Sagu, Olahan yang Lekat di Lidah Orang Indonesia
Kamis, 09 Juli 2020 - 13:41 WIB
JAKARTA - Selama ini kita percaya bahwa beras merupakan makanan asli Indonesia. Namun, menurut temuan para peneliti, sagu ternyata juga dikonsumsi sejak dulu di bumi Nusantara. Sagu sejak dulu sudah diolah menjadi berbagai jenis makanan yang lezat dan disukai seluruh keluarga.
Dalam diskusi daring yang dilaksanakan Badan Restorasi Gambut bertajuk "Tanaman Sagu di Lahan Gambut: Potensi dan Tantangan Pengembangan" belum lama ini Prof. Dr. Ir. HMH Bintoro, M.Agr dari Institut Pertanian Bogor membawa peserta diskusi menelurusi cerita tentang sagu, dimulai sejak abad ke-9 M di tanah Jawa.
Menjelajahi bermacam makanan khas pokok tradisional, sagu ditemukan di berbagai daerah. Di Papua, Maluku, dan Sulawesi, bubur sagu menjadi makanan pokok penduduk asli dengan nama atau penyebutan yang berbeda. Kapurung di Sulawesi, dan papeda di Maluku atau Papua. ( )
Di Kabupaten Meranti, Provinsi Riau, di mana sagu tumbuh bebas di ekosistem gambut yang basah, masyarakat terbiasa mengolah sagu menjadi berbagai jenis produk pangan olahan seperti mi sagu, lempeng sagu, sagu rendang, dan sempolat atau bubur sagu dengan tambahan udang, ikan, cumi, atau kerang serta sayur pakis.
,
Pengolahan sagu saat ini juga semakin modern. Pada industri pangan, tepung sagu mulai diteliti dan dikembangkan menjadi biskuit pendamping air susu ibu, sohun instan, serta kue kering.
Prof. Bintoro mengatakan, sagu memiliki nutrisi yang relatif lengkap dan baik bagi tubuh. Di dalam sagu terdapat karbohidrat dalam jumlah cukup banyak plus protein, vitamin, dan mineral.
“Sagu salah satu bahan pangan lokal Indonesia berpotensi, yang perlu lebih dieksplorasi pengembangan dan kegunaannya karena memiliki kadar karbohidrat serta serat yang tinggi. Dengan kandungannya, sagu menjadi solusi pangan pengganti nasi, dan bermanfaat bagi mereka yang mengidap penyakit celiac atau autoimun yang terjadi akibat mengonsumsi gluten,” beber Prof. Bintoro.
Sagu menjadi salah satu tanaman yang dapat memperkuat ketahanan pangan Indonesia di masa mendatang. Namun, tantangan yang dihadapi saat ini adalah peningkatan produksi sagu.
Di Indonesia, budidaya sagu dikembangkan di areal seluas total 5.539.637 hektare, tersebar di Maluku, Sulawesi, Kalimantan, Sumatera, Kepulauan Riau, Kepulauan Mentawai, Papua, dan Papua Barat. Kapasitas produksi sagu saat ini hanya 250.400 ton per tahun. Terdiri dari sagu rakyat sebanyak 241.000 ton per tahun, sagu perkebunan 6.000 ton per tahun, sagu rakyat Papua 400 ton per tahun, dan sagu perkebunan di Papua Barat sebanyak 3.000 ton per tahun.
"Pada jangka panjang sagu dapat memberi keuntungan ekonomi karena bisa memperkuat ketahanan pangan nasional serta meningkatkan kualitas hidup dan sosial ekonomi masyarakat. Terutama petani dan pengolah sagu," ungkap Kepala Badan Restorasi Gambut Nazir Foead. ( )
Jadi, Anda yang terbiasa makan nasi mulai sekarang bisa sesekali membiasakan mengolah sagu untuk makanan sehari-hari. Aneka masakan dari mi sagu maupun bubur sagu bisa menjadi pilihan yang ditambahkan bahan-bahan seafood seperti udang dan ikan dori yang lembut teksturnya. Sajian itu tentu bisa menggugah selera makan keluarga.
Dalam diskusi daring yang dilaksanakan Badan Restorasi Gambut bertajuk "Tanaman Sagu di Lahan Gambut: Potensi dan Tantangan Pengembangan" belum lama ini Prof. Dr. Ir. HMH Bintoro, M.Agr dari Institut Pertanian Bogor membawa peserta diskusi menelurusi cerita tentang sagu, dimulai sejak abad ke-9 M di tanah Jawa.
Menjelajahi bermacam makanan khas pokok tradisional, sagu ditemukan di berbagai daerah. Di Papua, Maluku, dan Sulawesi, bubur sagu menjadi makanan pokok penduduk asli dengan nama atau penyebutan yang berbeda. Kapurung di Sulawesi, dan papeda di Maluku atau Papua. ( )
Di Kabupaten Meranti, Provinsi Riau, di mana sagu tumbuh bebas di ekosistem gambut yang basah, masyarakat terbiasa mengolah sagu menjadi berbagai jenis produk pangan olahan seperti mi sagu, lempeng sagu, sagu rendang, dan sempolat atau bubur sagu dengan tambahan udang, ikan, cumi, atau kerang serta sayur pakis.
,
Pengolahan sagu saat ini juga semakin modern. Pada industri pangan, tepung sagu mulai diteliti dan dikembangkan menjadi biskuit pendamping air susu ibu, sohun instan, serta kue kering.
Prof. Bintoro mengatakan, sagu memiliki nutrisi yang relatif lengkap dan baik bagi tubuh. Di dalam sagu terdapat karbohidrat dalam jumlah cukup banyak plus protein, vitamin, dan mineral.
“Sagu salah satu bahan pangan lokal Indonesia berpotensi, yang perlu lebih dieksplorasi pengembangan dan kegunaannya karena memiliki kadar karbohidrat serta serat yang tinggi. Dengan kandungannya, sagu menjadi solusi pangan pengganti nasi, dan bermanfaat bagi mereka yang mengidap penyakit celiac atau autoimun yang terjadi akibat mengonsumsi gluten,” beber Prof. Bintoro.
Sagu menjadi salah satu tanaman yang dapat memperkuat ketahanan pangan Indonesia di masa mendatang. Namun, tantangan yang dihadapi saat ini adalah peningkatan produksi sagu.
Di Indonesia, budidaya sagu dikembangkan di areal seluas total 5.539.637 hektare, tersebar di Maluku, Sulawesi, Kalimantan, Sumatera, Kepulauan Riau, Kepulauan Mentawai, Papua, dan Papua Barat. Kapasitas produksi sagu saat ini hanya 250.400 ton per tahun. Terdiri dari sagu rakyat sebanyak 241.000 ton per tahun, sagu perkebunan 6.000 ton per tahun, sagu rakyat Papua 400 ton per tahun, dan sagu perkebunan di Papua Barat sebanyak 3.000 ton per tahun.
"Pada jangka panjang sagu dapat memberi keuntungan ekonomi karena bisa memperkuat ketahanan pangan nasional serta meningkatkan kualitas hidup dan sosial ekonomi masyarakat. Terutama petani dan pengolah sagu," ungkap Kepala Badan Restorasi Gambut Nazir Foead. ( )
Jadi, Anda yang terbiasa makan nasi mulai sekarang bisa sesekali membiasakan mengolah sagu untuk makanan sehari-hari. Aneka masakan dari mi sagu maupun bubur sagu bisa menjadi pilihan yang ditambahkan bahan-bahan seafood seperti udang dan ikan dori yang lembut teksturnya. Sajian itu tentu bisa menggugah selera makan keluarga.
(tsa)
tulis komentar anda