Cacar Api, Ancaman Serius yang Tak Boleh Disepelekan
loading...
A
A
A
Sukamto juga mengemukakan satgas imunisasi dewasa telah memberikan informasi dan kolaborasi dengan para dokter spesialis lain, utamanya yang berhubungan dengan vaksin multidisiplin terkait vaksin cacar api tersebut.
“Ini dilakukan untuk mencegah penyakit atau infeksi dengan pemberian vaksin. Selain itu, juga dilakukan telaah vaksin apakah cocok atau tidak dari para ahli dan mengacu pada tolak ukur atau benchmark dari seluruh dunia,” ujar dia.
Sementara itu, Ketua Umum Pengurus Besar (PB) PAPDISally Aman Nasution menyampaikan pentingnya vaksin cacar api karena bakteri tersebut memiliki keistimewaan, yakni bisa aktif kapanpun imun tubuh seseorang sedang lemah, dan dapat dipicu oleh beberapa penyakit bawaan atau komorbid.
“Paradigma berpikir kita perlu diubah dari kuratif menjadi preventif. Kalau ada yang bisa dicegah ya kita cegah, atau minimal seperti secondary prevention, jangan sampai terkena lagi. Cacar api ini ada keistimewaan karena mekanismenya reaktivasi, sehingga vaksin ini memungkinkan kita bisa intervensi, jangan sampai masyarakat terkena herpes zoster,” paparnya.
Dia juga mengemukakan, lebih dari 90 persen masyarakat usia dewasa memiliki virus varisela zoster yang dorman atau tidur pada tubuh mereka, di mana faktor risiko tertinggi kasus cacar api terjadi pada lanjut usia (lansia) berusia 50 tahun ke atas.
Berdasarkan data, perempuan memiliki 19 persen peningkatan risiko terkena cacar api, tetapi penelitian lebih lanjut masih perlu dilakukan untuk menemukan penyebab dari meningkatnya risiko cacar api dari jenis kelamin tersebut.
“Cacar api ini dapat mengganggu kualitas hidup apabila tidak dicegah, sehingga paradigma para pemangku kepentingan juga perlu diubah, tidak hanya fokus pada kuratif tetapi juga preventif. Ada satgas imunisasi karena ternyata banyak sekali penyakit-penyakit yang bisa dicegah dengan imunisasi pada populasi dewasa. Ini yang belum banyak masyarakat paham,” ucapnya.
Menurutnya, baik PAPDI, Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin Indonesia (Perdoski), Perhimpunan Dokter Neurologi Seluruh Indonesia (Perdosni), maupun seluruh akademisi dan pemangku kepentingan perlu mengubah paradigma tentang imunisasi.
“Paradigma ini tidak hanya perlu di masyarakat yang paham, tetapi juga akademisi dan pemangku kepentingan yang ingin ada outcome (hasil) di masyarakat tentang kesehatan agar selalu diperbarui. Jadi tidak hanya mengobati, tetapi juga mencegah, dan advokasi ke regulator, yang diakomodasi jangan pengobatan saja, tetapi kalau bisa pencegahan, termasuk imunisasi,” tuturnya.
Ke depan, Sally berharap vaksin herpes zoster bisa mendapat perhatian dari regulator dan menjadi bagian dalam program pemerintah agar masyarakat Indonesia yang berisiko dapat memupunya akses ke vaksin ini. “Saya dan rekan sejawat juga akan divaksin herpes zoster dan menghimbau agar rekan sejawat divaksin di rumah sakit yang sudah tersedia,” tandas dr Sally.
“Ini dilakukan untuk mencegah penyakit atau infeksi dengan pemberian vaksin. Selain itu, juga dilakukan telaah vaksin apakah cocok atau tidak dari para ahli dan mengacu pada tolak ukur atau benchmark dari seluruh dunia,” ujar dia.
Sementara itu, Ketua Umum Pengurus Besar (PB) PAPDISally Aman Nasution menyampaikan pentingnya vaksin cacar api karena bakteri tersebut memiliki keistimewaan, yakni bisa aktif kapanpun imun tubuh seseorang sedang lemah, dan dapat dipicu oleh beberapa penyakit bawaan atau komorbid.
“Paradigma berpikir kita perlu diubah dari kuratif menjadi preventif. Kalau ada yang bisa dicegah ya kita cegah, atau minimal seperti secondary prevention, jangan sampai terkena lagi. Cacar api ini ada keistimewaan karena mekanismenya reaktivasi, sehingga vaksin ini memungkinkan kita bisa intervensi, jangan sampai masyarakat terkena herpes zoster,” paparnya.
Dia juga mengemukakan, lebih dari 90 persen masyarakat usia dewasa memiliki virus varisela zoster yang dorman atau tidur pada tubuh mereka, di mana faktor risiko tertinggi kasus cacar api terjadi pada lanjut usia (lansia) berusia 50 tahun ke atas.
Berdasarkan data, perempuan memiliki 19 persen peningkatan risiko terkena cacar api, tetapi penelitian lebih lanjut masih perlu dilakukan untuk menemukan penyebab dari meningkatnya risiko cacar api dari jenis kelamin tersebut.
“Cacar api ini dapat mengganggu kualitas hidup apabila tidak dicegah, sehingga paradigma para pemangku kepentingan juga perlu diubah, tidak hanya fokus pada kuratif tetapi juga preventif. Ada satgas imunisasi karena ternyata banyak sekali penyakit-penyakit yang bisa dicegah dengan imunisasi pada populasi dewasa. Ini yang belum banyak masyarakat paham,” ucapnya.
Menurutnya, baik PAPDI, Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin Indonesia (Perdoski), Perhimpunan Dokter Neurologi Seluruh Indonesia (Perdosni), maupun seluruh akademisi dan pemangku kepentingan perlu mengubah paradigma tentang imunisasi.
“Paradigma ini tidak hanya perlu di masyarakat yang paham, tetapi juga akademisi dan pemangku kepentingan yang ingin ada outcome (hasil) di masyarakat tentang kesehatan agar selalu diperbarui. Jadi tidak hanya mengobati, tetapi juga mencegah, dan advokasi ke regulator, yang diakomodasi jangan pengobatan saja, tetapi kalau bisa pencegahan, termasuk imunisasi,” tuturnya.
Ke depan, Sally berharap vaksin herpes zoster bisa mendapat perhatian dari regulator dan menjadi bagian dalam program pemerintah agar masyarakat Indonesia yang berisiko dapat memupunya akses ke vaksin ini. “Saya dan rekan sejawat juga akan divaksin herpes zoster dan menghimbau agar rekan sejawat divaksin di rumah sakit yang sudah tersedia,” tandas dr Sally.