Butuh Upaya Ektra untuk Ajak Masyarakat Sadar terhadap Perubahan Iklim
Rabu, 10 Agustus 2022 - 09:10 WIB
JAKARTA - Inisiator Pandemic Talks, Firdza Radiany menilai akar masalah munculnya Covid-19 atau virus SARS-CoV-2 disebabkan perubahan iklim, pemanasan global dan perubahan cuaca .
Bukan hanya Covid-19, Firdza khawatir ke depannya akan muncul pandemi-pandemi lain yang disebabkan krisis iklim .
"Efek buruk dari krisis iklim lainnya adalah tentu saja polusi udara yang mana tidak semua orang paham akan isu ini," ungkap Firdza kepada tim Bicara Udara, beberapa waktu lalu.
Menurutnya, polusi udara di Indonesia adalah yang terparah di Asia Tenggara. "Bayangkan delapan kali lebih buruk. Itu misalkan ya kalau kita manusia berat manusia dewasa misalkan 60-70 kg, itu bisa berapa ratus kilo? Itu sebuah logika yang harus bisa dimasukkan ke masyarakat," tuturnya.
Masalah polusi udara ini diperparah oleh fakta penduduk terbanyak sebuah negara yang menyangkal terjadinya perubahan iklim.
Berdasarkan Indonesia dan Penyangkalan Isu Iklim Survei YouGov tahun 2020, di mana sebanyak 21% responden masyarakat Indonesia merasa bahwa alam masih baik-baik saja dan tidak perlu khawatir terhadap kerusakan lingkungan.
Firdza menuturkan, untuk membuat masyarakat sadar dan bergerak mengatasi krisis iklim ini tidak mudah. Pasalnya, sains adalah topik yang tidak populer di masyarakat, sehingga butuh tenaga ekstra untuk mengemasnya agar sains lebih menarik bagi masyarakat.
"Ketika orang awam melihat informasi krisis iklim di ponsel, dan masyarakat mulai merasa informasi ini penting, akan terjadi penyebaran informasi di media sosial tentang topik penting ini, ujungnya bisa terjadi diskursus publik," ucap Firdza, yang juga praktisi komunikasi.
Firdza berharap masyarakat tidak berhenti gelisah, tetap acuh, dan memperbanyak literasi akan krisis iklim ini.
"Kok Jabodetabek tambah panas, kalau hirup udara jadi enggak enak? Jadi jangan berhenti gelisah, coba cari literasi yang membicarakan polusi udara," tutupnya.
Bukan hanya Covid-19, Firdza khawatir ke depannya akan muncul pandemi-pandemi lain yang disebabkan krisis iklim .
"Efek buruk dari krisis iklim lainnya adalah tentu saja polusi udara yang mana tidak semua orang paham akan isu ini," ungkap Firdza kepada tim Bicara Udara, beberapa waktu lalu.
Menurutnya, polusi udara di Indonesia adalah yang terparah di Asia Tenggara. "Bayangkan delapan kali lebih buruk. Itu misalkan ya kalau kita manusia berat manusia dewasa misalkan 60-70 kg, itu bisa berapa ratus kilo? Itu sebuah logika yang harus bisa dimasukkan ke masyarakat," tuturnya.
Masalah polusi udara ini diperparah oleh fakta penduduk terbanyak sebuah negara yang menyangkal terjadinya perubahan iklim.
Berdasarkan Indonesia dan Penyangkalan Isu Iklim Survei YouGov tahun 2020, di mana sebanyak 21% responden masyarakat Indonesia merasa bahwa alam masih baik-baik saja dan tidak perlu khawatir terhadap kerusakan lingkungan.
Firdza menuturkan, untuk membuat masyarakat sadar dan bergerak mengatasi krisis iklim ini tidak mudah. Pasalnya, sains adalah topik yang tidak populer di masyarakat, sehingga butuh tenaga ekstra untuk mengemasnya agar sains lebih menarik bagi masyarakat.
"Ketika orang awam melihat informasi krisis iklim di ponsel, dan masyarakat mulai merasa informasi ini penting, akan terjadi penyebaran informasi di media sosial tentang topik penting ini, ujungnya bisa terjadi diskursus publik," ucap Firdza, yang juga praktisi komunikasi.
Firdza berharap masyarakat tidak berhenti gelisah, tetap acuh, dan memperbanyak literasi akan krisis iklim ini.
"Kok Jabodetabek tambah panas, kalau hirup udara jadi enggak enak? Jadi jangan berhenti gelisah, coba cari literasi yang membicarakan polusi udara," tutupnya.
(nug)
tulis komentar anda