Jangan Asal Pakai Air Purifier! Ini 3 Tips Cara Mengoptimalkan Udara Berkualitas di Rumah & Kantor
loading...
A
A
A
JAKARTA - Di masa pandemi Covid-19 ini masyarakat menjadi lebih peduli pada udara bersih. Sebagai langkah mendapatkan udara bersih, masyarakat Indonesia banyak membeli mesin pembersih udara.
Baca juga: Antisipasi Kenaikan Sangat Tinggi, Menkes Rilis Harga Eceran 11 Obat Covid-19
Namun, ternyata banyak teknologi yang ditawarkan mesin tersebut tidak direkomendasikan oleh para ahli. Bukan hanya karena tidak efektif dan tidak dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, tetapi juga memiliki potensi untuk membuat udara lebih kotor dan berdampak pada kesehatan, karena justru bisa memicu penyakit kanker .
"Sekitar 70 persen hingga 80 persen atau mayoritas mesin pembersih udara yang dijual di Indonesia menggunakan teknologi yang tidak direkomendasikan para ahli lingkungan," ujar Ivan S, Jayawan, Pakar Teknik Lingkungan Lulusan University of Michigan, AS, Rabu (30/6/2021).
Ia mengutip laporan salah satu jurnal kedokteran bergengsi, The Lancet Covid-19 Commission Task Force for Safe School, Safe Work, and Safe Travel yang menyatakan teknologi yang tidak direkomendasikan antara lain adalah ionisasi bipolar, sistem plasma, air purifier dengan ionizers atau sinar ultraviolet (UV), dry hydrogen peroxide, dan photocatalytic oxidation.
Teknologi tersebut, lanjutnya, ditemukan di banyak mesin pembersih udara yang dijual di Indonesia.
Dia memaparkan sinar UV di dalam mesin air purifier memang sekilas sangat menjanjikan.
Pada kenyataannya, kata pemegang gelar PhD ini, sinar UV membutuhkan waktu paparan yang cukup panjang untuk membunuh virus dan bakteri di udara, sekitar 12 sampai 60 detik tergantung berbagai macam faktor, sedangkan di dalam air purifier, udara hanya terekpose sinar UV dalam hitungan kurang 1 detik, sehingga sinar UV di air purifier tidak efektif.
"Pemasangan sinar UV di air purifier malah berpotensi berbahaya karena bila tidak hati-hati, paparan langsung sinar UV dapat menyebabkan iritasi pada kulit, mata dan bahkan kanker," paparnya.
Adapun, teknologi ionisasi akan menjadikan debu atau partikel di udara bermuatan, sehingga akan menempel pada permukaan.
Ia mengilustrasikan seperti balon yang digosok-gosok ke rambut sehingga balon menempel di rambut.
"Teknologi ionisasi dan photocatalytix oxidation tidak direkomendasikan, karena berpotensi menghasilkan gas ozone yang berbahaya untuk sistem pernafasan kita. Walaupun banyak produsen air purifier yang mengatakan teknologi mereka tidak menghasilkan gas ozone, hasil penelitian yang independen tidak sependapat," imbuhnya.
Ivan prihatin atas hal ini, karena pemahaman masyarakat Indonesia tentang teknologi pembersihan udara masih minim.
Hal ini menyebabkan banyak orang membeli mesin pembersih udara hanya berdasarkan iklan atau ikut-ikutan tren dari media sosial.
Padahal, banyak mesin pembersih udara tersebut, termasuk dalam kategori yang tidak direkomendasikan oleh para ahli dalam jurnal di atas.
Hal ini sangat ironis, karena meski telah mengeluarkan banyak uang, udara yang didapat bukannya semakin bersih, tetapi malah semakin kotor dan berbahaya.
Ivan mengatakan solusi mudah dan murah untuk mendapatkan udara bersih adalah memastikan rumah punya ventilasi cukup.
"Buka saja jendela rumah, sehingga terjadi sirkulasi udara," sarannya.
Tips Penggunaan Air Purifier
Ivan juga memaparkan tiga tips pemilihan dan penggunaan produk air purifier guna mengoptimalkan udara yang berkualitas.
Pertama, untuk gedung perkantoran yang tidak memungkinkan untuk membuka jendela, Ivan menyarankan agar pengelola kantor memastikan mesin pembersih udaranya menggunakan filter HEPA (High Efficiency Particulate Air) yang tersertifikasi secara independen.
Filter HEPA telah terbukti secara ilmiah dapat menyaring partikel di udara, termasuk virus dan bakteri yang berukuran sangat kecil.
Namun, meski ada filter HEPA, Ivan menyarankan agar mematikan lampu UV atau ionisasi di mesin pembersih udara.
"Filter HEPA kalau di- combine dengan UV, selain berpotensi berbahaya kalau terpapar UV langsung, fungsi UV juga tidak efektif. Namun, kalau sudah ada air purifier dengan HEPA dan UV, lampu UV dimatikan saja," sarannya.
Kedua, memastikan mesin pembersih udara yang mau dibeli disesuaikan dengan luas ruangan dan aplikasinya. Misalkan, satu mesin pembersih udara untuk ruangan luas 20 meter persegi, namun diaplikasikan di ruangan berukuran 80 meter persegi. Hal itu tidak akan efektif membersihkan udara.
"Efektivitas suatu air purifier ditentukan oleh seberapa besar CADR, Clean Air Delivery Rate. Air purifier yang akan digunakan untuk ruangan yang lebih besar dengan lebih banyak orang atau ruangan lebih sensitif, seperti ruang praktek dokter membutuhkan CADR yang jauh lebih besar dibandingkan untuk kamar tidur atau rumah tinggal untuk luas ruangan yang sama," begitu ia merinci.
Baca juga: Kemesraan Aldebaran dan Andin Berakhir Pahit buat Tim Merah Offsite Challenge MCI 8
Ketiga, Ivan memberikan tips agar menghindari penggunaan air purifier yang berbasis ionisasi, photocatalytic oxidation atau turunannya, dan sinar UV.
Baca juga: Antisipasi Kenaikan Sangat Tinggi, Menkes Rilis Harga Eceran 11 Obat Covid-19
Namun, ternyata banyak teknologi yang ditawarkan mesin tersebut tidak direkomendasikan oleh para ahli. Bukan hanya karena tidak efektif dan tidak dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, tetapi juga memiliki potensi untuk membuat udara lebih kotor dan berdampak pada kesehatan, karena justru bisa memicu penyakit kanker .
"Sekitar 70 persen hingga 80 persen atau mayoritas mesin pembersih udara yang dijual di Indonesia menggunakan teknologi yang tidak direkomendasikan para ahli lingkungan," ujar Ivan S, Jayawan, Pakar Teknik Lingkungan Lulusan University of Michigan, AS, Rabu (30/6/2021).
Ia mengutip laporan salah satu jurnal kedokteran bergengsi, The Lancet Covid-19 Commission Task Force for Safe School, Safe Work, and Safe Travel yang menyatakan teknologi yang tidak direkomendasikan antara lain adalah ionisasi bipolar, sistem plasma, air purifier dengan ionizers atau sinar ultraviolet (UV), dry hydrogen peroxide, dan photocatalytic oxidation.
Teknologi tersebut, lanjutnya, ditemukan di banyak mesin pembersih udara yang dijual di Indonesia.
Dia memaparkan sinar UV di dalam mesin air purifier memang sekilas sangat menjanjikan.
Pada kenyataannya, kata pemegang gelar PhD ini, sinar UV membutuhkan waktu paparan yang cukup panjang untuk membunuh virus dan bakteri di udara, sekitar 12 sampai 60 detik tergantung berbagai macam faktor, sedangkan di dalam air purifier, udara hanya terekpose sinar UV dalam hitungan kurang 1 detik, sehingga sinar UV di air purifier tidak efektif.
"Pemasangan sinar UV di air purifier malah berpotensi berbahaya karena bila tidak hati-hati, paparan langsung sinar UV dapat menyebabkan iritasi pada kulit, mata dan bahkan kanker," paparnya.
Adapun, teknologi ionisasi akan menjadikan debu atau partikel di udara bermuatan, sehingga akan menempel pada permukaan.
Ia mengilustrasikan seperti balon yang digosok-gosok ke rambut sehingga balon menempel di rambut.
"Teknologi ionisasi dan photocatalytix oxidation tidak direkomendasikan, karena berpotensi menghasilkan gas ozone yang berbahaya untuk sistem pernafasan kita. Walaupun banyak produsen air purifier yang mengatakan teknologi mereka tidak menghasilkan gas ozone, hasil penelitian yang independen tidak sependapat," imbuhnya.
Ivan prihatin atas hal ini, karena pemahaman masyarakat Indonesia tentang teknologi pembersihan udara masih minim.
Hal ini menyebabkan banyak orang membeli mesin pembersih udara hanya berdasarkan iklan atau ikut-ikutan tren dari media sosial.
Padahal, banyak mesin pembersih udara tersebut, termasuk dalam kategori yang tidak direkomendasikan oleh para ahli dalam jurnal di atas.
Hal ini sangat ironis, karena meski telah mengeluarkan banyak uang, udara yang didapat bukannya semakin bersih, tetapi malah semakin kotor dan berbahaya.
Ivan mengatakan solusi mudah dan murah untuk mendapatkan udara bersih adalah memastikan rumah punya ventilasi cukup.
"Buka saja jendela rumah, sehingga terjadi sirkulasi udara," sarannya.
Tips Penggunaan Air Purifier
Ivan juga memaparkan tiga tips pemilihan dan penggunaan produk air purifier guna mengoptimalkan udara yang berkualitas.
Pertama, untuk gedung perkantoran yang tidak memungkinkan untuk membuka jendela, Ivan menyarankan agar pengelola kantor memastikan mesin pembersih udaranya menggunakan filter HEPA (High Efficiency Particulate Air) yang tersertifikasi secara independen.
Filter HEPA telah terbukti secara ilmiah dapat menyaring partikel di udara, termasuk virus dan bakteri yang berukuran sangat kecil.
Namun, meski ada filter HEPA, Ivan menyarankan agar mematikan lampu UV atau ionisasi di mesin pembersih udara.
"Filter HEPA kalau di- combine dengan UV, selain berpotensi berbahaya kalau terpapar UV langsung, fungsi UV juga tidak efektif. Namun, kalau sudah ada air purifier dengan HEPA dan UV, lampu UV dimatikan saja," sarannya.
Kedua, memastikan mesin pembersih udara yang mau dibeli disesuaikan dengan luas ruangan dan aplikasinya. Misalkan, satu mesin pembersih udara untuk ruangan luas 20 meter persegi, namun diaplikasikan di ruangan berukuran 80 meter persegi. Hal itu tidak akan efektif membersihkan udara.
"Efektivitas suatu air purifier ditentukan oleh seberapa besar CADR, Clean Air Delivery Rate. Air purifier yang akan digunakan untuk ruangan yang lebih besar dengan lebih banyak orang atau ruangan lebih sensitif, seperti ruang praktek dokter membutuhkan CADR yang jauh lebih besar dibandingkan untuk kamar tidur atau rumah tinggal untuk luas ruangan yang sama," begitu ia merinci.
Baca juga: Kemesraan Aldebaran dan Andin Berakhir Pahit buat Tim Merah Offsite Challenge MCI 8
Ketiga, Ivan memberikan tips agar menghindari penggunaan air purifier yang berbasis ionisasi, photocatalytic oxidation atau turunannya, dan sinar UV.
(nug)