Kelangkaan Minyak Goreng, Momentum Ubah Pola Hidup Jadi Lebih Sehat
Minggu, 06 Maret 2022 - 00:13 WIB
JAKARTA - Kelangkaan minyak goreng dan kenaikan harga LPG 12 kilogram nonsubsidi terjadi belakangan ini. Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Profesor Ari Fahrial Syam mengungkapkan, kondisi itu sebenarnya bisa menjadi momentum untuk mengurangi kebiasaan menggunakan minyak goreng sekaligus mengubah pola hidup menjadi lebih sehat.
"Sudah saatnya masyarakat mengurangi makanan yang digoreng. Mengurangi makanan yang digoreng berarti membuat pola hidup lebih sehat," ungkap Prof Ari dalam keterangan tertulis, belum lama ini.
Diaa menjelaskan, terlalu sering mengonsumsi makanan yang digoreng berisiko menaikkan kadar kolesterol dan mengakibatkan aterosklerosis. Yakni, pembuluh darah menjadi lebih sensitif dan kaku. Dampaknya, risiko terkena penyakit jantung koroner ikut meningkat.
Senada dengan Prof Ari, dokter spesialis penyakit dalam, dr. R.A. Adaninggar, SpPD, pun menyampaikan, minyak goreng sebagai salah satu sumber lemak jenuh yang berbahaya bagi tubuh jika dikonsumsi berlebihan. Karena itu, konsumsi makanan yang digoreng pun perlu dibatasi.
"Minyak goreng ini kan juga salah satu sumber lemak jenuh, lemak yang cukup berbahaya untuk tubuh. Sebenarnya kita dalam sehari itu ada batasannya untuk konsumsi minyak goreng," tutur dokter yang akrab disapa Ning itu.
Apabila kandungan lemak jenuh dalam minyak goreng tinggi, dikhawatirkan akan meningkatkan kadar kolesterol buruk dalam darah yang disebut low-density lipoprotein (LDL). Efeknya adalah meningkatkan risiko berbagai gangguan kesehatan. Mulai dari obesitas, diabetes, hingga penyakit jantung koroner.
Mengutip anjuran Kementerian Kesehatan mengenai pola hidup sehat, salah satunya dengan memerhatikan asupan lemak yang hanya 67 gram atau setara lima sendok makan per hari untuk setiap orang. Ini artinya konsumsi minyak goreng tiap orang sebaiknya kurang dari lima sendok makan per hari karena asupan lemak juga datang dari lauk pauk yang dikonsumsi.
"Jadi kalau (minyak goreng) langka, ya pakai takaran sehat itu sekalian menghemat," kata dr. Ning.
"Sudah saatnya masyarakat mengurangi makanan yang digoreng. Mengurangi makanan yang digoreng berarti membuat pola hidup lebih sehat," ungkap Prof Ari dalam keterangan tertulis, belum lama ini.
Diaa menjelaskan, terlalu sering mengonsumsi makanan yang digoreng berisiko menaikkan kadar kolesterol dan mengakibatkan aterosklerosis. Yakni, pembuluh darah menjadi lebih sensitif dan kaku. Dampaknya, risiko terkena penyakit jantung koroner ikut meningkat.
Baca Juga
Senada dengan Prof Ari, dokter spesialis penyakit dalam, dr. R.A. Adaninggar, SpPD, pun menyampaikan, minyak goreng sebagai salah satu sumber lemak jenuh yang berbahaya bagi tubuh jika dikonsumsi berlebihan. Karena itu, konsumsi makanan yang digoreng pun perlu dibatasi.
"Minyak goreng ini kan juga salah satu sumber lemak jenuh, lemak yang cukup berbahaya untuk tubuh. Sebenarnya kita dalam sehari itu ada batasannya untuk konsumsi minyak goreng," tutur dokter yang akrab disapa Ning itu.
Apabila kandungan lemak jenuh dalam minyak goreng tinggi, dikhawatirkan akan meningkatkan kadar kolesterol buruk dalam darah yang disebut low-density lipoprotein (LDL). Efeknya adalah meningkatkan risiko berbagai gangguan kesehatan. Mulai dari obesitas, diabetes, hingga penyakit jantung koroner.
Mengutip anjuran Kementerian Kesehatan mengenai pola hidup sehat, salah satunya dengan memerhatikan asupan lemak yang hanya 67 gram atau setara lima sendok makan per hari untuk setiap orang. Ini artinya konsumsi minyak goreng tiap orang sebaiknya kurang dari lima sendok makan per hari karena asupan lemak juga datang dari lauk pauk yang dikonsumsi.
"Jadi kalau (minyak goreng) langka, ya pakai takaran sehat itu sekalian menghemat," kata dr. Ning.
tulis komentar anda