Rencana Indonesia Bertransisi dari Pandemi ke Endemi, Ahli Epidemiologi: Harus Siap dan Butuh Strategi
loading...
A
A
A
JAKARTA - Baru-baru ini, Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengingatkan masyarakat agar tidak larut dalam euforia jika pandemi Covid-19 bertransisi menjadi endemi.
Dalam pernyataannya Jokowi mengatakan rencananya, transisi tersebut akan diumumkan pada beberapa minggu ke depan.Salah satu dampak berubahnya pandemi menjadi endemi adalah warga yang kena Covid-19 diwajibkan bayar sendiri jika masuk ruang perawatan. Pada saat masih menjadi pandemi, perawatan warga yang terkena Covid-19 semuanya ditanggung pemerintah alias gratis.
Menanggapi hal ini, Ahli Epidemiologi Griffith University Australia, dr. Dicky Budiman mengaku sependapat dengan pernyataan orang nomor satu di Indonesia itu.
Dicky menilai, endemi bukanlah tolak ukur bahwa kondisi dari suatu negara telah terbebas dari pandemi. Ia menyebut, meskipun nantinya sudah bertransisi ke endemi, bukan tidak mungkin, kematian akibat pandemi Covid-19 masih tetap ada.“Satu, endemi itu bukan satu kondisi yang baik ya. Dan apalagi menyenangkan ya. Betul kata pak Presiden,” ujar dr.Dicky, dalam keterangan resminya baru-baru ini.
Foto/dok sindonews
“Kita sebetulnya kalau bicara endemi kematian bisa tetap ada dan bisa juga relatif tinggi tapi stabil atau stabil tinggi, itu endemi. Stabil terus orang masuk rumah sakit itu endemi. Jadi kata kuncinya itu stabil dan bisa diprediksi,” terangnya lagi.
Dicky juga mengingatkan, meski saat ini kondisi beberapa negara sudah masuk dalam masa endemi, namun, hal tersebut jangan sampai membuat Pemerintah lengah dengan setiap kemungkinan terburuk yang ada. Mengingat, bukan tidak mungkin juga suatu saat bisa muncul kembali pandemi baru.
“Kedua, ketika ini beralih ke katakanlah kondisinya memang saat ini sudah lewat masa akut pandemi, dan masuk ke sebagian besar endemi, tapi Pemerintah setiap level, setiap negara, harus siap dengan skenario buruk atau terburuk,” tuturnya.
“Ketika misalnya lahir varian atau sub varian atau bahkan ada satu infeksi yang menyebabkan harus penguatan respon lagi, nah ini kan harus ada strategi itu,” imbuhnya.
Terlebih, kemungkinan tersebut makin besar jika masyarakat masih belum ‘aware’ dengan perilaku hidup bersih dan sehat. Ditambah lagi, dengan kualitas udara di beberapa negara yang semakin memburuk.
Bahkan, menurut Dicky pandemi baru bukan tidak mungkin akan terjadi lagi, mengingat masyarakat Indonesia saja masih banyak yang tidak mau divaksin atau booster saat pandemi Covid-19 melanda.“Dan ini cenderung bisa ada kalau dunia ini termasuk di Indonesia kita menanggalkan perilaku hidup bersih sehat,” katanya.
“Orang tidak mau divaksin lagi padahal dia perlu booster atau belum pernah divaksin, dan lain sebagainya, kualitas udara juga buruk dan inilah harus diketahui,” lanjutnya.
Butuh Kesiapan dan Strategi
Di sisi lain, Dicky menilai, keputusan negara dalam menjalankan rencana transisi dari pandemi ke endemi membutuhkan kesiapan dan strategi yang matang.Dalam hal ini, saat status kedaruratan telah dicabut, Pemerintah harus memikirkan segala konsekuensi yang bisa saja terjadi di kemudian hari.
Apalagi, masyarakat Indonesia khususnya yang tidak mampu, banyak yang mengandalkan BPJS untuk berobat. Menurutnya, perawatan Covid-19 juga harus mulai dipertimbangkan untuk bisa dicover oleh BPJS.
“Selain itu, kalau kita bicara masuk ke situasi dimana kedaruratan sudah dicabut, kita juga harus tau konsekuensinya adalah bagaimana nanti nasib para pasien yang katakanlah miskin, tidak mampu, ini apakah siap ditanggung BPJS?,” ungkapnya.
Pemerintah juga diharapkan mempertimbangkan kemungkinan buruk yang bisa terjadi di suatu daerah, yang tidak didukung dengan anggaran atau sarana medis yang memadai.
“Terus bagaimana kalau ada KLB, Covid, disatu daerah terus sudaah tidak ada dukungan. Padahal daerah itu tidak mampu secara APBD. Hal-hal seperti itu yang seharusnya dipikirkan,” ungkapnya.
“Jadi saya kira dalam konteks saat ini, mencabut status darurat dimungkinkan tapi tentu harus siap, opsi atau strategi, yang bakal dapat dilakukan untuk mengisi masa transisi terutama untuk kelompok daerah yang rentan, yang memiliki kemampuan yang terbatas,” tutupnya.*
Dalam pernyataannya Jokowi mengatakan rencananya, transisi tersebut akan diumumkan pada beberapa minggu ke depan.Salah satu dampak berubahnya pandemi menjadi endemi adalah warga yang kena Covid-19 diwajibkan bayar sendiri jika masuk ruang perawatan. Pada saat masih menjadi pandemi, perawatan warga yang terkena Covid-19 semuanya ditanggung pemerintah alias gratis.
Menanggapi hal ini, Ahli Epidemiologi Griffith University Australia, dr. Dicky Budiman mengaku sependapat dengan pernyataan orang nomor satu di Indonesia itu.
Dicky menilai, endemi bukanlah tolak ukur bahwa kondisi dari suatu negara telah terbebas dari pandemi. Ia menyebut, meskipun nantinya sudah bertransisi ke endemi, bukan tidak mungkin, kematian akibat pandemi Covid-19 masih tetap ada.“Satu, endemi itu bukan satu kondisi yang baik ya. Dan apalagi menyenangkan ya. Betul kata pak Presiden,” ujar dr.Dicky, dalam keterangan resminya baru-baru ini.
Foto/dok sindonews
“Kita sebetulnya kalau bicara endemi kematian bisa tetap ada dan bisa juga relatif tinggi tapi stabil atau stabil tinggi, itu endemi. Stabil terus orang masuk rumah sakit itu endemi. Jadi kata kuncinya itu stabil dan bisa diprediksi,” terangnya lagi.
Dicky juga mengingatkan, meski saat ini kondisi beberapa negara sudah masuk dalam masa endemi, namun, hal tersebut jangan sampai membuat Pemerintah lengah dengan setiap kemungkinan terburuk yang ada. Mengingat, bukan tidak mungkin juga suatu saat bisa muncul kembali pandemi baru.
“Kedua, ketika ini beralih ke katakanlah kondisinya memang saat ini sudah lewat masa akut pandemi, dan masuk ke sebagian besar endemi, tapi Pemerintah setiap level, setiap negara, harus siap dengan skenario buruk atau terburuk,” tuturnya.
“Ketika misalnya lahir varian atau sub varian atau bahkan ada satu infeksi yang menyebabkan harus penguatan respon lagi, nah ini kan harus ada strategi itu,” imbuhnya.
Terlebih, kemungkinan tersebut makin besar jika masyarakat masih belum ‘aware’ dengan perilaku hidup bersih dan sehat. Ditambah lagi, dengan kualitas udara di beberapa negara yang semakin memburuk.
Bahkan, menurut Dicky pandemi baru bukan tidak mungkin akan terjadi lagi, mengingat masyarakat Indonesia saja masih banyak yang tidak mau divaksin atau booster saat pandemi Covid-19 melanda.“Dan ini cenderung bisa ada kalau dunia ini termasuk di Indonesia kita menanggalkan perilaku hidup bersih sehat,” katanya.
“Orang tidak mau divaksin lagi padahal dia perlu booster atau belum pernah divaksin, dan lain sebagainya, kualitas udara juga buruk dan inilah harus diketahui,” lanjutnya.
Butuh Kesiapan dan Strategi
Di sisi lain, Dicky menilai, keputusan negara dalam menjalankan rencana transisi dari pandemi ke endemi membutuhkan kesiapan dan strategi yang matang.Dalam hal ini, saat status kedaruratan telah dicabut, Pemerintah harus memikirkan segala konsekuensi yang bisa saja terjadi di kemudian hari.
Apalagi, masyarakat Indonesia khususnya yang tidak mampu, banyak yang mengandalkan BPJS untuk berobat. Menurutnya, perawatan Covid-19 juga harus mulai dipertimbangkan untuk bisa dicover oleh BPJS.
“Selain itu, kalau kita bicara masuk ke situasi dimana kedaruratan sudah dicabut, kita juga harus tau konsekuensinya adalah bagaimana nanti nasib para pasien yang katakanlah miskin, tidak mampu, ini apakah siap ditanggung BPJS?,” ungkapnya.
Pemerintah juga diharapkan mempertimbangkan kemungkinan buruk yang bisa terjadi di suatu daerah, yang tidak didukung dengan anggaran atau sarana medis yang memadai.
“Terus bagaimana kalau ada KLB, Covid, disatu daerah terus sudaah tidak ada dukungan. Padahal daerah itu tidak mampu secara APBD. Hal-hal seperti itu yang seharusnya dipikirkan,” ungkapnya.
“Jadi saya kira dalam konteks saat ini, mencabut status darurat dimungkinkan tapi tentu harus siap, opsi atau strategi, yang bakal dapat dilakukan untuk mengisi masa transisi terutama untuk kelompok daerah yang rentan, yang memiliki kemampuan yang terbatas,” tutupnya.*
(wyn)