Pentingnya Peran Orang Tua untuk Awasi Aktivitas Online Buah Hati demi Wujudkan Dunia Daring Ramah Anak
loading...
A
A
A
JAKARTA - Kajian tentang eksploitasi, kekerasan seksual, dan perundungan online di Indonesia yang diluncurkan Childfund International di Indonesia (CFI) pada Desember 2022 menunjukkan, eksploitasi seksual komersial anak (ESKA) secara daring telah berkembang menjadi berbagai bentuk. Tidak hanya dalam bentuk produksi, kepemilikan, serta distribusi materi pelecehan dan eksploitasi seksual anak secara daring, tetapi telah diperluas menjadi live streaming pelecehan seksual anak, online grooming, serta pemerasan dan pemaksaan seksual.
Kajian itu juga menunjukkan bahwa teknologi dapat digunakan untuk memperluas kekerasan di kehidupan nyata. Lebih jauh dikatakan di sana, sebanyak 5 dari 10 anak usia 13-24 tahun menjadi pelaku perundungan online. Sementara 6 dari 10 orang muda menjadi korban. Dalam rentang usia 13-24 tahun, anak berusia 13-15 tahunlah yang memiliki kerentanan tertinggi menjadi korban perundungan (64,5%).
Berdasarkan kajian tersebut, orang tua dan pendidik dituntut untuk lebih cepat beradaptasi dalam mengawasi aktivitas anak, mendidik, serta melindungi mereka dari ancaman yang ada di dunia daring.
Menyikapi hal itu, CFI pun memperkenalkan program Swipe Safe guna membentuk kultur digital yang positif, serta membantu orang tua dan tenaga pendidik dalam menavigasi dunia maya dengan lebih baik.
Swipe Safe adalah inisiatif yang dilakukan oleh CFI dengan dukungan dari ChildFund Australia dan Australia Government. Program ini bertujuan agar masyarakat dapat menavigasi internet dengan aman melalui edukasi anak, orang tua, penyedia layanan, dan sekolah mengenai potensi risiko online. Juga lewat pemberian keterampilan praktis bagaimana melindungi diri dari risiko eksploitasi seksual, kekerasan seksual, penipuan, dan peretasan di dunia online.
“Inisiatif Swipe Safe juga bekerja sama dengan sekolah untuk mengembangkan kebijakan sekolah dan prosedur keamanan online bagi anak,” kata Spesialis Perlindungan Anak dan Advokasi CFI Reny Haning dalam media briefing inisiatif Swipe Safe di Jakarta, Jumat (17/3/2023).
Menurut Reny Haning, anak laki-laki dan perempuan memiliki risiko yang sama untuk menjadi pelaku ataupun korban perundungan online. Namun, anak laki-laki memiliki kemungkinan tinggi menjadi pelaku, dan anak perempuan sebagai korban.
Sementara itu, berdasarkan kajian CFI, siswa SMA lebih mungkin menjadi pelaku dan korban perundungan online dibanding siswa SMP ataupun mahasiswa perguruan tinggi.
“Kurangnya pemahaman dan kesadaran yang baik akan perundungan online, termasuk kompetensi digital yang memadai, bisa menjadikan orang tua dan tenaga pendidik menganggap internet tidak berbahaya. Sehingga mereka cenderung kurang mengawasi aktivitas daring sang anak," beber Reny.
Menyikapi hasil kajian CFI tersebut, Psikolog Anak dan Co-Founder TigaGenerasi Putu Andini mengatakan, perilaku perundungan online sangat berkaitan dengan pengawasan serta peran orang tua, tenaga pendidik, hingga media.
“Bahkan orang tua yang kurang terlibat dalam mengawasi apa yang dilakukan anak mereka secara daring, bisa menjadi pemicu keterlibatan anak dalam perilaku perundungan online. Jika dibiarkan, dampak perundungan online bisa memengaruhi anak hingga usia dewasa, baik bagi pelaku maupun korban,” terang Putu.
Menurut Putu, perundungan online bisa memengaruhi bagaimana anak mempersepsikan dirinya dan dunia di sekitar. Persepsi ini tidak hanya terbentuk dari satu kejadian perundungan online yang dialami, namun bisa juga dipengaruhi oleh faktor eksternal seperti pemberitaan yang tidak ramah anak.
Sebagai bagian dari gerakan global, CFI senantiasa membawa arahan strategis guna mengatasi isu-isu akibat perubahan dunia yang cepat, dengan meningkatkan kolaborasi orang tua, tenaga pendidik, dan media dalam mewujudkan dunia ramah anak.
“Salah satu isu yang menjadi arah strategi ChildFund Internasional tahun ini adalah perlindungan anak dan orang muda di dunia daring. Ini tentu membutuhkan kolaborasi dari berbagai pihak, khususnya orang tua, tenaga pendidik, dan media. Untuk itu CFI menghadirkan berbagai program pelatihan dan edukasi guna meningkatkan kesadaran, pemahaman, dan literasi orang tua, tenaga pendidik serta jurnalis soal melindungi anak dan remaja dari perundungan online,” pungkas Reny.
Kajian itu juga menunjukkan bahwa teknologi dapat digunakan untuk memperluas kekerasan di kehidupan nyata. Lebih jauh dikatakan di sana, sebanyak 5 dari 10 anak usia 13-24 tahun menjadi pelaku perundungan online. Sementara 6 dari 10 orang muda menjadi korban. Dalam rentang usia 13-24 tahun, anak berusia 13-15 tahunlah yang memiliki kerentanan tertinggi menjadi korban perundungan (64,5%).
Berdasarkan kajian tersebut, orang tua dan pendidik dituntut untuk lebih cepat beradaptasi dalam mengawasi aktivitas anak, mendidik, serta melindungi mereka dari ancaman yang ada di dunia daring.
Menyikapi hal itu, CFI pun memperkenalkan program Swipe Safe guna membentuk kultur digital yang positif, serta membantu orang tua dan tenaga pendidik dalam menavigasi dunia maya dengan lebih baik.
Swipe Safe adalah inisiatif yang dilakukan oleh CFI dengan dukungan dari ChildFund Australia dan Australia Government. Program ini bertujuan agar masyarakat dapat menavigasi internet dengan aman melalui edukasi anak, orang tua, penyedia layanan, dan sekolah mengenai potensi risiko online. Juga lewat pemberian keterampilan praktis bagaimana melindungi diri dari risiko eksploitasi seksual, kekerasan seksual, penipuan, dan peretasan di dunia online.
“Inisiatif Swipe Safe juga bekerja sama dengan sekolah untuk mengembangkan kebijakan sekolah dan prosedur keamanan online bagi anak,” kata Spesialis Perlindungan Anak dan Advokasi CFI Reny Haning dalam media briefing inisiatif Swipe Safe di Jakarta, Jumat (17/3/2023).
Menurut Reny Haning, anak laki-laki dan perempuan memiliki risiko yang sama untuk menjadi pelaku ataupun korban perundungan online. Namun, anak laki-laki memiliki kemungkinan tinggi menjadi pelaku, dan anak perempuan sebagai korban.
Sementara itu, berdasarkan kajian CFI, siswa SMA lebih mungkin menjadi pelaku dan korban perundungan online dibanding siswa SMP ataupun mahasiswa perguruan tinggi.
“Kurangnya pemahaman dan kesadaran yang baik akan perundungan online, termasuk kompetensi digital yang memadai, bisa menjadikan orang tua dan tenaga pendidik menganggap internet tidak berbahaya. Sehingga mereka cenderung kurang mengawasi aktivitas daring sang anak," beber Reny.
Menyikapi hasil kajian CFI tersebut, Psikolog Anak dan Co-Founder TigaGenerasi Putu Andini mengatakan, perilaku perundungan online sangat berkaitan dengan pengawasan serta peran orang tua, tenaga pendidik, hingga media.
“Bahkan orang tua yang kurang terlibat dalam mengawasi apa yang dilakukan anak mereka secara daring, bisa menjadi pemicu keterlibatan anak dalam perilaku perundungan online. Jika dibiarkan, dampak perundungan online bisa memengaruhi anak hingga usia dewasa, baik bagi pelaku maupun korban,” terang Putu.
Menurut Putu, perundungan online bisa memengaruhi bagaimana anak mempersepsikan dirinya dan dunia di sekitar. Persepsi ini tidak hanya terbentuk dari satu kejadian perundungan online yang dialami, namun bisa juga dipengaruhi oleh faktor eksternal seperti pemberitaan yang tidak ramah anak.
Sebagai bagian dari gerakan global, CFI senantiasa membawa arahan strategis guna mengatasi isu-isu akibat perubahan dunia yang cepat, dengan meningkatkan kolaborasi orang tua, tenaga pendidik, dan media dalam mewujudkan dunia ramah anak.
“Salah satu isu yang menjadi arah strategi ChildFund Internasional tahun ini adalah perlindungan anak dan orang muda di dunia daring. Ini tentu membutuhkan kolaborasi dari berbagai pihak, khususnya orang tua, tenaga pendidik, dan media. Untuk itu CFI menghadirkan berbagai program pelatihan dan edukasi guna meningkatkan kesadaran, pemahaman, dan literasi orang tua, tenaga pendidik serta jurnalis soal melindungi anak dan remaja dari perundungan online,” pungkas Reny.
(tsa)