Berdamai dengan Ginjal demi Kualitas Hidup

Kamis, 25 Maret 2021 - 19:56 WIB
loading...
Berdamai dengan Ginjal...
Penyintas transplantasi ginjal, Anton Bahtiar Rifai, sempat merasa frustrasi sebelum akhirnya berserah diri dan kini kembali hidup normal. (Foto: Dok/Pribadi)
A A A
BERDAMAI dengan penyakit ginjal kronis (PGK) menjadi cara utama pasien mendapatkan kualitas hidup lebih baik. Efeknya, risiko komplikasi berkurang dan manfaat pengobatan meningkat.

Survivor transplantasi ginjal, Anton Bahtiar Rifa'i menceritakan bahwa dirinya dinyatakan gagal ginjal pada 2013 akibat hipertensi. Dia juga beberapa kali ada batu ginjal yang membuat fungsi ginjalnya menurun hingga 15%.

”Pada November 2013, saya mulai menjalani cuci darah (hemodialisa). Pada mulanya, saya cuci darah di Rumah Sakit PGI Cikini Jakarta. Kemudian pindah ke RS Siloam Karawaci Tangerang, karena rumah saya di Tangerang. Pada waktu itu, masih belum ada layanan BPJS Kesehatan, sehingga biaya cuci darah cukup mahal,” katanya.

Anton merasa beruntung ketika pada 2014 pemerintah mengeluarkan kebijakan BPJS Kesehatan yang bisa digunakan juga untuk cuci darah secara gratis. Dia pun kemudian pindah ke rumah sakit yang menyediakan layanan cuci darah dengan menggunakan BPJS. “Sejak 2014, saya cuci darah di RS Awal Bross Tangerang secara gratis karena ditanggung BPJS,” tukasnya.

Dia menjalani cuci darah selama hampir lima tahun, tepatnya dari November 2013 hingga Januari 2018. Pada mulanya, dia sedih dan frustrasi karena selama menjalani cuci darah nyaris tidak bisa banyak beraktivitas. Sebab, dia harus menjalani cuci darah dua kali dalam sepekan. Untuk sekali cuci darah butuh waktu lima jam.

“Jadi, selama 5 jam itu saya hanya bisa terbaring dengan dua jarum tertusuk di tangan. Satu jarum untuk mengalirkan darah ke mesin, dan satu jarum lagi untuk mengalirkan darah dari mesin ke tubuh saya. Setiap selesai cuci darah, saya mual, bahkan muntah-muntah,” kata jurnalis di salah satu stasiun televisi swasta nasional itu.

Menurut dia, bagi pasien gagal ginjal, cuci darah harus dilakukan seumur hidup. Tentu ini membuat banyak pasien gagal ginjal sedih dan frustrasi. Belum lagi, penyakit gagal ginjal tergolong mematikan, karena banyak pasien gagal ginjal harus meregang nyawa. “Rasa frustrasi adalah hal yang lazim dialami pasien gagal ginjal di fase awal,” ceritanya.

Seiring berjalannya waktu, Anton mulai menerima kenyataan dan berdamai dengan penyakitnya. Dia tidak lagi merasa sedih atau kecewa dengan penyakitnya. Dia mengatakan, pasien gagal ginjal harus mampu mengatasi persoalan psikologis untuk bisa bangkit. “Saya merasa, momen kebangkitan saya adalah ketika saya mulai bisa berdamai dan ikhlas menerima sakit yang saya terima. Setelah itu, saya merasa lebih optimistis dalam menghadapi hidup,” ungkapnya.

Pada 2018 dia tidak lagi cuci darah, karena dia mendapatkan donor ginjal dari sang istri, Yuli Afiati. Dia menjalani operasi cangkok (transplantasi) ginjal pada Januari 2018 di RSCM Jakarta, ditangani Prof. Dr. dr. Endang Susalit. Operasi berjalan lancar dan berhasil. Kini, dia pun dapat menjalani hidup dengan normal setelah mendapatkan ginjal baru dari istrinya.

“Tapi saya tetap harus minum obat untuk menjaga kondisi ginjal. Saya merasa mendapatkan kesempatan hidup kedua (second life). Maka saya pun berusaha melakukan yang terbaik, berkarya, dan mewujudkan keinginan-keinginan yang sempat tertunda, seperti kuliah pascasarjana. Saya juga berhasil meraih Anugerah Jurnalistik Adinegoro pada 2019,” ceritanya.

Ketua Umum Perhimpunan Nefrologi Indonesia Aida Lydia juga menekankan upaya berdamai dengan penyakit ginjal demi mencapai hidup berkualitas. Sebab, beban akibat penyakit ginjal kronis (PGK) termasuk keluhan, komplikasi, dan pengobatannya, dapat menurunkan kualitas hidup tidak hanya pasien, tapi juga pendamping dan keluarga pasien.

“Umumnya pasien datang dalam kondisi sudah lanjut. Fungsi ginjalnya sudah sangat rendah dan telah terjadi komplikasi akut dari PGK itu, sehingga pilihan pengobatan yang ditawarkan juga terbatas,” ungkapnya.

Penurunan kualitas hidup pasien secara umum akan berdampak pada outcome klinis serta kepuasan pasien. Sayangnya , sepertiga pasien belum mengetahui benar penyakitnya.

“Untuk dapat hidup berkualitas dengan PGK, pasien harus tetap berperan dalam kehidupannya. Peran ini diartikan sebagai kemampuan terlibat dalam aktivitas. Di antaranya bekerja, belajar, bertanggung jawab kepada keluarga, bepergian, berolahraga, beraktivitas sosial dan berekreasi,” paparnya.

Selain itu, bagi yang menjalani hemodialisis alias cuci darah, pasien dan pendampingnya perlu memahami mengenai pembatasan asupan cairan dan diet, serta obat rutin yang dikonsumsi.

Pendekatan ini bertujuan untuk membentuk ketahanan pasien PGK dengan meningkatkan hubungan sosial antarpasien. Bagaimanapun, penyakit ginjal sangat berpengaruh terhadap kualitas hidup seseorang. Banyak pasien PGK mengalami penurunan kualitas hidup karena komplikasi dari penyakit hingga pengobatan yang banyak mencakup obat, pembatasan cairan, diet, hingga terapi pengganti ginjal.

Fasilitas Rumah Sakit

Penanganan pasien gagal ginjal di sejumlah rumah sakit seperti RS PGI Cikini, RS Siloam Karawaci, RS Awal Bross Tangerang, dan RSCM dinilai Anton sudah baik. Di empat rumah sakit itu dia menjalani proses cuci darah. Fasilitas yang disediakan pun tergolong lengkap.

“Saya nyaris tidak mengalami keluhan pada keempat rumah sakit itu. Tentu saja, keempat rumah sakit itu tidak bisa dijadikan parameter untuk menggambarkan layanan di seluruh Indonesia. Karena, saya juga sering mendengar banyaknya masalah dalam pelayanan pasien gagal ginjal di Indonesia, terutama di luar Jawa,” katanya.

Untuk RS yang menyediakan layanan penanganan gagal ginjal secara lengkap menurut dia ada di empat RS di atas. Di sana fasilitas yang dimiliki sangat baik dan memadai. Namun, untuk RS yang mampu melakukan operasi cangkok ginjal masih sedikit, karena tenaga ahli juga terbatas.

“RSCM dan RS PGI Cikini adalah rumah sakit yang bisa melakukan operasi cangkok ginjal. Saya pernah membaca data yang dikeluarkan Indonesian Renal Registry (IRR), yang menunjukkan bahwa unit layanan cuci darah di Indonesia masih belum merata. Hanya terfokus di pulau Jawa dan Sumatera. Sedangkan di Indonesia Timur, masih minim. Padahal, jumlah penderita gagal ginjal, dari tahun ke tahun makin meningkat,” pungkasnya. (r ratna purnama/helmi syarief)
(wan)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1320 seconds (0.1#10.140)