Gizi Buruk Masih Terjadi, Termasuk di Kawasan Penyangga Ibu Kota Ini

Minggu, 19 Juli 2020 - 08:19 WIB
loading...
Gizi Buruk Masih Terjadi,...
Kecukupan gizi anak sejak dalam masa kandungan hingga berusia dua tahun bakal menentukan kualitas anak di masa depan. Foto/Istimewa
A A A
JAKARTA - Sebagai daerah penyangga ibu kota, infrastruktur Tangerang yang menjadi parameter masyarakat, dalam 10 tahun terakhir tumbuh sangat signifikan. Sayang, kondisi ini berbanding terbalik dengan kesejahteraan masyarakatnya yang terbilang rendah.

Berdasarkan data BPS, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Kota Tangerang sebesar 77,01 merupakan urutan ke-53 IPM kota/kabupaten se-Indonesia. Sementara Kabupaten Tangerang dengan IPM 70,97 berada pada urutan 145 dari total 514 kabupaten/kota di Indonesia. ( )

Jika dirunut, salah satu faktor penentu tinggi rendahnya IPM adalah kecukupan gizi anak di masa 1.000 hari pertama kehidupan (HPK). Artinya, kecukupan gizi anak sejak dalam masa kandungan hingga berusia dua tahun bakal menentukan kualitas anak di masa depan. Karena itu, bila IPM Tangerang –yang hanya berjarak 50 KM dari pusat Kota Jakarta- berada pada urutan bawah, maka kecukupan gizi anak-anak usia dini perlu diperhatikan.

Bupati Tangerang Ahmed Zaki Iskandar mengakui, masih banyak anak yang mengalami stunting atau masalah kurang gizi. Berdasarkan data Dinas Kesehatan (Dinkes) Kabupaten Tangerang, tercatat ada sebanyak 28,8% warga di sana yang menderita kurang gizi.

"Stunting masih dianggap biasa, padahal ini berdampak pada pertumbuhan anak. Masyarakat harus tahu masalah stunting supaya bisa diminimalisir keberadaannya," ujar Ahmed.

Masalahnya, masih banyak calon ibu maupun ibu muda yang belum teredukasi tentang stunting.

“Saya menemukan, beberapa anak dengan usia 2 tahun, berat badannya hanya 2 kg, tapi orangtuanya masih ngotot anaknya baik-baik saja,” ujar Aktivis Kesehatan Anak Yuli Supriati.

Disebutkan Yuli, dalam kunjungannya ke Puskesmas Tigaraksa, Tangerang, beberapa waktu lalu, ia mendapati sebanyak 36 anak usia di bawah 5 tahun berada dalam status gizi kurang. Sebanyak 21 anak di antaranya berada pada rentang usia 1-2 tahun.

Di Desa Cileleus, Tigaraksa, Tangerang, Yuli bertemu Mutia dan Tegar, dua balita penerima program pemberian makanan tambahan (PMT) dari Puskesmas Tigaraksa. Mutia dan Tegar berusia 2 tahun dengan berat badan hanya 7 kg. Padahal, untuk anak normal, di usia dua tahun seharusnya memiliki berat badan 14 kg untuk perempuan dan 15 kg untuk laki-laki.

“Ketika bayi dikasih ASI, tapi orangtua kerja, anaknya dirawat oleh saya. Kalau pas lagi ada (uang), dibelikan susu kaleng, sering juga diutangin di agen,” ujar Amah, nenek yang merawat Mutia.

Susu kaleng yang dimaksud Amah adalah kental manis (SKM) . Amah sendiri sudah tak mengingat sejak kapan cucunya mengonsumsi kental manis sebagai asupan nutrisi. Dalam sehari, Mutia bisa mengonsumsi 3-4 gelas SKM. Tak jauh berbeda dengan Mutia, Tegar pun dalam sehari bisa minum SKM 3-4 kali dalam sehari. (

Baik keluarga Mutia maupun Tegar tidak mengetahui bahwa SKM bukanlah minuman susu untuk anak. Bagi mereka, SKM adalah susu seperti yang diiklankan melalui televisi, rasanya manis disukai anak dan harganya terjangkau.

Mirisnya, asupan yang salah itu tidak hanya dialami Mutia dan Tegar. "Ada banyak anak lain yang bernasib sekadar kenyang, tanpa mereka tahu bahwa yang mereka makan dapat menjadi racun bagi tubuh mereka kelak,” pungkas Yuli.
(tsa)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2405 seconds (0.1#10.140)