Kelangkaan Minyak Goreng, Momentum Ubah Pola Hidup Jadi Lebih Sehat
loading...
A
A
A
JAKARTA - Kelangkaan minyak goreng dan kenaikan harga LPG 12 kilogram nonsubsidi terjadi belakangan ini. Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Profesor Ari Fahrial Syam mengungkapkan, kondisi itu sebenarnya bisa menjadi momentum untuk mengurangi kebiasaan menggunakan minyak goreng sekaligus mengubah pola hidup menjadi lebih sehat.
"Sudah saatnya masyarakat mengurangi makanan yang digoreng. Mengurangi makanan yang digoreng berarti membuat pola hidup lebih sehat," ungkap Prof Ari dalam keterangan tertulis, belum lama ini.
Diaa menjelaskan, terlalu sering mengonsumsi makanan yang digoreng berisiko menaikkan kadar kolesterol dan mengakibatkan aterosklerosis. Yakni, pembuluh darah menjadi lebih sensitif dan kaku. Dampaknya, risiko terkena penyakit jantung koroner ikut meningkat.
Baca juga: Cakupan Vaksinasi di Sebagian Negara Masih Rendah, Ahli Kesehatan Ungkap Alasannya
Senada dengan Prof Ari, dokter spesialis penyakit dalam, dr. R.A. Adaninggar, SpPD, pun menyampaikan, minyak goreng sebagai salah satu sumber lemak jenuh yang berbahaya bagi tubuh jika dikonsumsi berlebihan. Karena itu, konsumsi makanan yang digoreng pun perlu dibatasi.
"Minyak goreng ini kan juga salah satu sumber lemak jenuh, lemak yang cukup berbahaya untuk tubuh. Sebenarnya kita dalam sehari itu ada batasannya untuk konsumsi minyak goreng," tutur dokter yang akrab disapa Ning itu.
Apabila kandungan lemak jenuh dalam minyak goreng tinggi, dikhawatirkan akan meningkatkan kadar kolesterol buruk dalam darah yang disebut low-density lipoprotein (LDL). Efeknya adalah meningkatkan risiko berbagai gangguan kesehatan. Mulai dari obesitas, diabetes, hingga penyakit jantung koroner.
Mengutip anjuran Kementerian Kesehatan mengenai pola hidup sehat, salah satunya dengan memerhatikan asupan lemak yang hanya 67 gram atau setara lima sendok makan per hari untuk setiap orang. Ini artinya konsumsi minyak goreng tiap orang sebaiknya kurang dari lima sendok makan per hari karena asupan lemak juga datang dari lauk pauk yang dikonsumsi.
"Jadi kalau (minyak goreng) langka, ya pakai takaran sehat itu sekalian menghemat," kata dr. Ning.
Dia sepakat jika kelangkaan minyak goreng dijadikan momentum untuk mengubah gaya hidup jadi lebih sehat. Menurutnya, pola hidup sehat menjadi keharusan di tengah pandemi Covid-19, terutama bagi mereka yang masuk kategori rentan.
Populasi rentan yang dimaksud dr. Ning adalah individu dengan komorbid seperti obesitas, diabetes, penyakit jantung dan lainnya. Kelompok rentan tersebut berisiko mengalami keparahan bahkan hingga kematian jika terinfeksi Covid-19.
Sementara itu, cara mengolah makanan menjadi salah satu hal yang perlu diperhatikan dalam menjalani pola hidup sehat, khususnya ketika mengurangi konsumsi makanan berminyak.
Memasak dengan cara mengukus dan memanggang bisa jadi pilihan. Keduanya efektif mengurangi penggunaan minyak goreng dalam mengolah makanan. "Dikukus atau dipanggang itu lebih sehat karena mengurangi lemak juga," ujar dr. Ning.
Kendati demikian dr. Ning mengingatkan bahwa makanan yang diolah dengan cara dipanggang pun tidak 100 persen sehat. Terlebih jika menggunakan arang. Bagian yang menjadi gosong ketika dipanggang sebaiknya tidak dikonsumsi.
Hal itu pun dibenarkan Ari Fahrial. Dia juga mengingatkan agar bagian makanan yang hitam tidak dimakan karena bisa menjadi karsinogenik atau zat yang memicu pertumbuhan sel kanker.
Selain dikukus, dipanggang, atau dibakar, kemajuan teknologi pun memungkinkan menggoreng makanan tanpa minyak yakni dengan alat masak air fryer. Proses memasak yang mengandalkan uap panas itu memungkinkan hasil masakan yang renyah tanpa menggunakan minyak goreng.
Baca juga: 6-12 Bulan Usai Terinfeksi, Sepertiga Penyintas Covid-19 Alami Gejala Long Covid
Lantas, apakah memasak makanan dengan air fryer lebih aman untuk kesehatan ketimbang menggoreng dengan minyak? Menurut dr. Ning, hingga saat ini belum ada penelitian khusus mengenai hal itu. Namun, air fryer dapat menjadi salah satu pilihan cara untuk mengurangi konsumsi minyak goreng.
"Sudah saatnya masyarakat mengurangi makanan yang digoreng. Mengurangi makanan yang digoreng berarti membuat pola hidup lebih sehat," ungkap Prof Ari dalam keterangan tertulis, belum lama ini.
Diaa menjelaskan, terlalu sering mengonsumsi makanan yang digoreng berisiko menaikkan kadar kolesterol dan mengakibatkan aterosklerosis. Yakni, pembuluh darah menjadi lebih sensitif dan kaku. Dampaknya, risiko terkena penyakit jantung koroner ikut meningkat.
Baca juga: Cakupan Vaksinasi di Sebagian Negara Masih Rendah, Ahli Kesehatan Ungkap Alasannya
Senada dengan Prof Ari, dokter spesialis penyakit dalam, dr. R.A. Adaninggar, SpPD, pun menyampaikan, minyak goreng sebagai salah satu sumber lemak jenuh yang berbahaya bagi tubuh jika dikonsumsi berlebihan. Karena itu, konsumsi makanan yang digoreng pun perlu dibatasi.
"Minyak goreng ini kan juga salah satu sumber lemak jenuh, lemak yang cukup berbahaya untuk tubuh. Sebenarnya kita dalam sehari itu ada batasannya untuk konsumsi minyak goreng," tutur dokter yang akrab disapa Ning itu.
Apabila kandungan lemak jenuh dalam minyak goreng tinggi, dikhawatirkan akan meningkatkan kadar kolesterol buruk dalam darah yang disebut low-density lipoprotein (LDL). Efeknya adalah meningkatkan risiko berbagai gangguan kesehatan. Mulai dari obesitas, diabetes, hingga penyakit jantung koroner.
Mengutip anjuran Kementerian Kesehatan mengenai pola hidup sehat, salah satunya dengan memerhatikan asupan lemak yang hanya 67 gram atau setara lima sendok makan per hari untuk setiap orang. Ini artinya konsumsi minyak goreng tiap orang sebaiknya kurang dari lima sendok makan per hari karena asupan lemak juga datang dari lauk pauk yang dikonsumsi.
"Jadi kalau (minyak goreng) langka, ya pakai takaran sehat itu sekalian menghemat," kata dr. Ning.
Dia sepakat jika kelangkaan minyak goreng dijadikan momentum untuk mengubah gaya hidup jadi lebih sehat. Menurutnya, pola hidup sehat menjadi keharusan di tengah pandemi Covid-19, terutama bagi mereka yang masuk kategori rentan.
Populasi rentan yang dimaksud dr. Ning adalah individu dengan komorbid seperti obesitas, diabetes, penyakit jantung dan lainnya. Kelompok rentan tersebut berisiko mengalami keparahan bahkan hingga kematian jika terinfeksi Covid-19.
Sementara itu, cara mengolah makanan menjadi salah satu hal yang perlu diperhatikan dalam menjalani pola hidup sehat, khususnya ketika mengurangi konsumsi makanan berminyak.
Memasak dengan cara mengukus dan memanggang bisa jadi pilihan. Keduanya efektif mengurangi penggunaan minyak goreng dalam mengolah makanan. "Dikukus atau dipanggang itu lebih sehat karena mengurangi lemak juga," ujar dr. Ning.
Kendati demikian dr. Ning mengingatkan bahwa makanan yang diolah dengan cara dipanggang pun tidak 100 persen sehat. Terlebih jika menggunakan arang. Bagian yang menjadi gosong ketika dipanggang sebaiknya tidak dikonsumsi.
Hal itu pun dibenarkan Ari Fahrial. Dia juga mengingatkan agar bagian makanan yang hitam tidak dimakan karena bisa menjadi karsinogenik atau zat yang memicu pertumbuhan sel kanker.
Selain dikukus, dipanggang, atau dibakar, kemajuan teknologi pun memungkinkan menggoreng makanan tanpa minyak yakni dengan alat masak air fryer. Proses memasak yang mengandalkan uap panas itu memungkinkan hasil masakan yang renyah tanpa menggunakan minyak goreng.
Baca juga: 6-12 Bulan Usai Terinfeksi, Sepertiga Penyintas Covid-19 Alami Gejala Long Covid
Lantas, apakah memasak makanan dengan air fryer lebih aman untuk kesehatan ketimbang menggoreng dengan minyak? Menurut dr. Ning, hingga saat ini belum ada penelitian khusus mengenai hal itu. Namun, air fryer dapat menjadi salah satu pilihan cara untuk mengurangi konsumsi minyak goreng.
(nug)