Mengenal Penyebab dan Penanganan yang Tepat terhadap Pasien Epilepsi
loading...
A
A
A
BALI - Purple Day atau Hari Epilepsi Internasional diperingati tiap tanggal 26 Maret. Peringatan ini menjadi momentum untuk membangun kesadaran masyarakat akan pentingnya mengetahui penanganan epilepsi dan tidak memberikan stigma buruk pada penderitanya.
Epilepsi merupakan keadaan di mana aktivitas sel saraf di otak terganggu, yang menyebabkan munculnya bangkitan kejang. Gangguan pada sel listrik di otak yang berlebihan ini dapat menimbulkan serangan berulang atau perubahan tingkah laku yang bersifat sementara.
Menurut Dokter Spesialis Saraf dari Siloam Hospitals Bali I Gusti Ayu Made Riantini, epilepsi dapat terjadi akibat kelainan genetik atau cedera otak yang dialami, seperti trauma dan stroke. Faktor risiko lainnya antara lain usia, genetik, cedera kepala, kejadian kejang demam, autoimun, dan tumor otak. Namun demikian, 50 persen penyebab epilepsi ternyata tidak diketahui.
"Penderita epilepsi terdata sebanyak 65 juta penduduk di dunia. 1 dari 100 orang, dan di Indonesia terdapat 150 ribu kasus per tahun," ungkap dr. Riantini dalam media gathering di Bali, belum lama ini.
Di Siloam Hospital Bali sendiri, dalam periode 2018 hingga 2023, jumlah pasien epilepsi terus meningkat. Dari 442 pasien pada 2018 meningkat terus tiap tahun hingga data terakhir pada 2023 mencatat jumlah penanganan dan kunjungan pasien epilepsi adalah sebesar 3.510.
Pada kesempatan yang sama, Dokter Spesialis Bedah Saraf dr. Dewa Putu Wisnu Wardhana, MD, PHd, FICS, FINSS menjelaskan beberapa modalitas yang dapat digunakan dalam deteksi epilepsi dan penyebabnya. Pertama melalui pemeriksaan EEG (Elektroensefalografi). Pemeriksaan ini bertujuan untuk merekam aktivitas elektrik sportan dari otak selama periode tertentu (30 menit), dari elektrode yang dipasang di kulit kepala.
Cara deteksi epilepsi yang kedua yakni dengan pemeriksaan MRI di kepala.
"Hal ini untuk menilai anatomi otak dan menyingkirkan kelainan otak lain sebagai penyebab epilepsi," terang dr. Dewa Putu Wisnu.
Penyembuhan umum dilakukan melalui pemberian obat antikejang yang diminum sesuai jenis kejangnya, usia, jenis kelamin, dan kondisi metabolik pasien.
"Dimulai dengan satu macam obat dosis terendah dan diminum secara teratur," terang dr. Dewa.
Adapun metode penanganan yang lebih advance untuk mengatasi epilepsi adalah melalui terapi VNS dan DBS.
Dokter Bedah Saraf Siloam Group Dr. dr. Made Agus Mahendra Inggas, SpBS menjelaskan, terapi VNS atau disebut juga stimulasi saraf vagus, telah disetujui oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan AS (FDA) sebagai terapi tambahan untuk orang dewasa dan anak-anak berusia 4 tahun ke atas.
Cara tersebut disetujui untuk mengobati kejang fokal atau parsial yang tidak merespons obat kejang.
"Ini disebut epilepsi yang resistan terhadap obat atau epilepsi refrakter," kata dr. Made Agus Mahendra Inggas.
Dijelaskannya, stimulasi saraf vagus (VNS) dapat mencegah atau mengurangi kejang dengan mengirimkan energi listrik ringan dan teratur ke otak melalui saraf vagus. Sementara itu terapi stimulasi otak dalam (deep brain stimulation/DBS) merupakan penggunaan alat untuk membantu mengendalikan kejang.
"Dilakukan pembedahan untuk memasang alat tersebut, kemudian diprogram di klinik rawat jalan oleh dokter spesialis epilepsi," beber dr. Made Agus Mahendra Inggas.
Lalu bisa juga dengan dilakukan pembedahan. Pembedahan dilakukan dengan melihat gangguan pusat titik lokasi kelistrikan di otak pasien. Metode ini dipilih berdasarkan indikasi yang sangat kuat dengan mempertimbangkan risiko dan benefit yang bisa dialami oleh pasien.
Dokter I Gusti Ayu Made Riantarini menuturkan, penanganan epilepsi perlu diketahui secara luas.
"Karena dengan lebih mengenal epilepsi, tentu akan mendorong keluarga penderita terbuka terhadap penanganan yang tepat," tutur dokter yang saat ini aktif menangani pasien epilepsi di RS Siloam Bali itu.
Untuk diketahui, Siloam Hospitals Bali saat ini merupakan salah satu rumah sakit unggulan untuk penanganan saraf dan bedah saraf di bidang epilepsi.
Epilepsi merupakan keadaan di mana aktivitas sel saraf di otak terganggu, yang menyebabkan munculnya bangkitan kejang. Gangguan pada sel listrik di otak yang berlebihan ini dapat menimbulkan serangan berulang atau perubahan tingkah laku yang bersifat sementara.
Menurut Dokter Spesialis Saraf dari Siloam Hospitals Bali I Gusti Ayu Made Riantini, epilepsi dapat terjadi akibat kelainan genetik atau cedera otak yang dialami, seperti trauma dan stroke. Faktor risiko lainnya antara lain usia, genetik, cedera kepala, kejadian kejang demam, autoimun, dan tumor otak. Namun demikian, 50 persen penyebab epilepsi ternyata tidak diketahui.
"Penderita epilepsi terdata sebanyak 65 juta penduduk di dunia. 1 dari 100 orang, dan di Indonesia terdapat 150 ribu kasus per tahun," ungkap dr. Riantini dalam media gathering di Bali, belum lama ini.
Di Siloam Hospital Bali sendiri, dalam periode 2018 hingga 2023, jumlah pasien epilepsi terus meningkat. Dari 442 pasien pada 2018 meningkat terus tiap tahun hingga data terakhir pada 2023 mencatat jumlah penanganan dan kunjungan pasien epilepsi adalah sebesar 3.510.
Pada kesempatan yang sama, Dokter Spesialis Bedah Saraf dr. Dewa Putu Wisnu Wardhana, MD, PHd, FICS, FINSS menjelaskan beberapa modalitas yang dapat digunakan dalam deteksi epilepsi dan penyebabnya. Pertama melalui pemeriksaan EEG (Elektroensefalografi). Pemeriksaan ini bertujuan untuk merekam aktivitas elektrik sportan dari otak selama periode tertentu (30 menit), dari elektrode yang dipasang di kulit kepala.
Cara deteksi epilepsi yang kedua yakni dengan pemeriksaan MRI di kepala.
"Hal ini untuk menilai anatomi otak dan menyingkirkan kelainan otak lain sebagai penyebab epilepsi," terang dr. Dewa Putu Wisnu.
Penyembuhan umum dilakukan melalui pemberian obat antikejang yang diminum sesuai jenis kejangnya, usia, jenis kelamin, dan kondisi metabolik pasien.
"Dimulai dengan satu macam obat dosis terendah dan diminum secara teratur," terang dr. Dewa.
Adapun metode penanganan yang lebih advance untuk mengatasi epilepsi adalah melalui terapi VNS dan DBS.
Dokter Bedah Saraf Siloam Group Dr. dr. Made Agus Mahendra Inggas, SpBS menjelaskan, terapi VNS atau disebut juga stimulasi saraf vagus, telah disetujui oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan AS (FDA) sebagai terapi tambahan untuk orang dewasa dan anak-anak berusia 4 tahun ke atas.
Cara tersebut disetujui untuk mengobati kejang fokal atau parsial yang tidak merespons obat kejang.
"Ini disebut epilepsi yang resistan terhadap obat atau epilepsi refrakter," kata dr. Made Agus Mahendra Inggas.
Dijelaskannya, stimulasi saraf vagus (VNS) dapat mencegah atau mengurangi kejang dengan mengirimkan energi listrik ringan dan teratur ke otak melalui saraf vagus. Sementara itu terapi stimulasi otak dalam (deep brain stimulation/DBS) merupakan penggunaan alat untuk membantu mengendalikan kejang.
"Dilakukan pembedahan untuk memasang alat tersebut, kemudian diprogram di klinik rawat jalan oleh dokter spesialis epilepsi," beber dr. Made Agus Mahendra Inggas.
Lalu bisa juga dengan dilakukan pembedahan. Pembedahan dilakukan dengan melihat gangguan pusat titik lokasi kelistrikan di otak pasien. Metode ini dipilih berdasarkan indikasi yang sangat kuat dengan mempertimbangkan risiko dan benefit yang bisa dialami oleh pasien.
Dokter I Gusti Ayu Made Riantarini menuturkan, penanganan epilepsi perlu diketahui secara luas.
"Karena dengan lebih mengenal epilepsi, tentu akan mendorong keluarga penderita terbuka terhadap penanganan yang tepat," tutur dokter yang saat ini aktif menangani pasien epilepsi di RS Siloam Bali itu.
Untuk diketahui, Siloam Hospitals Bali saat ini merupakan salah satu rumah sakit unggulan untuk penanganan saraf dan bedah saraf di bidang epilepsi.
(tsa)