Ini Cara Paling Efisien untuk Adopsi Pola Makan Berbasis Nabati
Selasa, 08 November 2022 - 20:20 WIB
JAKARTA - Laporan terbaru yang diterbitkan oleh Faunalytics memetakan analisis hambatan paling umum yang dihadapi oleh orang-orang yang baru mengadopsi pola makan vegan dan vegetarian serta cara yang paling efisien juga strategi untuk mempertahankannya.
Setelah mensurvei 222 peserta, para peneliti menemukan bahwa beberapa hambatan yang paling sering disebutkan terkait dengan alasan kesehatan dan kesulitan dalam memberi label atau identitas sebagai seorang vegan.
“Karena sebagian besar informasi pola makan berbasis nabati lebih sering muncul dalam isu yang terkait dengan kesejahteraan hewan, masih banyak orang mungkin tidak terlalu paham dengan manfaat kesehatan dan pola makan berbasis nabati dan komunitas di sekitarnya, yang bukan hanya memberikan dukungan transisi ke pola hidup yang bebas akan kekejaman, namun juga identitas sebagai seorang vegan,” papar Among Prakosa, Manajer 21 Hari Vegan di Act For Farmed Animals (AFFA), melalui keterangan tertulis, Selasa (8/11/2022).
Di Indonesia, 21 Hari Vegan memberikan tantangan vegan gratis untuk orang yang ingin mencoba pola makan ini dan bertemu dengan teman baru saat mencobanya.
Sementara itu, menurut penelitian, orang yang khawatir dengan kesehatannya saat beralih ke pola makan berbasis nabati, memiliki kesempatan tiga kali lebih mungkin untuk meninggalkan pola makan tersebut dalam enam bulan pertama.
“Adanya persepsi bahwa kita membutuhkan susu sapi untuk mendapatkan asupan kalsium dan daging merah untuk mendapatkan protein, menjadikan kita percaya bahwa kita akan menjadi lemah tanpanya. Padahal hal tersebut tidaklah benar,” jelas Among.
“Makanan seperti tahu, edamame, dan susu kedelai merupakan salah satu contoh sumber kalsium yang bagus. Dalam hal protein misalnya, ada banyak pilihan nabati yang dapat dengan mudah ditemukan di supermarket mana pun atau dibuat di rumah, seperti tahu, tempe, kacang hijau, dan banyak lainnya yang tidak hanya bebas dari kekejaman hewan namun juga lebih sehat daripada daging,” tambahnya.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengklasifikasikan daging olahan sebagai kanker dan pola makan berbasis nabati dikaitkan dengan efek perlindungan terhadap kanker sistem pencernaan serta 32% lebih rendah untuk berisiko mengalami kematian akibat penyakit kardiovaskular.
Menurut laporan Faunalytics, beberapa strategi terbaik untuk membantu seseorang memulai gaya hidup vegan adalah dengan meningkatkan dukungan sosial dan kemampuan untuk mengikuti pola makan berbasis nabati.
“Karena mengadopsi pola makan berbasis nabati berarti adanya perubahan gaya hidup bagi banyak orang, dan mendapatkan dukungan melalui komunitas atau bertemu orang-orang dengan minat yang sama dapat membuat semua perbedaan dalam membangun identitas sebagai vegan serta melanjutkan transisi mereka ke veganisme,” kata Among.
Di Indonesia, 21 Hari Vegan berkomitmen untuk menyambut orang baru dalam komunitas tersebut.
“Saat mendaftar dalam program Tantangan 21 Hari Vegan, orang-orang yang tertarik untuk menerapkan pola makan ini akan mendapatkan bantuan dari ahli gizi profesional secara gratis, memiliki kesempatan untuk bertemu orang lain dengan minat yang sama, dan menjaga motivasi mereka untuk tetap melanjutkan transisi mereka,” beber Among.
Setelah mensurvei 222 peserta, para peneliti menemukan bahwa beberapa hambatan yang paling sering disebutkan terkait dengan alasan kesehatan dan kesulitan dalam memberi label atau identitas sebagai seorang vegan.
“Karena sebagian besar informasi pola makan berbasis nabati lebih sering muncul dalam isu yang terkait dengan kesejahteraan hewan, masih banyak orang mungkin tidak terlalu paham dengan manfaat kesehatan dan pola makan berbasis nabati dan komunitas di sekitarnya, yang bukan hanya memberikan dukungan transisi ke pola hidup yang bebas akan kekejaman, namun juga identitas sebagai seorang vegan,” papar Among Prakosa, Manajer 21 Hari Vegan di Act For Farmed Animals (AFFA), melalui keterangan tertulis, Selasa (8/11/2022).
Di Indonesia, 21 Hari Vegan memberikan tantangan vegan gratis untuk orang yang ingin mencoba pola makan ini dan bertemu dengan teman baru saat mencobanya.
Sementara itu, menurut penelitian, orang yang khawatir dengan kesehatannya saat beralih ke pola makan berbasis nabati, memiliki kesempatan tiga kali lebih mungkin untuk meninggalkan pola makan tersebut dalam enam bulan pertama.
“Adanya persepsi bahwa kita membutuhkan susu sapi untuk mendapatkan asupan kalsium dan daging merah untuk mendapatkan protein, menjadikan kita percaya bahwa kita akan menjadi lemah tanpanya. Padahal hal tersebut tidaklah benar,” jelas Among.
“Makanan seperti tahu, edamame, dan susu kedelai merupakan salah satu contoh sumber kalsium yang bagus. Dalam hal protein misalnya, ada banyak pilihan nabati yang dapat dengan mudah ditemukan di supermarket mana pun atau dibuat di rumah, seperti tahu, tempe, kacang hijau, dan banyak lainnya yang tidak hanya bebas dari kekejaman hewan namun juga lebih sehat daripada daging,” tambahnya.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengklasifikasikan daging olahan sebagai kanker dan pola makan berbasis nabati dikaitkan dengan efek perlindungan terhadap kanker sistem pencernaan serta 32% lebih rendah untuk berisiko mengalami kematian akibat penyakit kardiovaskular.
Menurut laporan Faunalytics, beberapa strategi terbaik untuk membantu seseorang memulai gaya hidup vegan adalah dengan meningkatkan dukungan sosial dan kemampuan untuk mengikuti pola makan berbasis nabati.
“Karena mengadopsi pola makan berbasis nabati berarti adanya perubahan gaya hidup bagi banyak orang, dan mendapatkan dukungan melalui komunitas atau bertemu orang-orang dengan minat yang sama dapat membuat semua perbedaan dalam membangun identitas sebagai vegan serta melanjutkan transisi mereka ke veganisme,” kata Among.
Di Indonesia, 21 Hari Vegan berkomitmen untuk menyambut orang baru dalam komunitas tersebut.
“Saat mendaftar dalam program Tantangan 21 Hari Vegan, orang-orang yang tertarik untuk menerapkan pola makan ini akan mendapatkan bantuan dari ahli gizi profesional secara gratis, memiliki kesempatan untuk bertemu orang lain dengan minat yang sama, dan menjaga motivasi mereka untuk tetap melanjutkan transisi mereka,” beber Among.
(tsa)
tulis komentar anda