Instrumenta #2 Hadirkan Irisan Praktik Seni Media dan Fiksi Ilmiah

Sabtu, 26 Oktober 2019 - 10:47 WIB
Instrumenta #2 Hadirkan Irisan Praktik Seni Media dan Fiksi Ilmiah
Instrumenta #2 Hadirkan Irisan Praktik Seni Media dan Fiksi Ilmiah
A A A
Ingin melihat irisan-irisan yang inheren dan niscaya antara seni media dengan fiksi ilmiah sebagai konsep maupun praktik, datang saja ke festival seni media yang berlangsung di Galeri Nasional Indonesia, Jakarta. Gelaran bertajuk Instrumenta #2: Manchine/Magic ini, bisa dikunjungi pada 23 Oktober hingga 19 November.

Festival instrumenta pertama kali diselenggarakan pada 2018, juga di Galeri Nasional Indonesia. Pada gelaran tahun ini, festival yang diselenggarakan oleh Direktorat Kesenian, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, ini menampilkan karya 28 seniman, 7 di antaranya berasal dari luar negeri, 21 lainnya dari Indonesia. Performa dari KULTse dan Monica Hapsari memeriahkan pembukaan festival, pada Rabu (23/10) malam.

Direktur Artistik Instrumenta Agung Hujatnikajennong mengungkapkan, festival ini berusaha memberi penekanan pada upaya untuk melihat hubungan antara kecenderungan seni media dan fenomena artistik yang lebih luas, yang sering disebut sebagai “fiksi ilmiah” (FI).

Selama ini, FI sering dianggap sebagai bagian dari budaya populer global (melalui komik, animasi, film, novel, game digital, dll) yang mencerminkan cita rasa orang kebanyakan dan oleh karena itu dianggap menempati posisi inferior. Dicirikan oleh narasi yang mencampurkan visi profetik dan artistik di satu pihak dengan teori, hipotesis, dan fakta ilmiah di pihak lain, FI pernah dipandang sebagai “makhluk hibrida” yang serba ambigu—suatu contradictio in terminis.

Dari perspektif “seni tinggi” atau high-art, FI adalah kitsch (seni rendah), sekaligus perwujudan dari ketergantungan berlebihan pada paradigma non-artistik (sains). Sementara di mata para ilmuwan, karya-karya FI tak lain hanyalah imajinasi liar yang tak punya relevansi praktis dan kontribusi langsung pada inovasi sains dan teknologi.

"Karya-karya FI baru mendapat tempat yang lebih layak sebagai objek kajian budaya menyusul gelombang pascamodern dan pemikiran-pemikiran Kiri Baru (New Left) pada 60-an, tapi berkembang sejak Kajian Budaya (cultural studies) mulai mendunia pada 1980-an,” papar Agung.

Festival Instrumenta #2: Machine/Magic masih menganggap FI sebagai suatu ekspresi artistik unik yang pernah ada dalam sejarah peradaban manusia. FI adalah imajinasi manusia tentang sains dan teknologi yang justru memberikan jalan masuk alternatif untuk membicarakan praksis sains dan teknologi dalam kehidupan masyarakat pada masa-masa yang berbeda. Karya-karya FI menggambarkan hubungan-hubungan yang “mungkin” dan “tak mungkin” terjadi antara manusia dan kemajuan teknologi yang dihasilkannya.

“Dalam karya-karya FI populer, tidak semua fakta, hipotesis, ataupun teori ilmiah menjadi acuan dalam narasi. Tidak sedikit karya-karya FI yang mencampurkan sains dengan spiritualitas, magi, dan fantasi. Dalam sejumlah cerita FI, kecanggihan sains dan teknologi ternyata malah tidak mampu mengatasi kekuatan supranatural yang tidak terjelaskan secara nalar,” tukas Agung.

Dalam setiap penyelenggaraannya, festival seni media internasional Instrumenta berupaya memetakan hubungan-hubungan maupun irisan antara praktik seni media—secara sederhana, sebagai seni yang menggunakan “teknologi media” dalam proses penciptaan dan mediasinya—dengan dinamika kebudayaan kontemporer. Dalam menanggapi berbagai fenomena perubahan di masyarakat, praktik seni media senantiasa berdiri di dua sisi.

Di satu sisi, seniman media bersikap afirmatif terhadap pencanggihan sains dan teknologi. Mereka memanfaatkan, bahkan merayakannya sebagai revolusi dalam praktik seni. Teknologi media (fotografi, film, video, komputer, internet, dll) telah dimanfaatkan oleh seniman untuk menciptakan idiom, gaya, ataupun medium artistik baru yang mustahil dicapai oleh medium seni konvensional.

Proyek-proyek kolaborasi interdisiplin antara seniman dan ilmuwan adalah perwujudan lain dari semangat ini. Di sisi lainnya, seni media adalah praktik yang juga bersikap kritis pada optimisme berlebihan terhadap kemajuan sains dan teknologi. Direktur Kesenian Restu Gunawan mengatakan, festival seni media mendorong perkembangan seni kontemporer sekaligus melindungi seni tradisi.

Festival berskala internasional ini merupakan salah satu wujud kehadiran negara untuk mendukung dan memfasilitasi para seniman media agar dapat memamerkan karyanya, bertemu, saling bertukar informasi dan berinteraksi satu sama lain. Tujuannya untuk mengembangkan dan memajukan seni media sehingga masyarakat luas dapat mengapresiasi perkembangan mutakhir seni media dalam konteks lokal ataupun internasional.

“Festival Instrumenta memberikan wadah bagi berkembangnya ekosistem seni kontemporer Indonesia. Kegiatan ini juga menjadi ruang ekspresi dan presentasi karya bagi praktisi seni media sekaligus sebagai ruang interaksi dan apresiasi seni bagi masyarakat dalam upaya mengembangkan seni sebagai objek pemajuan kebudayaan yang telah diamanatkan dalam Undang-Undang No 5/2017 tentang Pemajuan Kebudayaan,” kata Restu.

Seniman lokal yang meramaikan festival kali ini, di antaranya Abshar Platisza (Bandung), Benny Wicaksono (Surabaya), Cut and Rescue (Depok), Dwiky KA (Surabaya), Duto Hardono/TROMARAMA (Bandung) Etza Meisyara (Bandung), Maulana Ahmad (Bandung), Farhanaz Rupaidha (Cikarang), Irene Agrivina (Yogyakarta), KULTse (Bandung), Nurrachmat Widyasena (Bandung), ORCYWORLD a.k.a Gilang Anom Manapu Manik (Bandung), Rega Rahman, dan Bandu Darmawan (Bandung).

Selanjutnya, Rianti Gautama (Jakarta), Monica Hapsari (Jakarta), Nindya Nareswari (Bandung/Berlin, Jerman), Hayashi Chiho (Tokyo, Jepang), Marjan Verstappen (Christchurch, Selandia Baru), Mei Homma (Tokyo), Nur Amira Hanafi (Perak, Malaysia), Riar Rizaldi (Jakarta/Hong Kong), Rudi Hendriatno (Yogyakarta), Skawennati (Toronto, Kanada), Stelarc (Melbourne, Australia), Tontey and the Krazy Kosmic Konspiracy (Yogyakarta), serta Vvzela Kook (Hong Kong).

Dalam pameran, pengunjung akan disambut robot karya Dwiky KA yang dikendalikan oleh balita jenius yang terinspirasi oleh karakter dari novel Getaran, karya pelopor fiksi ilmiah Indonesia Djoko Lelono. Tak hanya itu, dihadirkan pula video performance seniman Australia, Stelarc, yang dikenal melalui eksperimen-eksperimennya dengan tubuh.

Pada 2006 misalnya, Stelarc mencangkok sel daun telinga manusia yang ditumbuhkan pada lengannya. Sementara salah satu karya dari Indonesia adalah instalasi kolaborasi Rega Rahman dan Bandu Darmawan yang berangkat dari riset mereka tentang Sudjana Kerton, pelukis yang secara terbuka mengaku pernah diculik alien.

Instrumenta #2 yang didukung Galeri Nasional Indonesia, Goethe-Institut Indonesien, dan Bentara Budaya Jakarta, juga menghadirkan ceramah, performance, diskusi, lokakarya, wicara seniman, dan tur kuratorial. Ada pula lokakarya pada 12-19 November, serta tur kuratorial pada 27 Oktober, 3 November, dan 10 November.
(don)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.9195 seconds (0.1#10.140)