Hari Batik Nasional, Ini Makna Filosofisnya yang Nyaris Pudar
loading...
A
A
A
JAKARTA - Hari Batik Nasional jatuh pada 2 Oktober setiap tahun. Sejak dinobatkan sebagai warisan budaya tak benda oleh UNESCO pada 2009, batik menjadi salah satu item fashion favorit masyarakat Indonesia. Mereka dengan bangga mengenakan batik dalam kegiatan sehari-hari hingga acara spesial seperti pernikahan.
Pemerintah bahkan mengeluarkan aturan khusus mewajibkan para ASN memakai batik atau pakaian daerah pada hari Jumat. Tujuannya agar gaung batik menggema hingga wastra nusantara itu akan terus lestari.
Batik memang telah menjalani perjalanan panjang dari masa lalu sampai pada akhirnya melebur dengan modernitas. Namun sayangnya, hal ini tidak diimbangi dengan pemahaman kepada nilai-nilai filosofis yang terkandung di dalamnya.
Bahkan, menurut Pengamat dan Penggiat Batik Tulis Pewarna Alami, Agnes Dwina Herdiasti, batik kini hanya menjadi sebuah alat untuk sekadar menggerakkan roda ekonomi. Esensi dari batik itu sendiri seolah hilang, menguap, dan tersamarkan oleh materi.
Ini bisa dilihat dari masifnya produksi batik printing dibandingkan batik tulis yang notabennya sangat menjunjung tinggi pakem-pakem batik klasik dari warisan leluhur. Alhasil, lebih banyak masyarakat mengenakan batik printing karena dari segi harga cenderung terjangkau.
"Jujur, setiap Hari Batik Nasional itu saya tidak pernah merayakan. Karena esensi Hari Batik bukan sekadar kita pakai batik di hari itu saja, tetapi bagaimana kita bisa mengapresiasi secara utuh dan menyeluruh. Buat apa kita merayakan sesuatu yang kita tidak paham arti di baliknya?" kata Agnes saat dihubungi MNC Portal, Senin (2/1/2023).
Permasalahan ini, lanjut Agnes, tidak dapat dibebankan sepenuhnya kepada pemerintah. Sebagai regulator, pemerintah tentu mengedepankan aspek ekonomi demi kesejahteraan masyakat. Apalagi bila sudah berkaitan dengan budaya, persoalannya akan menjadi sangat dilematis.
Maka dari itu, peran serta kesadaran masyarakat dalam menemukan kembali makna-makna yang tersimpan pada motif batik sangat diperlukan. Apalagi, masih banyak sekali pesan-pesan dari leluhur yang dapat digali lebih dalam, seperti pesan tentang menjalani hidup harmoni antar sesama yang terdapat pada motif parang.
Belakangan motif parang kerap dikenakan sejumlah pejabat publik, tak terkecuali Bacapres Ganjar Pranowo. Secara rinci, motif parang menyimbolkan bahwa, setiap orang memiliki ketajaman rasa batin di atas rata-rata. Tutur katanya halus, memiliki kepekaan akan perasaan lawan bicaranya. Lebih banyak diam, tapi dalam diamnya orang merasakan getaran wibawanya.
Pengaruhnya besar, namun ia cenderung menyimpannya rapat-rapat, kecuali untuk kepentingan orang banyak. Kepentingan orang banyak di atas kepentingan pribadi, memilih bertindak untuk mengatasi masalah secara nyata dibanding sekadar melempar gagasan tanpa mau bertanggung jawab. Itulah garis besar makna filosofis di balik motif parang.
“Intinya, kita semua harus kembali curious. Mungkin dengan momen Hari Batik ini, kita bisa mengingatkan kembali bahwa banyak sekali makna motif-motif batik yang belum terpecahkan," jelas Agnes.
"Di mana seluruhnya, dapat mengajarkan kita tentang nilai-nilai intelektual hingga spiritual," tambahnya.
Hal senada juga disampaikan Co-Founder Batik Concept, Christian Saputra. Sebagai pengusaha batik tulis, Christian menilai bahwa saat ini budaya batik tengah berada dalam tahap kriris bahkan nyaris mati. Bila tidak dilestarikan, lambat laun budaya batik tulis akan tergerus oleh arus modernitas yang begitu deras.
"Kami memang lebih memilih untuk menjual batik tulis karena teknik membatik itulah yang kami mau lestarikan. Jangan sampai terus menjadi dying tradition. Di sisi lain, kami juga ingin mendukung para pengrajin batik rumahan (home industry) agar mereka bisa bertahan," ungkap Christian.
Christian menambahkan, edukasi dan promosi menjadi kunci penting dalam membangkitkan kembali gairah industri batik tulis di Indonesia. Terutama dalam memperluas segemen pasar hingga menyentuh generasi muda.
Melalui edukasi dan promosi, diharapkan dapat menumbuhkan kembali rasa cinta anak muda, dan pada akhirnya mereka akan memahami nilai-nilai atau value dari batik itu sendiri. Hal ini tentunya harus diimbangi dengan beberapa elemen penting seperti menguatkan unsur story telling agar generasi muda lebih tertarik dalam menangkap informasi.
"Kalau anak muda lebih sering ke ekspos ke dunia batik, makin lama bisa mengerti valuenya dan mengerti betapa rumitnya membatik. Itu semua akan bersinergi dalam creating a demand," ujar Christian.
"A demand for batik. Sehingga batik tulis akan kembali dilirik masyarakat luas, tidak hanya sebagai item fashion tetapi juga maha karya seni warisan budaya kita,” tandasnya.
Pemerintah bahkan mengeluarkan aturan khusus mewajibkan para ASN memakai batik atau pakaian daerah pada hari Jumat. Tujuannya agar gaung batik menggema hingga wastra nusantara itu akan terus lestari.
Batik memang telah menjalani perjalanan panjang dari masa lalu sampai pada akhirnya melebur dengan modernitas. Namun sayangnya, hal ini tidak diimbangi dengan pemahaman kepada nilai-nilai filosofis yang terkandung di dalamnya.
Bahkan, menurut Pengamat dan Penggiat Batik Tulis Pewarna Alami, Agnes Dwina Herdiasti, batik kini hanya menjadi sebuah alat untuk sekadar menggerakkan roda ekonomi. Esensi dari batik itu sendiri seolah hilang, menguap, dan tersamarkan oleh materi.
Ini bisa dilihat dari masifnya produksi batik printing dibandingkan batik tulis yang notabennya sangat menjunjung tinggi pakem-pakem batik klasik dari warisan leluhur. Alhasil, lebih banyak masyarakat mengenakan batik printing karena dari segi harga cenderung terjangkau.
"Jujur, setiap Hari Batik Nasional itu saya tidak pernah merayakan. Karena esensi Hari Batik bukan sekadar kita pakai batik di hari itu saja, tetapi bagaimana kita bisa mengapresiasi secara utuh dan menyeluruh. Buat apa kita merayakan sesuatu yang kita tidak paham arti di baliknya?" kata Agnes saat dihubungi MNC Portal, Senin (2/1/2023).
Permasalahan ini, lanjut Agnes, tidak dapat dibebankan sepenuhnya kepada pemerintah. Sebagai regulator, pemerintah tentu mengedepankan aspek ekonomi demi kesejahteraan masyakat. Apalagi bila sudah berkaitan dengan budaya, persoalannya akan menjadi sangat dilematis.
Maka dari itu, peran serta kesadaran masyarakat dalam menemukan kembali makna-makna yang tersimpan pada motif batik sangat diperlukan. Apalagi, masih banyak sekali pesan-pesan dari leluhur yang dapat digali lebih dalam, seperti pesan tentang menjalani hidup harmoni antar sesama yang terdapat pada motif parang.
Belakangan motif parang kerap dikenakan sejumlah pejabat publik, tak terkecuali Bacapres Ganjar Pranowo. Secara rinci, motif parang menyimbolkan bahwa, setiap orang memiliki ketajaman rasa batin di atas rata-rata. Tutur katanya halus, memiliki kepekaan akan perasaan lawan bicaranya. Lebih banyak diam, tapi dalam diamnya orang merasakan getaran wibawanya.
Pengaruhnya besar, namun ia cenderung menyimpannya rapat-rapat, kecuali untuk kepentingan orang banyak. Kepentingan orang banyak di atas kepentingan pribadi, memilih bertindak untuk mengatasi masalah secara nyata dibanding sekadar melempar gagasan tanpa mau bertanggung jawab. Itulah garis besar makna filosofis di balik motif parang.
“Intinya, kita semua harus kembali curious. Mungkin dengan momen Hari Batik ini, kita bisa mengingatkan kembali bahwa banyak sekali makna motif-motif batik yang belum terpecahkan," jelas Agnes.
"Di mana seluruhnya, dapat mengajarkan kita tentang nilai-nilai intelektual hingga spiritual," tambahnya.
Baca Juga
Hal senada juga disampaikan Co-Founder Batik Concept, Christian Saputra. Sebagai pengusaha batik tulis, Christian menilai bahwa saat ini budaya batik tengah berada dalam tahap kriris bahkan nyaris mati. Bila tidak dilestarikan, lambat laun budaya batik tulis akan tergerus oleh arus modernitas yang begitu deras.
"Kami memang lebih memilih untuk menjual batik tulis karena teknik membatik itulah yang kami mau lestarikan. Jangan sampai terus menjadi dying tradition. Di sisi lain, kami juga ingin mendukung para pengrajin batik rumahan (home industry) agar mereka bisa bertahan," ungkap Christian.
Christian menambahkan, edukasi dan promosi menjadi kunci penting dalam membangkitkan kembali gairah industri batik tulis di Indonesia. Terutama dalam memperluas segemen pasar hingga menyentuh generasi muda.
Melalui edukasi dan promosi, diharapkan dapat menumbuhkan kembali rasa cinta anak muda, dan pada akhirnya mereka akan memahami nilai-nilai atau value dari batik itu sendiri. Hal ini tentunya harus diimbangi dengan beberapa elemen penting seperti menguatkan unsur story telling agar generasi muda lebih tertarik dalam menangkap informasi.
"Kalau anak muda lebih sering ke ekspos ke dunia batik, makin lama bisa mengerti valuenya dan mengerti betapa rumitnya membatik. Itu semua akan bersinergi dalam creating a demand," ujar Christian.
"A demand for batik. Sehingga batik tulis akan kembali dilirik masyarakat luas, tidak hanya sebagai item fashion tetapi juga maha karya seni warisan budaya kita,” tandasnya.
(dra)