3 Hal yang Bikin 22,4% Mahasiswa PPDS Alami Depresi, Salah Satunya Tak Digaji

Sabtu, 20 April 2024 - 03:30 WIB
loading...
3 Hal yang Bikin 22,4% Mahasiswa PPDS Alami Depresi, Salah Satunya Tak Digaji
Kemenkes RI membagikan hasil skrinning terkait penyebab depresi yang dialami oleh 2.716 mahasiswa Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS). Foto Ilustrasi/iStock
A A A
JAKARTA - Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI membagikan hasil skrinning terkait penyebab depresi yang dialami oleh 2.716 mahasiswa Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS).

Menurut data tersebut, dari 12.121 mahasiswa PPDS yang bertugas di 28 Rumah Sakit Vertikal, sebanyak 22,4 persen mengalami gejala depresi.

Lantas, apa penyebab para mahasiswa PPDS itu mengalami depresi? Berikut ulasannya.


1. Tidak Digaji

Ketua JDN (Junior Doctors Network) Indonesia Dr Tommy Dharmawan, SpBTKV menyebut, salah satu faktor depresi mahasiswa PPDS karena tidak digaji. Mereka bertugas tapi tidak mendapatkan penghasilan sehingga tak memiliki pemasukan uang dan stres.

“Kenapa gaji ini sangat penting? Karena para PPDS ini ada di rentang usia dewasa, di mana mereka rata-rata sudah umur 30, sudah berkeluarga, sehingga ya memang mereka membutuhkan biaya untuk kehidupan sehari-hari,” kata Tommy dalam temu media secara daring bersama Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Jumat (19/4/2024).

Tommy menjabarkan, kebanyakan mahasiswwa PPDS di seluruh dunia mendapatkan gaji dari rumah sakit tempat mereka bekerja. Misalnya di Malaysia, calon dokter spesialis digaji dengan nominal sekitar Rp15 juta. Sementara itu, di Singapura peserta PPDS digaji 2.650 dolar Singapura.

Namun, di Indonesia mahasiswa PPDS tidak mendapatkan gaji sama sekali dari rumah sakit tempat mereka bertugas.

“Indonesia ini adalah satu-satunya negara di dunia yang tidak memberikan gaji untuk para PPDS. Jadi, isu ini harus ada solusinya, jangan hanya isu saja,” papar Tommy.


2. Beban Kerja yang Berat

Masalah kedua yang bikin mahasiswa PPDS stres adalah beban kerja yang berat. Menurut Tommy, sebaiknya beban kerja mereka dikurangi.

“Kenapa? Karena di dunia saja sudah ada working hour regulation untuk para dokter. Terutama untuk para PPDS, jam kerjanya harus dibatasi kurang dari sama dengan 80 jam per minggu,” jelasnya.

Tommy mengatakan, mahasiswa PPDS ini membutuhkan waktu istirahat yang manusiawi. Tapi di sisi lain, mereka juga butuh waktu belajar.

“PPDS ini pelatihannya bersifat magang sehingga jam terbang yang banyak tentu akan membuat PPDS lebih terlatih dan kualitas pelayanan pada pasien juga baik,” katanya.

“Saya kira-kira 8 tahun yang lalu sudah menjadi PPDS. Jadi saya ngerti bahwa working hours ini memang manusiawi. Bisa dibayangkan kalau lebih dari 80 jam per minggu PPDS ini bekerja, ya tentu saja ngantuk, tentu ada human error,” kata Tommy.

3. Beban Administrasi yang Sulit

Di beberapa rumah sakit, mahasiswa PPDS mengalami kesulitan mengenai administrasi. Mereka harus mencatat jumlah operasi atau mencatat database, juga mencatat pelayanan yang di-coding-kan untuk BPJS. Padahal itu bukan tugas PPDS.

“Jadi, saran kami ada tiga mengenai masalah depresi ini. Setelah kami melakukan wawancara dan kami alami sendiri selama 6 tahun jadi PPDS di rumah sakit pendidikan, saran pertama adalah berikan gaji kepada PPDS, kedua working hours yang manusiawi, ketiga kurangi atau tiadakan beban administrasi yang mencekik PPDS,” beber Tommy.
(tsa)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1885 seconds (0.1#10.140)