Hadapi Covid-19, Produk Jamu dan OHT Didukung Jadi Fitofarmaka
Jum'at, 10 Juli 2020 - 23:03 WIB
JAKARTA - Indonesiamempunyai banyak kekayaan alam, salah satu hasil dari kekayaan alamnya adalah tanaman obat atau herbal.Bumi Nusantara ini pun memiliki sekitar 35.000 dari 45.000 jenis tanaman obat yang ada di dunia. Sayangnya, ribuan jamu atau obat herbal yang beredar hanya memiliki izin P-IRT (Produk Industri Rumah Tangga).
(Baca juga: Tiga Nutrisi yang Dapat Membantu Sistem Kekebalan Tubuh )
Hanya sebagian kecil dari yang beredar tersebut memiliki izin dari BPOM, dan itu pun masih kategori Jamu ataupun Obat Herbal Terstandar (OHT). Sementara, produk kategori tersebut masih belum bisa diresepkan dokter sebagai obat medis, sehingga diperlukan penelitian dan uji klinis yang komprehensif agar bisa diterima sebagai obat medis berkategori Fitofarmaka.
Dengan kekayaan alam yang luar biasa ini, Indonesia hanya memiliki 24 fitofarmaka yang terdaftar di BPOM. Negara yang berhasil menciptakan banyak fitofarmaka masih didominasi negara-negara maju seperti Amerika Serikat dan Jerman. Menurut Direktur PT Bio Teknologi Indonesia, Setya Dwi Haryanto, mahalnya biaya uji klinis fitofarmaka menjadi tantangan tersendiri bagi pengembangan industri obat herbal .
"Fitofarmaka memang harus uji klinis berdasarkan standar WHO . Biayanya memang mahal, bisa mencapai Rp6 miliar, kita mau jual produk seharga berapa kalau uji klinisnya saja mencapai Rp6 miliar dan butuh waktu yang lama," ungkap Setya melalui pernyataan tertulisnya, Jumat (10/7).
(Baca juga: 6 Manfaat Beras Merah, Jaga Kekebalan Tubuh hingga Kesehatan Jantung )
Setya memaparkan bahwa banyak pelaku industri jamu dan obat herbal yang mengeluarkan produk yang memiliki potensi antivirus, salah satunya adalah produk yang dirilis pihaknya, yakni Fit-O. Suplemen kesehatan untuk memperkuat imunitas tubuh ini memang telah mengantongi izin edar dari BPOM, namun mereka masih tetap kesulitan untuk mendapatkan kategori Fitofarmaka.
"Selain biayanya yang tinggi, perlu waktu yang lama untuk memperoleh kategori Fitofarmaka agar bisa diresepkan oleh dokter, padahal dalam sebulan terakhir ini Fit-O sudah banyak digunakan di Kota Malang dan terbukti membantu puluhan pasien positif Covid-19," terang Setya.
Wali Kota Malang, Sutiaji juga mengatakan jika Fit-O telah digunakan di Kota Malang dalam 3 minggu terakhir ini, dan puluhan pasien positif dinyatakan telah sembuh. Meski demikian, pihaknya mengakui tidak mudah memberikan Fit-O ke rumah sakit di Malang lantaran belum termasuk fitofarmaka. Hal itu pun disampaikannya dalam rapat terbatas dengan Dewan Ketahanan Nasional, Selasa (7/7) lalu.
(Baca juga: 5 Cemilan Sehat yang Baik Dikonsumsi Selama Pandemi )
Melihat kondisi tersebut, menurut Sutiaji, pemerintah melalui Sekretariat Jenderal Dewan Ketahanan Nasional akan mendukung terwujudnya solusi terstruktur akselerasi prosedur uji klinis produk Jamu dan OHT menjadi kategori Fitofarmaka. Hal itu pun diapresiasi Sutiaji, karena dengan program percepatan prosedural dan subsidi biaya uji klinis, produk asli Indonesia berkesempatan besar masuk kategori Fitofarmaka, dan bisa digunakan di RS secara legal.
Sementara itu, Setya menambahkan, pihaknya juga akan merilis Minyak SW Sumber Waras yang memiliki fungsi yang disebutnya dengan AirBiotics, yakni probiotik yang diuapkan ke udara dengan fungsi membersihkan udara di ruangan dari berbagai virus, termasuk virus corona.
(Baca juga: Tiga Nutrisi yang Dapat Membantu Sistem Kekebalan Tubuh )
Hanya sebagian kecil dari yang beredar tersebut memiliki izin dari BPOM, dan itu pun masih kategori Jamu ataupun Obat Herbal Terstandar (OHT). Sementara, produk kategori tersebut masih belum bisa diresepkan dokter sebagai obat medis, sehingga diperlukan penelitian dan uji klinis yang komprehensif agar bisa diterima sebagai obat medis berkategori Fitofarmaka.
Dengan kekayaan alam yang luar biasa ini, Indonesia hanya memiliki 24 fitofarmaka yang terdaftar di BPOM. Negara yang berhasil menciptakan banyak fitofarmaka masih didominasi negara-negara maju seperti Amerika Serikat dan Jerman. Menurut Direktur PT Bio Teknologi Indonesia, Setya Dwi Haryanto, mahalnya biaya uji klinis fitofarmaka menjadi tantangan tersendiri bagi pengembangan industri obat herbal .
"Fitofarmaka memang harus uji klinis berdasarkan standar WHO . Biayanya memang mahal, bisa mencapai Rp6 miliar, kita mau jual produk seharga berapa kalau uji klinisnya saja mencapai Rp6 miliar dan butuh waktu yang lama," ungkap Setya melalui pernyataan tertulisnya, Jumat (10/7).
(Baca juga: 6 Manfaat Beras Merah, Jaga Kekebalan Tubuh hingga Kesehatan Jantung )
Setya memaparkan bahwa banyak pelaku industri jamu dan obat herbal yang mengeluarkan produk yang memiliki potensi antivirus, salah satunya adalah produk yang dirilis pihaknya, yakni Fit-O. Suplemen kesehatan untuk memperkuat imunitas tubuh ini memang telah mengantongi izin edar dari BPOM, namun mereka masih tetap kesulitan untuk mendapatkan kategori Fitofarmaka.
"Selain biayanya yang tinggi, perlu waktu yang lama untuk memperoleh kategori Fitofarmaka agar bisa diresepkan oleh dokter, padahal dalam sebulan terakhir ini Fit-O sudah banyak digunakan di Kota Malang dan terbukti membantu puluhan pasien positif Covid-19," terang Setya.
Wali Kota Malang, Sutiaji juga mengatakan jika Fit-O telah digunakan di Kota Malang dalam 3 minggu terakhir ini, dan puluhan pasien positif dinyatakan telah sembuh. Meski demikian, pihaknya mengakui tidak mudah memberikan Fit-O ke rumah sakit di Malang lantaran belum termasuk fitofarmaka. Hal itu pun disampaikannya dalam rapat terbatas dengan Dewan Ketahanan Nasional, Selasa (7/7) lalu.
(Baca juga: 5 Cemilan Sehat yang Baik Dikonsumsi Selama Pandemi )
Melihat kondisi tersebut, menurut Sutiaji, pemerintah melalui Sekretariat Jenderal Dewan Ketahanan Nasional akan mendukung terwujudnya solusi terstruktur akselerasi prosedur uji klinis produk Jamu dan OHT menjadi kategori Fitofarmaka. Hal itu pun diapresiasi Sutiaji, karena dengan program percepatan prosedural dan subsidi biaya uji klinis, produk asli Indonesia berkesempatan besar masuk kategori Fitofarmaka, dan bisa digunakan di RS secara legal.
Sementara itu, Setya menambahkan, pihaknya juga akan merilis Minyak SW Sumber Waras yang memiliki fungsi yang disebutnya dengan AirBiotics, yakni probiotik yang diuapkan ke udara dengan fungsi membersihkan udara di ruangan dari berbagai virus, termasuk virus corona.
(nug)
Lihat Juga :
tulis komentar anda