang Dunia I memiliki komponen neurologis yang kuat. Banyak dari pasien yang mungkin mengalami cedera otak traumatis, setidaknya sampai tingkat tertentu, serta PTSD.
Thomas W. Salmon, konsultan AEF di bidang psikiatri, merumuskan lima prinsip dalam pengobatan cedera ini, yakni kesegaran, kedekatan, harapan, kesederhanaan, serta sentralitas.
Cedera terparah akibat perang selanjutnya disebabkan oleh gas beracun. Gas beracun telah berkembang pesat selama perang. Penggunaan pertama pada pertempuran kedua Ypres menggunakan tangki gas yang setengah terkubur di dalam bumi. Ketika angin bertiup dari jalur mereka, orang Jerman membuka katup dan membiarkan gas mengepul menuju jalur Prancis. Gas ini menyebabkan sekitar 1.000 kematian dan 4.000 korban.
Ada pula gas yang disebut gas klorin. Target utamanya adalah paru-paru, dan kematian biasanya diakibatkan oleh cedera inhalasi. Selain cedera inhalasi, klorin juga dapat menyebabkan kerusakan parah pada mata dan selaput lendir yang terbuka. Setelah perang, semakin banyak gas-gas beracun lainnya yang dikembangkan seperti gas fosgen, mustard, dan lewisite.
Pelayanan medis yang bisa dilakukan untuk korban klorin dan gas fosgen adalah dengan mengistirahatkan pasien di tempat tidur, dan berharap gejala yang parah tidak muncul. Sementara untuk korban gas mustard harus ditelanjangi dan dicuci bersih, terutama bagian mata. Meskipun gas mustard memberi efek yang lebih lambat dibandingkan gas lainnya, gas mustard juga menyerang paru-paru, terutama saluran pernapasan bagian bawah dan bisa menyebabkan semacam edema paru refrakter.
3. Psikologis
Cedera terparah akibat perang terakhir adalah psikologis. Selain cedera secara fisik, kesehatan mental pun turut terganggu. Prajurit yang telah mengalami perang terkadang mengalami sindrom neuropsikiatri atau yang dikenal sebagai shell shock. Pertama kali dijelaskan oleh seorang dokter Inggris, Charles Myers, itu terdiri dari serangkaian gejala.
Sindrom neuropsikiatri ini termasuk gemetar tak terkendali, sakit kepala, pusing, ketidakmampuan untuk berkonsentrasi, kehilangan memori, kebingungan, dan gangguan tidur. Bahkan, beberapa pasien hampir tidak bisa berjalan, mengalami kelumpuhan sebagian, terbata-bata tak terkendali, hingga tidak dapat berbicara.
Gangguan yang kini dikenal sebagai Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) memiliki hubungan yang kuat dengan shell shock. Namun, ada banyak bukti bahwa penyakit seperti yang terlihat pada Perang Dunia I memiliki komponen neurologis yang kuat. Banyak dari pasien yang mungkin mengalami cedera otak traumatis, setidaknya sampai tingkat tertentu, serta PTSD.
Thomas W. Salmon, konsultan AEF di bidang psikiatri, merumuskan lima prinsip dalam pengobatan cedera ini, yakni kesegaran, kedekatan, harapan, kesederhanaan, serta sentralitas.
tulis komentar anda