Jaga Ketahanan Keluarga dengan Kelola Emosi
loading...
A
A
A
JAKARTA - Di masa pandemi corona (Covid-19) , ketahanan keluarga banyak mengalami tantangan dan bahkan menghadapi ujian berat. Komunikasi dan manajemen stres yang baik menjadi kunci dalam memecahkan berbagai masalah seperti mengurus anak 24 jam nonstop.
Psikolog Arijani Lasmawati menerangkan Covid-19 yang sudah berlangsung lebih dari satu semester ini diakui telah membuat lelah secara fisik dan mental seluruh masyarakat. Pikiran masyarakat terbagi antara bertahan hidup dengan melakukan berbagai aktivitas dan ancaman terpapar virus. Kekhawatiran itu beralasan, sebab Covid-19 diakui bisa mengakibatkan dampak buruk, termasuk kematian. (Baca: Inilah Dosa yang Lebih Besar daripada Zina)
Tak ayal, Covid-19 telah memaksa banyak orang untuk beraktivitas di dalam rumah. Ini yang membuat sebagian masyarakat mengalami tekanan psikis mudah terguncang emosinya. Para orang tua yang biasa bekerja dan tidak mengurus anak selama 24 jam kini harus berinteraksi secara intensif sepanjang hari, bahkan berbulan-bulan. Peran mereka pun bertambah, yakni menjadi guru, karena anak-anak belajar dari rumah.
Imbasnya fenomena orang tua marah kepada anak-anak karena perubahan pembelajaran menjadi school from home (SFH) hingga konflik suami-istri karena tekanan ekonomi dan masalah kelesuan usaha menjadi hal yang lumrah muncul.
Banyaknya kegiatan yang dibatasi dan rontoknya perekonomian cukup menekan masyarakat. “Maka masyarakat membutuhkan proses adaptasi untuk menyesuaikan diri dengan situasi terbaru,” ujar Arijani dalam diskusi online dengan tema “Ketahanan Keluarga di Masa Pandemi” kemarin.
Namun, menurut Arijani, adaptasi yang dipaksakan dan dalam waktu cepat ini tidaklah mudah. Masalah psikis dan ekonomi inilah yang diduga menyebabkan meningkatnya kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).
Dari data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, grafik KDRT mengalami penurunan hingga Juni 2020. Bahkan kasusnya tinggi pada Desember 2019 atau sebelum pandemi korona terjadi. “Ini tidak bisa dipersepsikan pandemi menurunkan KDRT. Disinyalir cukup banyak (KDRT), tetapi ada keterbatasan layanan seperti konseling sehingga datanya tidak terdeteksi,” tuturnya. (Baca juga: Daftar Aplikasi dan Situs untuk Bantuan Kuota Data Ditambah)
Banyak kasus kekerasan dalam rumah tangga dan seksual juga dilatarbelakangi pandemi. Maka dalam situasi Covid-19 diperlukan ketahanan keluarga yang kuat untuk mengarungi badai yang belum diketahui kapan berakhirnya ini.
Menurut Undang-Undang (UU) No 52 Tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga, ketahanan keluarga adalah kondisi keluarga yang memiliki keuletan dan ketangguhan. Selain itu punya kemampuan fisik-materiil guna hidup mandiri dan mengembangkan diri dan keluarganya untuk hidup harmonis dalam meningkatkan kesejahteraan lahir dan batin.
Ada dua kelompok besar yang bertanggung jawab dalam ketahanan keluarga, yakni kelompok internal dan eksternal. Kelompok internal terbagi dua, yakni aktif dan pasif. Kelompok aktif ini merupakan orang dewasa sehingga bisa menjaga orang tua dan anak. Adapun kelompok pasif adalah yang tidak produktif seperti bayi, anak-anak, lansia. Mereka itu memiliki keterbatasan dan kerentanan. Sementara itu kelompok eksternal adalah masyarakat dan pemerintah.
Psikolog Arijani Lasmawati menerangkan Covid-19 yang sudah berlangsung lebih dari satu semester ini diakui telah membuat lelah secara fisik dan mental seluruh masyarakat. Pikiran masyarakat terbagi antara bertahan hidup dengan melakukan berbagai aktivitas dan ancaman terpapar virus. Kekhawatiran itu beralasan, sebab Covid-19 diakui bisa mengakibatkan dampak buruk, termasuk kematian. (Baca: Inilah Dosa yang Lebih Besar daripada Zina)
Tak ayal, Covid-19 telah memaksa banyak orang untuk beraktivitas di dalam rumah. Ini yang membuat sebagian masyarakat mengalami tekanan psikis mudah terguncang emosinya. Para orang tua yang biasa bekerja dan tidak mengurus anak selama 24 jam kini harus berinteraksi secara intensif sepanjang hari, bahkan berbulan-bulan. Peran mereka pun bertambah, yakni menjadi guru, karena anak-anak belajar dari rumah.
Imbasnya fenomena orang tua marah kepada anak-anak karena perubahan pembelajaran menjadi school from home (SFH) hingga konflik suami-istri karena tekanan ekonomi dan masalah kelesuan usaha menjadi hal yang lumrah muncul.
Banyaknya kegiatan yang dibatasi dan rontoknya perekonomian cukup menekan masyarakat. “Maka masyarakat membutuhkan proses adaptasi untuk menyesuaikan diri dengan situasi terbaru,” ujar Arijani dalam diskusi online dengan tema “Ketahanan Keluarga di Masa Pandemi” kemarin.
Namun, menurut Arijani, adaptasi yang dipaksakan dan dalam waktu cepat ini tidaklah mudah. Masalah psikis dan ekonomi inilah yang diduga menyebabkan meningkatnya kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).
Dari data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, grafik KDRT mengalami penurunan hingga Juni 2020. Bahkan kasusnya tinggi pada Desember 2019 atau sebelum pandemi korona terjadi. “Ini tidak bisa dipersepsikan pandemi menurunkan KDRT. Disinyalir cukup banyak (KDRT), tetapi ada keterbatasan layanan seperti konseling sehingga datanya tidak terdeteksi,” tuturnya. (Baca juga: Daftar Aplikasi dan Situs untuk Bantuan Kuota Data Ditambah)
Banyak kasus kekerasan dalam rumah tangga dan seksual juga dilatarbelakangi pandemi. Maka dalam situasi Covid-19 diperlukan ketahanan keluarga yang kuat untuk mengarungi badai yang belum diketahui kapan berakhirnya ini.
Menurut Undang-Undang (UU) No 52 Tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga, ketahanan keluarga adalah kondisi keluarga yang memiliki keuletan dan ketangguhan. Selain itu punya kemampuan fisik-materiil guna hidup mandiri dan mengembangkan diri dan keluarganya untuk hidup harmonis dalam meningkatkan kesejahteraan lahir dan batin.
Ada dua kelompok besar yang bertanggung jawab dalam ketahanan keluarga, yakni kelompok internal dan eksternal. Kelompok internal terbagi dua, yakni aktif dan pasif. Kelompok aktif ini merupakan orang dewasa sehingga bisa menjaga orang tua dan anak. Adapun kelompok pasif adalah yang tidak produktif seperti bayi, anak-anak, lansia. Mereka itu memiliki keterbatasan dan kerentanan. Sementara itu kelompok eksternal adalah masyarakat dan pemerintah.