Main Gadget Terlalu Lama Bisa Memicu Kerusakan Saraf
loading...
A
A
A
JAKARTA - Bermain gadget terlalu lama dapat meningkatkan risiko terkena gejala neuropati. Risiko ini terutama tinggi pada generasi milenial. Bagaimana tidak, sebanyak 98,2% generasi millenial menggunakan smartphone untuk mengakses informasi yang rata-rata makan waktu hingga tujuh jam sehari. Kebiasaan ini bisa berakibat buruk karena dapat memicu kerusakan saraf tepi atau neuropati .
Dr. Manfaluthy Hakim, Sp.S(K) mengatakan, aktivitas dengan gerakan berulang dapat menjadi faktor risiko neuropati, seperti penggunaan gawai terlalu lama. “Bagian tubuh pengguna gawai yang berisiko terkena neuropati adalah jari tangan karena dapat menyerang saraf tangan dan menyebabkan kesemutan atau kebas hingga rasa nyeri yang menetap,” terang dr. Manfaluthy.
Baca Juga : Vaksin Covid Diberikan yang Belum Terinfeksi.Ini Alasan Wamenkes!
Neuropati sendiri merupakan kondisi gangguan dan kerusakan saraf yang ditandai dengan gejala seperti kesemutan, kebas, dan kram. Lebih dari 50% masyarakat melakukan aktivitas dan gaya hidup sehari-hari yang berisiko terkena Neuropati.
Kerusakan saraf tepi ini tentunya akan mempengaruhi kualitas hidup, mengurangi kemampuan kita dalam beraktivitas dan mencapai hasil yang maksimal. Kerusakan pada saraf tepi juga dapat menyebabkan gangguan sensorik, motorik dan penurunan kualitas hidup penderita.
Perlu diingat, kerusakan saraf bersifat irreversible atau tidak dapat diperbaiki, apabila kehilangan serabut saraf diatas 50%. Karenanya pencegahan dan pengobatan dini neuropati sangat penting untuk dilakukan.
Saraf tepi adalah penghubung organ tubuh dengan saraf pusat yaitu otak dan sumsum tulang belakang dengan seluruh organ tubuh (organ dalam, mata, pendengaran, kelenjar keringat, kulit dan otot - otot), karena itu sangat penting untuk dijaga agar tetap berfungsi maksimal dan terhindar dari neuropati atau kerusakan saraf tepi.
Baca Juga : Vaksin Sinovac Gunakan Virus yang Sudah Dimatikan
Ketika saraf tepi mengalami kerusakan maka akan muncul gejala-gejala seperti kesemutan , kebas, kram, dan kelemahan otot. Gangguan ini memiliki gejala yang diawali dengan kebas dan kesemutan ringan, menurunnya fungsi saraf, seperti hilangnya sensasi rasa dan gerak, hingga kecacatan permanen. Diketahui 1 dari 3 orang sudah mulai mengalami gejala. Sayangnya, gejala awal kebas dan kesemutan ini seringkali diremehkan atau tidak disadari, padahal gejala ringan ini merupakan tanda awal kerusakan sel saraf.
Lebih jauh dr. Manfaluthy mengatakan, infeksi akibat neuropati banyak dialami oleh mereka yang mengalami kebas atau mati rasa atau baal sehingga tidak terasa ketika luka. Luka yang terjadi sangat mungkin terkena infeksi. Infeksi semakin parah ketika dialami oleh penderita diabetes.
Pada penderita diabetes, angka prevalensi neuropati meningkat menjadi 50% atau 1 dari 2 penderita. Penurunan kualitas hidup terjadi ketika intensitas terjadinya gejala-gejala neuropati semakin sering.
Baca Juga : Nutrisi Seimbang Memaksimalkan Kerja Vaksin
Risiko Neuropati bisa terjadi pada siapa saja. Bahkan kini gejala neuropati sudah dirasakan oleh mereka yang berusia muda 26-30 tahun yaitu sebanyak 1 dari 3 orang. Hal ini ditunjang oleh faktor gaya hidup dengan aktivitas keseharian yang terus-menerus dan berulang, seperti beraktivitas dengan gadget (61,5%), mengendarai motor atau mobil (58,5%), duduk dengan posisi sama dalam waktu yang lama (53,7%), dan mengetik dengan komputer (52,8%).
Dr. Manfaluthy Hakim, Sp.S(K) mengatakan, aktivitas dengan gerakan berulang dapat menjadi faktor risiko neuropati, seperti penggunaan gawai terlalu lama. “Bagian tubuh pengguna gawai yang berisiko terkena neuropati adalah jari tangan karena dapat menyerang saraf tangan dan menyebabkan kesemutan atau kebas hingga rasa nyeri yang menetap,” terang dr. Manfaluthy.
Baca Juga : Vaksin Covid Diberikan yang Belum Terinfeksi.Ini Alasan Wamenkes!
Neuropati sendiri merupakan kondisi gangguan dan kerusakan saraf yang ditandai dengan gejala seperti kesemutan, kebas, dan kram. Lebih dari 50% masyarakat melakukan aktivitas dan gaya hidup sehari-hari yang berisiko terkena Neuropati.
Kerusakan saraf tepi ini tentunya akan mempengaruhi kualitas hidup, mengurangi kemampuan kita dalam beraktivitas dan mencapai hasil yang maksimal. Kerusakan pada saraf tepi juga dapat menyebabkan gangguan sensorik, motorik dan penurunan kualitas hidup penderita.
Perlu diingat, kerusakan saraf bersifat irreversible atau tidak dapat diperbaiki, apabila kehilangan serabut saraf diatas 50%. Karenanya pencegahan dan pengobatan dini neuropati sangat penting untuk dilakukan.
Saraf tepi adalah penghubung organ tubuh dengan saraf pusat yaitu otak dan sumsum tulang belakang dengan seluruh organ tubuh (organ dalam, mata, pendengaran, kelenjar keringat, kulit dan otot - otot), karena itu sangat penting untuk dijaga agar tetap berfungsi maksimal dan terhindar dari neuropati atau kerusakan saraf tepi.
Baca Juga : Vaksin Sinovac Gunakan Virus yang Sudah Dimatikan
Ketika saraf tepi mengalami kerusakan maka akan muncul gejala-gejala seperti kesemutan , kebas, kram, dan kelemahan otot. Gangguan ini memiliki gejala yang diawali dengan kebas dan kesemutan ringan, menurunnya fungsi saraf, seperti hilangnya sensasi rasa dan gerak, hingga kecacatan permanen. Diketahui 1 dari 3 orang sudah mulai mengalami gejala. Sayangnya, gejala awal kebas dan kesemutan ini seringkali diremehkan atau tidak disadari, padahal gejala ringan ini merupakan tanda awal kerusakan sel saraf.
Lebih jauh dr. Manfaluthy mengatakan, infeksi akibat neuropati banyak dialami oleh mereka yang mengalami kebas atau mati rasa atau baal sehingga tidak terasa ketika luka. Luka yang terjadi sangat mungkin terkena infeksi. Infeksi semakin parah ketika dialami oleh penderita diabetes.
Pada penderita diabetes, angka prevalensi neuropati meningkat menjadi 50% atau 1 dari 2 penderita. Penurunan kualitas hidup terjadi ketika intensitas terjadinya gejala-gejala neuropati semakin sering.
Baca Juga : Nutrisi Seimbang Memaksimalkan Kerja Vaksin
Risiko Neuropati bisa terjadi pada siapa saja. Bahkan kini gejala neuropati sudah dirasakan oleh mereka yang berusia muda 26-30 tahun yaitu sebanyak 1 dari 3 orang. Hal ini ditunjang oleh faktor gaya hidup dengan aktivitas keseharian yang terus-menerus dan berulang, seperti beraktivitas dengan gadget (61,5%), mengendarai motor atau mobil (58,5%), duduk dengan posisi sama dalam waktu yang lama (53,7%), dan mengetik dengan komputer (52,8%).
(wur)