Metode Wolbachia Disebut Berisiko, Nyamuk Wolbachia Batal Dilepas

Jum'at, 17 November 2023 - 22:46 WIB
loading...
Metode Wolbachia Disebut...
Penggunaan nyamuk wolbachia untuk memberantas kasus DBD bukan hal baru. Namun, dikabarkan memiliki risiko. Foto/ the scientist.
A A A
JAKARTA - Tingginya kasus demam berdarah di Tanah Air membuat Pemerintah harus melakukan berbagai antisipasi. Salah satunya dengan penyebaran telur nyamuk Aedes Aegypti yang terpapar bakteri Wolbachia.

Penggunaan nyamuk wolbachia untuk memberantas kasus demam berdarah sendiri bukan sesuatu yang baru. Teknologi ini pertama kali dilakukan pada 2016 lalu dan di uji coba di Yogyakarta.

Dilansir dari data Pusat Kedokteran Tropis Universitas Gajah Mada (UGM), studi pertama Aplikasi Wolbachia untuk Eliminasi Dengue (AWED) itu dilakukan dengan desain Cluster Randomized Controlled Trial (CRCT), sebuah desain dengan standar tertinggi.

Hasil studi AWED tersebut menunjukkan bahwa nyamuk Aedes aegypti ber-Wolbachia mampu menurunkan kasus dengue sebesar 77.1% dan menurunkan rawat inap karena dengue sebesar 86%.



Dari hasil studi tersebut dan hasil di beberapa negara lain yang menerapkan teknologi WMP, teknologi Wolbachia untuk pengendalian Dengue telah direkomendasikan oleh WHO Vector Control Advisory Group.

Dengan rekomendasi WHO tersebut, maka pelepasan Wolbachia diperluas di semua area pembanding Kota Yogyakarta.

Monitoring bersama Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta menunjukkan pasca pelepasan, kasus DBD di Kota Yogyakarta mengalami penurunan sebesar 83% pada periode Wolbachia telah menetap dibandingkan dengan periode sebelum Wolbachia menetap.

Selain itu, paska pelepasan nyamuk Aedes aegypti ber-Wolbachia terdapat penurunan jumlah fogging sebesar 83% di area pelepasan.

Bahkan, per September 2023, insidensi DBD di Kota Yogyakarta stabil rendah pada periode pelepasan Wolbachia di seluruh Kota Yogyakarta dibandingkan dengan periode sebelum Wolbachia dilepaskan.

Berkaca dari keberhasilan tersebut, Pemerintah baru-baru ini lantas sempat berencana kembali melakukan pilot project penanggulangan kasus demam berdarah dengan metode wolbachia.

Pilot project tersebut sebelumnya direncanakan di kota-kota yang memiliki angka insiden atau kesakitan Dengue tinggi, seperti Bandung, Bali, Kota Administrasi Jakarta barat, Kota Bontang, Kota Kupang dan Kota Semarang.

Metode wolbachia disebut berisiko

Namun, rencana penyebaran jutaan telur nyamuk Aedes Aegypti yang terpapar bakteri wolbachia di Bali pada Senin (13/11/2023), justru dibatalkan Pemerintah. Pembatalan itu juga terjadi di sejumlah kota lainnya.

Pasalnya, metode wolbachia ini dinilai masih memiliki pro dan kontra. Hal ini lah yang membuat berbagai pihak akhirnya mengecam rencana Pemerintah yang akan melakukan penyebaran telur nyamuk Aedes Aegypti yang terpapar bakteri Wolbachia tersebut.

Salah satunya melalui Gerakan Sehat Untuk Rakyat Indonesia yang diinisiasi oleh SFS Foundation, ASPEK Indonesia, dan Gladiator Bangsa.

Saat itu, Pemerintah didesak untuk segera menghentikan rencana pelepasan 200 juta nyamuk Wolbachia yang akan berlansung di Pulau Bali dan juga di 5 kota lainnya yaitu di Jakarta Barat, Bandung, Semarang, Kupang dan Bontang.

“Gerakan Sehat Untuk Rakyat Indonesia mengingatkan Pemerintah untuk segera menghentikan rencana pelepasan 200 juta nyamuk Wolbachia di Pulau Bali pada 13 November 2023, dan juga di 5 kota lainnya yaitu di Jakarta Barat, Bandung, Semarang, Kupang dan Bontang,” tulis kecaman tersebut, dilansir dari rilis yang diterima MNC Portal, beberapa waktu lalu.



Program penyebaran nyamuk yang bekerja sama dengan World Mosquito Program (WMP) ini mengklaim akan menurunkan penyakit Demam Berdarah. Padahal, Pemerintah telah berhasil melakukan pengendalian Demam Berdarah dalam 10 tahun terakhir.

Bukan tanpa alasan, program pelepasan ratusan juta nyamuk Wolbachia di Indonesia ini dinilai membawa risiko parah. Salah satunya risiko terhadap kesehatan masyarakat dan lingkungan.

Pasalnya, sejauh ini belum ada studi menyeluruh di Bali, Jakarta Barat, Bandung, Semarang, Kupang dan Bontang secara jangka panjang terkait efektivitas program penyebaran nyamuk ini, sehingga berpotensi risiko terhadap kesehatan masyarakat dan lingkungan, termasuk Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3).

Risiko selanjutnya yakni berpotensi merusak industri pariwisata, serta ekonomi masyarakat setempat, dan tidak adanya pihak yang akan bertanggung jawab jika terjadi kesalahan dan dampak yang tak terhitung karena program ini.
(tdy)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1432 seconds (0.1#10.140)