Jaga Kualitas Udara, Warga Jakarta Diajak Setop Bakar Sampah Sembarangan
loading...
A
A
A
JAKARTA - Kualitas udara yang buruk tentu memberikan dampak yang buruk bagi kesehatan . Banyak hal yang menyebabkan kualitas udara menjadi buruk , salah satunya adalah pembakaran sampah domestik secara sembarangan.
(Baca juga: Ini Daftar Nominasi Dahsyatnya Awards 2020 dan Cara Voting )
Beranjak dari hal tersebut, seorang warga Jakarta , Novita Natalia Kusumawardani mengajak masyarakat DKI Jakarta untuk lebih peduli terhadap kualitas udara di Jakarta . Dia pun membuat sebuah petisi di laman change.org untuk mengajak warga ibukota menjaga kualitas udara tempat tinggalnya.
Novita, yang membuat petisi berjudul Kembalikan Langit Biru Jakarta, menyebutkan bahwa dalam kualitas udara yang buruk memengaruhi kesehatan pernapasan, terutama bagi kelompok-kelompok rentan seperti ibu hamil dan lansia. Hal itu dapat memperburuk keadaan dan berpotensi meningkatkan kasus Covid-19 di ibukota.
"Kalau ada satu hal yang kita dapat pelajari dari krisis Covid-19 ini adalah bahwa paru-paru kita penting. Orang-orang dengan paru-paru lemah, akan semakin rentan menjadi korban virus seperti ini," tulis Novita dalam petisi yang telah terkonfirmasi tersebut.
Atas dasar itu, Novita meminta Gubernur DKI, Anies Baswedan untuk lebih tegas lagi dalam mengatasi permasalahan udara di ibukota, terutama terkait pembakaran sampah domestik yang masih banyak ditemukan di Jakarta. "Meskipun Perda No 3 Tahun 2013 sudah mengatur larangan aktivitas pembakaran sampah, namun sayangnya hal tersebut hanya jadi sebatas aturan semata, tidak pernah ada penerapan di lapangan secara nyata," ujar Novita.
(Baca juga: New Normal, Penyandang Diabetes Membutuhkan Terapi Inovatif dan Individual )
Selain itu, lanjut Novita, aktivitas pembakaran sampah juga turut dilakukan oleh industri dan pada praktiknya, pengawasan dan penindakan terhadap aktivitas ini juga dilakukan secara tidak transparan oleh pemerintah DKI Jakarta. "Melalui petisi ini, saya meminta Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan mengambil langkah preventif dalam menanggulangi masalah polusi udara di Jakarta yang disebabkan oleh pembakaran sampah baik oleh masyarakat maupun industri," sebutnya.
Sebelumnya, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang bergerak di isu lingkungan, Greenpeace, mengeluarkan rilis terkait kualitas udara Jakarta di masa Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang masih dalam kategori tidak sehat.
"Selama penerapan PSBB, kualitas udara di Jakarta tidak mengalami perbaikan yang signifikan. Terhitung sejak 10 April-4 Juni 2020, tingkat konsentrasi PM 2.5 berada pada kategori Moderate dan Tidak Sehat untuk Kelompok Sensitif. Bahkan di Jakarta Selatan ada 24 hari tidak sehat," ujar Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia dalam rilis yang tertuang di laman greenpeace.org.
(Baca juga: Ini Waktu yang Tepat untuk Berolahraga )
Menurut Greenpeace, kualitas udara selama masa awal bekerja di rumah, masa PSBB diberlakukan dan Masa Transisi konsentrasi PM 2.5 di DKI Jakarta tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan. "Adaptasi kebiasaan baru atau kondisi new normal yang digaungkan pemerintah, hanya terletak pada protokol kesehatannya saja, tapi upaya perbaikan polusi udara dengan menekan dan mengontrol sumber pencemarnya tidak ada yang berubah," pungkasnya.
(Baca juga: Ini Daftar Nominasi Dahsyatnya Awards 2020 dan Cara Voting )
Beranjak dari hal tersebut, seorang warga Jakarta , Novita Natalia Kusumawardani mengajak masyarakat DKI Jakarta untuk lebih peduli terhadap kualitas udara di Jakarta . Dia pun membuat sebuah petisi di laman change.org untuk mengajak warga ibukota menjaga kualitas udara tempat tinggalnya.
Novita, yang membuat petisi berjudul Kembalikan Langit Biru Jakarta, menyebutkan bahwa dalam kualitas udara yang buruk memengaruhi kesehatan pernapasan, terutama bagi kelompok-kelompok rentan seperti ibu hamil dan lansia. Hal itu dapat memperburuk keadaan dan berpotensi meningkatkan kasus Covid-19 di ibukota.
"Kalau ada satu hal yang kita dapat pelajari dari krisis Covid-19 ini adalah bahwa paru-paru kita penting. Orang-orang dengan paru-paru lemah, akan semakin rentan menjadi korban virus seperti ini," tulis Novita dalam petisi yang telah terkonfirmasi tersebut.
Atas dasar itu, Novita meminta Gubernur DKI, Anies Baswedan untuk lebih tegas lagi dalam mengatasi permasalahan udara di ibukota, terutama terkait pembakaran sampah domestik yang masih banyak ditemukan di Jakarta. "Meskipun Perda No 3 Tahun 2013 sudah mengatur larangan aktivitas pembakaran sampah, namun sayangnya hal tersebut hanya jadi sebatas aturan semata, tidak pernah ada penerapan di lapangan secara nyata," ujar Novita.
(Baca juga: New Normal, Penyandang Diabetes Membutuhkan Terapi Inovatif dan Individual )
Selain itu, lanjut Novita, aktivitas pembakaran sampah juga turut dilakukan oleh industri dan pada praktiknya, pengawasan dan penindakan terhadap aktivitas ini juga dilakukan secara tidak transparan oleh pemerintah DKI Jakarta. "Melalui petisi ini, saya meminta Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan mengambil langkah preventif dalam menanggulangi masalah polusi udara di Jakarta yang disebabkan oleh pembakaran sampah baik oleh masyarakat maupun industri," sebutnya.
Sebelumnya, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang bergerak di isu lingkungan, Greenpeace, mengeluarkan rilis terkait kualitas udara Jakarta di masa Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang masih dalam kategori tidak sehat.
"Selama penerapan PSBB, kualitas udara di Jakarta tidak mengalami perbaikan yang signifikan. Terhitung sejak 10 April-4 Juni 2020, tingkat konsentrasi PM 2.5 berada pada kategori Moderate dan Tidak Sehat untuk Kelompok Sensitif. Bahkan di Jakarta Selatan ada 24 hari tidak sehat," ujar Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia dalam rilis yang tertuang di laman greenpeace.org.
(Baca juga: Ini Waktu yang Tepat untuk Berolahraga )
Menurut Greenpeace, kualitas udara selama masa awal bekerja di rumah, masa PSBB diberlakukan dan Masa Transisi konsentrasi PM 2.5 di DKI Jakarta tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan. "Adaptasi kebiasaan baru atau kondisi new normal yang digaungkan pemerintah, hanya terletak pada protokol kesehatannya saja, tapi upaya perbaikan polusi udara dengan menekan dan mengontrol sumber pencemarnya tidak ada yang berubah," pungkasnya.
(nug)