Delegasi Indonesia Raih 11 Emas dan 9 Perak dalam Asia Arts Festival ke-10 2023 di Singapura
loading...
A
A
A
Gandrung Dance Studio dibawah asuhan Rosmala Dewi mengirimkan 28 penarinya untuk berlaga di beberapa kategori. Tim penari ini membawakan beberapa tarian tradisional Sunda, Bali, Jawa, Sumatra serta Sulawesi pada ketagori group dan solo.
Menariknya, diantara para penari terdapat satu orang penari termuda yang masih kelas satu SD, atau berusia enam tahun yang meraih medali perak pada kategori group.
Rosmala mengungkapkan rasa bangganya karena membawa nama Indonesia dan menarikan tarian tradisional Indonesia yang sangat beragam.
“Awalnya, melihat para penari kami yang masih muda tampil pada event kompetisi internasional saja sudah bangga, tapi begitu tahu kerja keras mereka dihargai dengan piala emas, kebahagiaan kami berlipat ganda,” jelas Rosmala yang rajin mengirim anak didiknya pada beragam kompetisi tari dunia.
Tim Rampoe UGM menampilkan tari Ratoeh Pukat yang mengkombinasikan tari Ratoeh Jaroe dan Tarek Pukat. Saat tampil di ajang tersebut, Rampoe UGM menampilkan tari Ratoeh Jaroe sebagai bagian pertama, kemudian Tarek Pukat sebagai bagian kedua. Ketika tari Tarek Pukat dimulai, penari menggunakan properti tali untuk membuat semacam jaring ikan sambil menari.
Fatimah Khilwana sebagai Ketua Tim UGM, mengungkapkan perasaan bangganya atas pencapaian yang diraih oleh timnya tersebut. Kemenangan di ajang itu lantas menjadi salah satu pengalaman luar biasa, karena ini pertama kalinya bagi mereka mengikuti festival di Singapura. Namun rupanya, di balik kemenangan tersebut ada cerita menarik yang ingin Fatimah bagikan.
“Dalam waktu tiga hari, kami harus mengubah gerakan dan juga formasi dikarenakan satu dan dua hal. Hal tersebut awalnya sempat membuat kami sangat takut. Bahkan di hari penampilan pun, kami merasa gelisah dan sering muncul pertanyaan ‘bisa kan yah kita?’” tutur Fatimah.
Selain tantangan tersebut, tim Rampoe UGM yang saat itu baru menyelesaikan sebuah festival di Turki sempat mengalami kelelahan akibat perjalanan panjang. Beruntung setelah merampungkan penampilan dengan apik, muncul euforia dan rasa haru yang tidak bisa dibendung setiap anggota. Semua tenaga dan waktu yang diinvestasikan untuk acara ini terbayar dengan penghargaan yang didapat.
“Dengan keikutsertaan dan hasil yang kami peroleh dalam festival ini, kami berharap hal ini dapat menjadi motivasi bagi orang lain dan juga generasi selanjutnya di sanggar kami untuk tetap semangat dalam memperkenalkan budaya Indonesia, baik di kancah nasional maupun internasional,” pungkas Fatimah dan Rosmala.
Menariknya, diantara para penari terdapat satu orang penari termuda yang masih kelas satu SD, atau berusia enam tahun yang meraih medali perak pada kategori group.
Rosmala mengungkapkan rasa bangganya karena membawa nama Indonesia dan menarikan tarian tradisional Indonesia yang sangat beragam.
“Awalnya, melihat para penari kami yang masih muda tampil pada event kompetisi internasional saja sudah bangga, tapi begitu tahu kerja keras mereka dihargai dengan piala emas, kebahagiaan kami berlipat ganda,” jelas Rosmala yang rajin mengirim anak didiknya pada beragam kompetisi tari dunia.
Tim Rampoe UGM menampilkan tari Ratoeh Pukat yang mengkombinasikan tari Ratoeh Jaroe dan Tarek Pukat. Saat tampil di ajang tersebut, Rampoe UGM menampilkan tari Ratoeh Jaroe sebagai bagian pertama, kemudian Tarek Pukat sebagai bagian kedua. Ketika tari Tarek Pukat dimulai, penari menggunakan properti tali untuk membuat semacam jaring ikan sambil menari.
Fatimah Khilwana sebagai Ketua Tim UGM, mengungkapkan perasaan bangganya atas pencapaian yang diraih oleh timnya tersebut. Kemenangan di ajang itu lantas menjadi salah satu pengalaman luar biasa, karena ini pertama kalinya bagi mereka mengikuti festival di Singapura. Namun rupanya, di balik kemenangan tersebut ada cerita menarik yang ingin Fatimah bagikan.
“Dalam waktu tiga hari, kami harus mengubah gerakan dan juga formasi dikarenakan satu dan dua hal. Hal tersebut awalnya sempat membuat kami sangat takut. Bahkan di hari penampilan pun, kami merasa gelisah dan sering muncul pertanyaan ‘bisa kan yah kita?’” tutur Fatimah.
Selain tantangan tersebut, tim Rampoe UGM yang saat itu baru menyelesaikan sebuah festival di Turki sempat mengalami kelelahan akibat perjalanan panjang. Beruntung setelah merampungkan penampilan dengan apik, muncul euforia dan rasa haru yang tidak bisa dibendung setiap anggota. Semua tenaga dan waktu yang diinvestasikan untuk acara ini terbayar dengan penghargaan yang didapat.
“Dengan keikutsertaan dan hasil yang kami peroleh dalam festival ini, kami berharap hal ini dapat menjadi motivasi bagi orang lain dan juga generasi selanjutnya di sanggar kami untuk tetap semangat dalam memperkenalkan budaya Indonesia, baik di kancah nasional maupun internasional,” pungkas Fatimah dan Rosmala.
(hri)