Perang Rusia dan Ukraina, Ini 3 Risiko Cedera Parah yang Terjadi

Selasa, 01 Maret 2022 - 14:53 WIB
loading...
Perang Rusia dan Ukraina, Ini 3 Risiko Cedera Parah yang Terjadi
Perang antara Rusia dan Ukraina bisa menyebabkan cedera parah. Ukraina mengklaim lebih dari 5 ribu tentara Rusia dilaporkan tewas dalam pertempuran ini. Foto/BBC
A A A
JAKARTA - Perang antara Rusia dan Ukraina bisa menyebabkan cedera parah. Ukraina mengklaim lebih dari 5 ribu tentara Rusia dilaporkan tewas dalam pertempuran ini. Selain itu, sebanyak kurang lebih ribuan luka-luka, termasuk anak-anak.

Sebagaimana diketahui, pada Kamis, 24 Februari 2022, Rusia melancarkan invasi berskala besar ke Ukraina, negara tetangganya di sebelah barat daya. Invasi ini menandakan peristiwa penting dalam perang Rusia dan Ukraina yang dimulai pada 2014.

Melihat kondisi ini, cedera parah pun tak bisa dihindari. Lantas cedera parah apa saja yang bisa terjadi saat perang? Berikut ulasannya dilansir dari World War I Centennial, Selasa (1/3/2022).





1. Luka Bakar

Cedera terparah akibat perang pertama adalah luka bakar. Luka ini terjadi akibat penggunaan api dan atau cairan panas dalam perang yang sudah ada sejak awal sejarah. Dengan dimulainya peperangan mekanis dan penggunaan bahan peledak tinggi dalam Perang Dunia I, luka bakar menjadi cedera yang sangat umum.

Luka bakar besar sekitar 50 persen atau lebih dari area tubuh kemungkinan berakibat sangat fatal. Ahli bedah telah menyebut bahwa terapi cairan intravena awal adalah kunci untuk bertahan hidup dari luka bakar yang besar ini. Cairan intravena sendiri sudah tersedia pada Perang Dunia I, dan digunakan sampai batas tertentu, tetapi tidak sebanyak yang dibutuhkan untuk mengobati luka bakar besar.

Sementara luka bakar pada wajah dan ekstremitas, meskipun tidak sering berakibat fatal, masih dapat menyebabkan kecacatan besar. Pengobatannya sendiri terdiri dari perawatan suportif, mencoba untuk mengurangi infeksi, dan cangkok kulit untuk area ketebalan penuh.

Kebutuhan untuk perawatan luka bakar yang lebih baik ini akhirnya mendorong banyak penelitian setelah perang oleh ahli bedah plastik dan ahli bedah trauma. Pada Perang Dunia II ada banyak pengetahuan dan praktik yang tersedia. Sayang, hal itu datang terlambat bagi para korban malang dalam Perang Dunia I.

2. Gas Beracun

Cedera terparah akibat perang selanjutnya disebabkan oleh gas beracun. Gas beracun telah berkembang pesat selama perang. Penggunaan pertama pada pertempuran kedua Ypres menggunakan tangki gas yang setengah terkubur di dalam bumi. Ketika angin bertiup dari jalur mereka, orang Jerman membuka katup dan membiarkan gas mengepul menuju jalur Prancis. Gas ini menyebabkan sekitar 1.000 kematian dan 4.000 korban.

Ada pula gas yang disebut gas klorin. Target utamanya adalah paru-paru, dan kematian biasanya diakibatkan oleh cedera inhalasi. Selain cedera inhalasi, klorin juga dapat menyebabkan kerusakan parah pada mata dan selaput lendir yang terbuka. Setelah perang, semakin banyak gas-gas beracun lainnya yang dikembangkan seperti gas fosgen, mustard, dan lewisite.

Pelayanan medis yang bisa dilakukan untuk korban klorin dan gas fosgen adalah dengan mengistirahatkan pasien di tempat tidur, dan berharap gejala yang parah tidak muncul. Sementara untuk korban gas mustard harus ditelanjangi dan dicuci bersih, terutama bagian mata. Meskipun gas mustard memberi efek yang lebih lambat dibandingkan gas lainnya, gas mustard juga menyerang paru-paru, terutama saluran pernapasan bagian bawah dan bisa menyebabkan semacam edema paru refrakter.


3. Psikologis

Cedera terparah akibat perang terakhir adalah psikologis. Selain cedera secara fisik, kesehatan mental pun turut terganggu. Prajurit yang telah mengalami perang terkadang mengalami sindrom neuropsikiatri atau yang dikenal sebagai shell shock. Pertama kali dijelaskan oleh seorang dokter Inggris, Charles Myers, itu terdiri dari serangkaian gejala.

Sindrom neuropsikiatri ini termasuk gemetar tak terkendali, sakit kepala, pusing, ketidakmampuan untuk berkonsentrasi, kehilangan memori, kebingungan, dan gangguan tidur. Bahkan, beberapa pasien hampir tidak bisa berjalan, mengalami kelumpuhan sebagian, terbata-bata tak terkendali, hingga tidak dapat berbicara.

Gangguan yang kini dikenal sebagai Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) memiliki hubungan yang kuat dengan shell shock. Namun, ada banyak bukti bahwa penyakit seperti yang terlihat pada Perang Dunia I memiliki komponen neurologis yang kuat. Banyak dari pasien yang mungkin mengalami cedera otak traumatis, setidaknya sampai tingkat tertentu, serta PTSD.

Thomas W. Salmon, konsultan AEF di bidang psikiatri, merumuskan lima prinsip dalam pengobatan cedera ini, yakni kesegaran, kedekatan, harapan, kesederhanaan, serta sentralitas.

(dra)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1780 seconds (0.1#10.140)