Penanganan Stunting Hadapi Tantangan Baru di Masa Pandemi
loading...
A
A
A
JAKARTA - Penanganan stunting di masa pandemi seperti saat ini menghadapi tantangan baru, yakni bagaimana di tengah kesibukan pemerintah mengatasi pandemi, program-program pencegahan stunting harus tetap diprioritaskan. Bila tidak, kebutuhan nutrisi dan perkembangan anak-anak Indonesia jelas terdampak.
Baca juga: Pandemi Covid-19 Bikin Cemas, Begini Saran Psikolog Untuk Menghindarinya!
Ketua Pokja Antropometri Kementerian Kesehatan dan Dokter Spesialis Anak Konsultan Nutrisi & Penyakit Metabolik RSCM, Prof. DR. Dr. Damayanti R. Sjarif, Sp.A (K), menyamakan persepsi dulu tentang definisi stunting .
Menurut WHO, kondisi stunting adalah ketika panjang atau tinggi badan anak berada di bawah 2 simpang baku yang diklasifikasikan sebagai stunted dalam grafik WHO, yang disebabkan kekurangan gizi kronik.
Kekurangan gizi kronik dapat merupakan akibat asupan nutrisi yang tidak memadai misalnya karena kemiskinan, penelantaran atau ketidaktahuan. Kemudian, peningkatan kebutuhan gizi yang tidak terpenuhi akibat sering sakit, misalnya diare kronik akibat sanitasi buruk, ISPA berulang akibat tidak diimunisasi, atau kondisi/penyakit tertentu yang memerlukan diet khusus, seperti bayi yang sangat prematur, alergi makanan, kelainan metabolisme bawaan, penyakit jantung bawaan, dan lainnya.
"Tata laksana stunting tentu saja disesuaikan dengan penyebabnya. Sebenarnya perawakan pendek merupakan pertanda terjadinya masalah kekurangan gizi kronik yang lebih besar yaitu menurunnya kemampuan kognitif serta meningkatnya risiko Penyakit Tidak Menular (obesitas, diabetes, penyakit jantung koroner, hipertensi dll) di usia dewasa," ucap Prof Damayanti, belum lama ini.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa kekurangan asupan protein hewani (sumber asam amino esensial yang lengkap dengan bioavailabilitas tinggi) dalam MPASI anak berusia 6-24 bulan merupakan penyebab tingginya angka kejadian stunting di 49 negara.
Sumber protein hewani adalah telur, ikan, ayam, daging sapi/kambing, susu termasuk pangan untuk keperluan medis khusus. Penelitian di Equador membuktikan bahwa konsumsi tambahan sebutir telur sehari selama 6 bulan dapat menurunkan stunting sekitar 47%.
Selain itu, penelitian yang dilakukan WHO juga menunjukkan bahwa intervensi segera pada seorang anak yang mengalami weight faltering (kenaikan berat badan per bulan dibawah standar) dapat mencegah stunting 34% di usia 1 tahun dan 24% di usia 2 tahun.
Prof. Damayanti menambahkan, berdasarkan bukti ilmiah di atas, dibuatlah strategi untuk menurunkan prevalensi stunting dan terpenting memberi kesempatan untuk mengoreksi kognitif sebelum 2 tahun dengan cara mensosialisasikan konsumsi protein hewani dalam MPASI anak 6-24 bulan dengan protein yang tersedia setempat dan terjangkau.
Baca juga: Pandemi Covid-19 Bikin Cemas, Begini Saran Psikolog Untuk Menghindarinya!
Ketua Pokja Antropometri Kementerian Kesehatan dan Dokter Spesialis Anak Konsultan Nutrisi & Penyakit Metabolik RSCM, Prof. DR. Dr. Damayanti R. Sjarif, Sp.A (K), menyamakan persepsi dulu tentang definisi stunting .
Menurut WHO, kondisi stunting adalah ketika panjang atau tinggi badan anak berada di bawah 2 simpang baku yang diklasifikasikan sebagai stunted dalam grafik WHO, yang disebabkan kekurangan gizi kronik.
Kekurangan gizi kronik dapat merupakan akibat asupan nutrisi yang tidak memadai misalnya karena kemiskinan, penelantaran atau ketidaktahuan. Kemudian, peningkatan kebutuhan gizi yang tidak terpenuhi akibat sering sakit, misalnya diare kronik akibat sanitasi buruk, ISPA berulang akibat tidak diimunisasi, atau kondisi/penyakit tertentu yang memerlukan diet khusus, seperti bayi yang sangat prematur, alergi makanan, kelainan metabolisme bawaan, penyakit jantung bawaan, dan lainnya.
"Tata laksana stunting tentu saja disesuaikan dengan penyebabnya. Sebenarnya perawakan pendek merupakan pertanda terjadinya masalah kekurangan gizi kronik yang lebih besar yaitu menurunnya kemampuan kognitif serta meningkatnya risiko Penyakit Tidak Menular (obesitas, diabetes, penyakit jantung koroner, hipertensi dll) di usia dewasa," ucap Prof Damayanti, belum lama ini.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa kekurangan asupan protein hewani (sumber asam amino esensial yang lengkap dengan bioavailabilitas tinggi) dalam MPASI anak berusia 6-24 bulan merupakan penyebab tingginya angka kejadian stunting di 49 negara.
Sumber protein hewani adalah telur, ikan, ayam, daging sapi/kambing, susu termasuk pangan untuk keperluan medis khusus. Penelitian di Equador membuktikan bahwa konsumsi tambahan sebutir telur sehari selama 6 bulan dapat menurunkan stunting sekitar 47%.
Selain itu, penelitian yang dilakukan WHO juga menunjukkan bahwa intervensi segera pada seorang anak yang mengalami weight faltering (kenaikan berat badan per bulan dibawah standar) dapat mencegah stunting 34% di usia 1 tahun dan 24% di usia 2 tahun.
Prof. Damayanti menambahkan, berdasarkan bukti ilmiah di atas, dibuatlah strategi untuk menurunkan prevalensi stunting dan terpenting memberi kesempatan untuk mengoreksi kognitif sebelum 2 tahun dengan cara mensosialisasikan konsumsi protein hewani dalam MPASI anak 6-24 bulan dengan protein yang tersedia setempat dan terjangkau.