Perhatikan, Gejala Covid-19 Bisa Bertahan Satu Tahun
loading...
A
A
A
JAKARTA - Gejala COVID-19 cenderung menyerang seseorang selama beberapa minggu dengan efek samping yang paling buruk terjadi dalam waktu sekitar tiga hari. Namun beberapa orang menderita COVID-19 jagka panjang dan sekarang seorang ahli memperingatkan durasinya bisa hingga 1 tahun.
Gejala COVID-19 saat ini berupa batuk, demam, dan sakit kepala. Beberapa orang melaporkan gejala yang berkepanjangan hingga beberapa bulan setelah terinfeksi virus dan sekarang pakar kesehatan telah memperkirakan berapa lama gejala ini bisa bertahan. (Baca juga:Ini Perbedaan Rapid Test Antigen dengan Tes Covid-19 Lainnya! )
Mereka yang menderita gejala COVID-19 jangka panjang dapat mengalami efek samping hingga satu tahun. Kondisi ini membingungkan dokter. Tetapi, semakin banyak orang yang selamat dari virus corona mengalami gejala yang berkelanjutan selama berminggu-minggu hingga berbulan-bulan setelah infeksi awal.
(Baca juga : Januari, WHO Kirim Tim Investigasi ke Wuhan Lacak Asal-usul Covid-19 )
Terkait komplikasi COVID-19, orang tua dan mereka yang memiliki masalah kesehatan sebelumnya, cenderung menjadi kelompok risiko terbesar. Namun, orang yang lebih muda juga berisiko karena para peneliti baru-baru ini menemukan bahwa beberapa orang menderita kondisi genetik yang memengaruhi fungsi interferon tanpa menyadarinya.
Ketidakseimbangan tersebut menjadi bukti setelah terinfeksi COVID-19 yang mana nyawa bisa terancam meninggal. Sebuah studi yang dilakukan oleh Dr Claire Steves dan Prof Tim Spector di King's College London meneliti lamanya orang mengalami gejala, melihat faktor-faktor seperti usia dalam hal kemungkinan mengembangkan COVID-19 jangka panjang.
(Baca juga : Pasien Sembuh Bertambah Menjadi 521.984 Orang )
Studi ini berfokus pada subkelompok data dari 4.182 pengguna aplikasi COVID-19 Symptom Study yang secara konsisten mencatat kesehatan mereka dan dinyatakan positif COVID-19 melalui tes swab PCR. Para peneliti menemukan orang tua jauh lebih mungkin terkena COVID-19 jangka panjang daripada usia lebih muda, meskipun ini bisa terjadi di semua usia.
(Baca juga : Google Isyaratkan Belum Ada Vaksin yang Bisa Bebaskan Dunia dari COVID-19 )
COVID-19 jangka panjang memengaruhi sekitar 10% orang berusia 18 hingga 49 tahun. Kemudian meningkat menjadi 22% di atas usia 70-an. Dr Greg Vanichkachorn membandingkan COVID-19 dengan SARS. Dia telah melihat lebih dari 100 pasien COVID-19 jangka panjang, dan tidak terlalu terkejut jika beberapa pasien COVID-19 membutuhkan waktu yang sama seperti orang yang selamat dari SARS.
"Pasien SARS membaik, tetapi butuh sedikit waktu, kadang-kadang bahkan lebih dari setahun bagi mereka untuk memulihkan fungsinya," ujar Vanichkachorn dilansir dari Express, Kamis (17/12).
Vanichkachorn menjelaskan bahwa kondisi ini tidak disebabkan genetik. Menurutnya, COVID-19 jangka panjang dapat diderita siapa saja setelah terinfeksi. Bahkan, mereka yang selamat dari COVID-19 parah tidak selalu mengalami kondisi ini. (Baca juga: Rapid Test Antigen Diwajibkan di Jakarta, Tes Apa Itu? )
“Saya pikir salah satu hal yang sangat mengejutkan tentang ini adalah bahwa pasien seperti itu, pasien yang dirawat di rumah sakit atau orang tua, tidak menjadi mayoritas dari pasien yang kami temui. Faktanya, banyak pasien yang kami temui berusia lebih muda dan cukup sehat serta bugar secara fisik sebelum terinfeksi COVID-19," jelas Vanichkachorn.
Gejala COVID-19 saat ini berupa batuk, demam, dan sakit kepala. Beberapa orang melaporkan gejala yang berkepanjangan hingga beberapa bulan setelah terinfeksi virus dan sekarang pakar kesehatan telah memperkirakan berapa lama gejala ini bisa bertahan. (Baca juga:Ini Perbedaan Rapid Test Antigen dengan Tes Covid-19 Lainnya! )
Mereka yang menderita gejala COVID-19 jangka panjang dapat mengalami efek samping hingga satu tahun. Kondisi ini membingungkan dokter. Tetapi, semakin banyak orang yang selamat dari virus corona mengalami gejala yang berkelanjutan selama berminggu-minggu hingga berbulan-bulan setelah infeksi awal.
(Baca juga : Januari, WHO Kirim Tim Investigasi ke Wuhan Lacak Asal-usul Covid-19 )
Terkait komplikasi COVID-19, orang tua dan mereka yang memiliki masalah kesehatan sebelumnya, cenderung menjadi kelompok risiko terbesar. Namun, orang yang lebih muda juga berisiko karena para peneliti baru-baru ini menemukan bahwa beberapa orang menderita kondisi genetik yang memengaruhi fungsi interferon tanpa menyadarinya.
Ketidakseimbangan tersebut menjadi bukti setelah terinfeksi COVID-19 yang mana nyawa bisa terancam meninggal. Sebuah studi yang dilakukan oleh Dr Claire Steves dan Prof Tim Spector di King's College London meneliti lamanya orang mengalami gejala, melihat faktor-faktor seperti usia dalam hal kemungkinan mengembangkan COVID-19 jangka panjang.
(Baca juga : Pasien Sembuh Bertambah Menjadi 521.984 Orang )
Studi ini berfokus pada subkelompok data dari 4.182 pengguna aplikasi COVID-19 Symptom Study yang secara konsisten mencatat kesehatan mereka dan dinyatakan positif COVID-19 melalui tes swab PCR. Para peneliti menemukan orang tua jauh lebih mungkin terkena COVID-19 jangka panjang daripada usia lebih muda, meskipun ini bisa terjadi di semua usia.
(Baca juga : Google Isyaratkan Belum Ada Vaksin yang Bisa Bebaskan Dunia dari COVID-19 )
COVID-19 jangka panjang memengaruhi sekitar 10% orang berusia 18 hingga 49 tahun. Kemudian meningkat menjadi 22% di atas usia 70-an. Dr Greg Vanichkachorn membandingkan COVID-19 dengan SARS. Dia telah melihat lebih dari 100 pasien COVID-19 jangka panjang, dan tidak terlalu terkejut jika beberapa pasien COVID-19 membutuhkan waktu yang sama seperti orang yang selamat dari SARS.
"Pasien SARS membaik, tetapi butuh sedikit waktu, kadang-kadang bahkan lebih dari setahun bagi mereka untuk memulihkan fungsinya," ujar Vanichkachorn dilansir dari Express, Kamis (17/12).
Vanichkachorn menjelaskan bahwa kondisi ini tidak disebabkan genetik. Menurutnya, COVID-19 jangka panjang dapat diderita siapa saja setelah terinfeksi. Bahkan, mereka yang selamat dari COVID-19 parah tidak selalu mengalami kondisi ini. (Baca juga: Rapid Test Antigen Diwajibkan di Jakarta, Tes Apa Itu? )
“Saya pikir salah satu hal yang sangat mengejutkan tentang ini adalah bahwa pasien seperti itu, pasien yang dirawat di rumah sakit atau orang tua, tidak menjadi mayoritas dari pasien yang kami temui. Faktanya, banyak pasien yang kami temui berusia lebih muda dan cukup sehat serta bugar secara fisik sebelum terinfeksi COVID-19," jelas Vanichkachorn.
(tdy)