Sudah Sembuh, Kenapa Bisa Terinfeksi Covid-19 Lagi?

Senin, 26 Oktober 2020 - 17:30 WIB
loading...
Sudah Sembuh, Kenapa Bisa Terinfeksi Covid-19 Lagi?
Sudah sembuh dari Covid-19 bukan berarti seseorang kebal terhadap penyakit ini. Foto/IST
A A A
JAKARTA - Penyitas Covid-19 yang sudah sembuh, bukan berarti kebal dan tak terinfeksi virus ini. Saat ini para ilmuwan masih meneliti tentang respon sistem imun terhadap virus tersebut.

Mereka sedang mencari tahu apakah proses penyembuhan akan berlangsung permanen. Temuan ini tentunya krusial bukan hanya bagi penyintas namun juga bagi pembuat vaksin untuk mendapatkan vaksin yang seefektif mungkin. Sistem imun sendiri ada dua, imun bawaan dan imun perolehan.

Baca juga : Klaster Demo Omnibus Law, 10 Petugas Dishub Kota Bogor Positif Covid-19

Keduanya memainkan peranan penting dalam melawan virus dan patogen lainnya. “Sistem imun bawaan bersifat revolusioner, bagian yang lama dari respon imun tubuh,” kata Santosha Vardhana, MD, PhD, dikutip dari Webmd. Sistem imun bawaan adalah garda pertama pertahanan tubuh. Reaksi dari sistem imun ini dalam menghadapi Covid-19 adalah terjadinya demam.

Menyusul imun perolehan, dimana sistem imun ini bekerja melawan virus dengan mengeluarkan sel darah putih termasuk limfosit B dan T. Sel limfosit B membuat antibodi, sedangkan limfosit T menjadi dua bentuk: sel yang membantu dan sel yang membunuh. Sel pembunuh menyerang antigen dan membantu mengontrol sistem imun dengan melepaskan zat kimia bernama sitokin. Sedangkan sel pembantu, mendampingi sel B dakam membuat antibodi.

Baca juga : Jokowi Minta Pengadaan dan Vaksinasi COVID-19 Tak Tergesa-gesa

"Kebanyakan orang yang terinfeksi, 90%, mengembangkan antibodi,” kata Joel Ernst, MD, pakar imunologi yang juga profesor di UCSF School of Medicine. Orang tanpa gejala, memiliki lebih sedikit antibodi dan mungkin tidak terdeteksi. Namun kebanyakan mereka juga mengambangkan respon imun termasuk antibodi penetralisir.

Peneliti telah menemukan bagaimana sel T merespon infeksi Covid-19. Beberapa faktor seperti keparahan penyakit, jenis kelamin pasien (wanita memiliki respon lebih tinggi) turut mempengaruhi. Ditemukan bahwa orang dengan respon sel T yang kuat mengalami penyakit yang lebih ringan.

Sebaliknya, orang dengan sel T yang lemah mengalami penyakit lebih berat. Temuan ini sekaligus menjelaskan, mengapa orang berusia 65 tahun keatas yang punya respon sel T lemah, berisiko tinggi menderita keparahan penyakit bahkan kematian. Imunitas tubuh semakin berkurang seiring pertambahan usia. Apa lagi yang peneliti ketahui? “Virus secara umum tidak bermutasi dengan cepat,” ujar Vardhana.

Ini adalah kabar baik bagi efikasi vaksin. Jika virus cepat berubah, vaksin bisa jadi tidak dapat melawannya. Penelitian lain menemukan, pasien Covid-19 dengan kasus berat,memproduksi antibodi selama empat bulan sejak mereka terkena gejala. Sayangnya, peneliti tidak yakin berapa kadar antibodi dalam darah untuk melindungi tubuh dari serangan virus.

Nicolas Vabret, PhD dari Icahn School of Medicine, Mt. Sinai, mengatakan, tidak diketahui respon imun minimal untuk mencegah infeksi. “Padahal ini penting untuk pengembangan vaksin,” tutur Vabret. Satu hal lagi yang belum diketahui adalah seberapa sering reinfeksi akan muncul dan mengapa muncul.

Peneliti melihat empat kasus reinfeksi. Seperti dilaporkan di The Lancet Infectious Diseases, satu pasien dari empat kasus tersebut mengalami defisiensi imun. Dua yang lain malah mengalami infeksi yang lebih hebat dari infeksi yang pertama.

Peneliti juga menemukan, satu pasien dari empat orang, terinfeksi oleh strain yang berbeda dari kasus pertama. Oleh karena itu, terinfeksi bukan berarti menjadi jaminan imunitas total. Yang masih menjadi PR para peneliti ini adalah menemukan respon imun minimal yang membuat individu dapat melawan infeksi secara alami. Hal ini akan berguna untuk pengembangam vaksin. Sri noviarni
(wur)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1284 seconds (0.1#10.140)