Mengenal Asal-usul Serabi Notosuman, Jajanan Khas Solo yang Ada Sejak 100 Tahun Lalu
loading...
A
A
A
Dari menjual apem, pasangan itu kemudian berjualan serabi tanpa disengaja. Hal itu berawal ada pelanggan yang minta dibuatkan apem berbentuk pipih, ternyata seiring berjalannya waktu jajanan tersebut digemari dan mereka berhasil menciptakan serabi hasil pengembangan dari kue apem.
Wahjudi Pantja Sunjata dkk dalam buku Kuliner Jawa dalam Serat Centhini menyebut kini serabi menjadi identitas kuliner Kota Surakarta. Bahkan beberapa tempat menjadi pusat jajanan serabi adalah di daerah Pasar Pon, pasar tradisional, serta Kampung Notokusuman, yang kini dikenal dengan Notosuman.
“Sampai sekarang nama Serabi Notokusuman masih menjadi oleh-oleh khas Surakarta. Dinamakan demikian karena pembuat serabi yang “enak” berada di Kampung Notokusuman. Namun di kota Surakarta sangat mudah untuk menemukan makanan tradisional serabi ini," tulis Wahjudi.
Kini serabi notosuman kemudian identik dengan jajanan pasar bikinan pasangan Hoo Gek Hok dan Tan Giok Lan. Salah satu ciri khasnya adalah mereka menumbuk sendiri beras yang menjadi bahan bakunya. Beras yang digunakan pun kualitas terbaik, yaitu beras cendani dari Cianjur. Kue ini juga sama sekali tidak mengandung bahan pengawet, sehingga hanya bisa bertahan selama satu hari.
Usaha keluarga itu pun diwariskan turun temurun dan kini diteruskan oleh kakak beradik Handayani dan Lidia yang sangat terkenal. Handayani menempati lokasi di outlet sejak era engkongnya di Jalan Mohammad Yamin, sementara Lidia membuka outlet lain sekira setarikan nafas dari lokasi outlet lama. Bahkan outlet mereka tak hanya ada di Solo, tapi beberapa kota di luar Jawa Tengah, seperti Bandung dan Jakarta.
Meski masih dalam satu garis keturunan, namun cara memasak kedua outlet ini berbeda. Outlet milik Handayani memakai tutup wajan dari tanah liat, sementara di outlet milik Lidia memilih memakai tutup dari aluminium. Tutup aluminium mempercepat proses pemanggangan, sementara tutup tanah liat lebih pada mempertahankan kesan tradisional.
Menariknya setiap outlet di kedua brand ini memiliki konsep open kitchen sehingga pembeli bisa menyaksikan langsung proses pembuatannya hingga disajikan. Untuk rasanya sendiri sebenarnya beragam, namun baik Handayani maupun Lidia konsisten hanya menjual dua rasa, yaitu polos dan cokelat.
Kemudian, yang membuat serabi notosuman Handayani dan Lidia ini khas adalah, dibungkus dengan daun pisang. Hal itu dimaksudkan untuk menjaga identitas dan karakter, serta agar lebih praktis.
Wahjudi Pantja Sunjata dkk dalam buku Kuliner Jawa dalam Serat Centhini menyebut kini serabi menjadi identitas kuliner Kota Surakarta. Bahkan beberapa tempat menjadi pusat jajanan serabi adalah di daerah Pasar Pon, pasar tradisional, serta Kampung Notokusuman, yang kini dikenal dengan Notosuman.
“Sampai sekarang nama Serabi Notokusuman masih menjadi oleh-oleh khas Surakarta. Dinamakan demikian karena pembuat serabi yang “enak” berada di Kampung Notokusuman. Namun di kota Surakarta sangat mudah untuk menemukan makanan tradisional serabi ini," tulis Wahjudi.
Kini serabi notosuman kemudian identik dengan jajanan pasar bikinan pasangan Hoo Gek Hok dan Tan Giok Lan. Salah satu ciri khasnya adalah mereka menumbuk sendiri beras yang menjadi bahan bakunya. Beras yang digunakan pun kualitas terbaik, yaitu beras cendani dari Cianjur. Kue ini juga sama sekali tidak mengandung bahan pengawet, sehingga hanya bisa bertahan selama satu hari.
Usaha keluarga itu pun diwariskan turun temurun dan kini diteruskan oleh kakak beradik Handayani dan Lidia yang sangat terkenal. Handayani menempati lokasi di outlet sejak era engkongnya di Jalan Mohammad Yamin, sementara Lidia membuka outlet lain sekira setarikan nafas dari lokasi outlet lama. Bahkan outlet mereka tak hanya ada di Solo, tapi beberapa kota di luar Jawa Tengah, seperti Bandung dan Jakarta.
Meski masih dalam satu garis keturunan, namun cara memasak kedua outlet ini berbeda. Outlet milik Handayani memakai tutup wajan dari tanah liat, sementara di outlet milik Lidia memilih memakai tutup dari aluminium. Tutup aluminium mempercepat proses pemanggangan, sementara tutup tanah liat lebih pada mempertahankan kesan tradisional.
Menariknya setiap outlet di kedua brand ini memiliki konsep open kitchen sehingga pembeli bisa menyaksikan langsung proses pembuatannya hingga disajikan. Untuk rasanya sendiri sebenarnya beragam, namun baik Handayani maupun Lidia konsisten hanya menjual dua rasa, yaitu polos dan cokelat.
Kemudian, yang membuat serabi notosuman Handayani dan Lidia ini khas adalah, dibungkus dengan daun pisang. Hal itu dimaksudkan untuk menjaga identitas dan karakter, serta agar lebih praktis.
(hri)