Terapi Profilaksis Dosis Rendah buat Pasien Hemofilia Masih Terbatas
loading...
A
A
A
JAKARTA - Terapi profilaksis dengan obat inovatif menjadi bagian dari rencana pemerintah dalam meningkatkan pelayanan pengobatan pasien hemofilia . Hal itu tercantum sebagai rekomendasi dalam Pedoman Nasional pelayanan Kedokteran (PNPK) Tata Laksana Hemofilia.
Kendati demikian, kepastian soal ketersediaan obat dalam skema Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) masih dipertimbangkan pemerintah hingga saat ini, terutama dari aspek ekonomi.
"Pengobatan untuk pasien hemofilia masih terkendala dalam aspek ketersediaan, akses pembiayaan yang terbatas, dan jumlah rumah sakit yang dapat memberikan terapi. Sementara, bila terapi dilakukan tidak optimal, pasien berisiko mengalami kerusakan sendi," ujar anggota Ikatan Dokter Anak Indonesia, dr. Novie Amalia Chozie dalam siaran persnya, Jumat (8/7/2022).
Baca juga: 7 Cara Menurunkan Berat Badan setelah Melahirkan, Nomor 5 Paling Ampuh
Pakar kesehatan mendukung penerapan terapi profilaksis hemofilia karena lebih ampuh secara klinis dalam mencegah perdarahan dan komplikasinya, seperti kerusakan sendi dan kecacatan fisik. Dokter Novie menjelaskan, terapi profilaksis untuk pasien hemofilia dapat berupa faktor pembekuan darah, bypassing agent (BPA), dan obat non-faktor seperti emicizumab.
Terapi profilaksis dengan obat inovatif telah terbukti lebih ekonomis dari segi biaya. Studi lokal Clinical Epidemiology and Evidence-Based Medicine Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia-RSCM (CEEBM FKUI-RSCM) terhadap kelompok pasien hemofilia dengan inhibitor menunjukkan, terapi profilaksis dengan obat non-faktor (emicizumab) berpotensi menekan pengeluaran BPJS Kesehatan untuk pengobatan hemofilia sebesar Rp51,9 miliar dalam lima tahun dibandingkan dengan terapi standar.
Penghematan tersebut terjadi karena biaya pengobatan perdarahan dan komplikasi yang muncul dari terapi standar saat ini dapat dihindari.
Dalam acara peringatan Hari Hemofilia Sedunia 2022 Himpunan Masyarakat Hemofilia Indonesia (HMHI), anggota Perhimpunan Hematologi dan Transfusi Darah Indonesia (PHTDI) dr. Fitri Primacakti menjelaskan, bantuan JKN untuk pasien hemofilia masih ada kendala soal keterbatasannya.
Selain itu, implementasi terapi profilaksis dosis rendah maupun terapi home treatment kepada pasien hemofilia juga masih terbatas.
"Dengan adanya JKN ini, bisa meng-cover kebutuhan pasien hemofilia. Tetapi, untuk pasien dengan perdarahan berat, atau bahkan pasien-pasien yang memerlukan tindakan operasi, masih menjadi kendala karena klaim dan pilihan terapinya sangat terbatas," tutur dr. Fitri.
Dari sisi pembiayaan, Kepala Pusat Kebijakan Pembiayaan dan Desentralisasi Kesehatan (Pusjak PDK), dr. Yuli Farianti menjelaskan, pemerintah tengah meninjau tarif Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dan klasifikasi ulang penyakit-penyakit sesuai kondisinya.
Upaya tersebut kini sedang terus dioptimalkan oleh pemerintah agar para pasien mendapatkan obat-obatan yang lebih efektif.
"Pemerintah juga sedang meningkatkan peranan Penilaian Teknologi Kesehatan (PTK) dalam rangka menilai teknologi, alat kesehatan, maupun obat-obatan baru agar bisa masuk ke dalam manfaat tanggungan JKN," kata dr. Yuli.
Sekretaris Direktorat Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan, Dita Novianti Sugandi Argadiredja menyatakan, pemerintah mempertimbangkan aspek benefit, efektivitas, khasiat, dan aspek-aspek lainnya dalam upaya memperluas akses pengobatan.
Baca juga: 6 Penyebab Pembengkakan Jantung Seperti Diidap Dicky Topan, Nomor 3 Paling Sering Dialami
Rencana pemerintah tersebut perlu segera terealisasi agar sejalan dengan kebutuhan pasien akan adanya terapi profilaksis hemofilia yang terbukti efektif secara klinis maupun ekonomis.
Kendati demikian, kepastian soal ketersediaan obat dalam skema Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) masih dipertimbangkan pemerintah hingga saat ini, terutama dari aspek ekonomi.
"Pengobatan untuk pasien hemofilia masih terkendala dalam aspek ketersediaan, akses pembiayaan yang terbatas, dan jumlah rumah sakit yang dapat memberikan terapi. Sementara, bila terapi dilakukan tidak optimal, pasien berisiko mengalami kerusakan sendi," ujar anggota Ikatan Dokter Anak Indonesia, dr. Novie Amalia Chozie dalam siaran persnya, Jumat (8/7/2022).
Baca juga: 7 Cara Menurunkan Berat Badan setelah Melahirkan, Nomor 5 Paling Ampuh
Pakar kesehatan mendukung penerapan terapi profilaksis hemofilia karena lebih ampuh secara klinis dalam mencegah perdarahan dan komplikasinya, seperti kerusakan sendi dan kecacatan fisik. Dokter Novie menjelaskan, terapi profilaksis untuk pasien hemofilia dapat berupa faktor pembekuan darah, bypassing agent (BPA), dan obat non-faktor seperti emicizumab.
Terapi profilaksis dengan obat inovatif telah terbukti lebih ekonomis dari segi biaya. Studi lokal Clinical Epidemiology and Evidence-Based Medicine Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia-RSCM (CEEBM FKUI-RSCM) terhadap kelompok pasien hemofilia dengan inhibitor menunjukkan, terapi profilaksis dengan obat non-faktor (emicizumab) berpotensi menekan pengeluaran BPJS Kesehatan untuk pengobatan hemofilia sebesar Rp51,9 miliar dalam lima tahun dibandingkan dengan terapi standar.
Penghematan tersebut terjadi karena biaya pengobatan perdarahan dan komplikasi yang muncul dari terapi standar saat ini dapat dihindari.
Dalam acara peringatan Hari Hemofilia Sedunia 2022 Himpunan Masyarakat Hemofilia Indonesia (HMHI), anggota Perhimpunan Hematologi dan Transfusi Darah Indonesia (PHTDI) dr. Fitri Primacakti menjelaskan, bantuan JKN untuk pasien hemofilia masih ada kendala soal keterbatasannya.
Selain itu, implementasi terapi profilaksis dosis rendah maupun terapi home treatment kepada pasien hemofilia juga masih terbatas.
"Dengan adanya JKN ini, bisa meng-cover kebutuhan pasien hemofilia. Tetapi, untuk pasien dengan perdarahan berat, atau bahkan pasien-pasien yang memerlukan tindakan operasi, masih menjadi kendala karena klaim dan pilihan terapinya sangat terbatas," tutur dr. Fitri.
Dari sisi pembiayaan, Kepala Pusat Kebijakan Pembiayaan dan Desentralisasi Kesehatan (Pusjak PDK), dr. Yuli Farianti menjelaskan, pemerintah tengah meninjau tarif Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dan klasifikasi ulang penyakit-penyakit sesuai kondisinya.
Upaya tersebut kini sedang terus dioptimalkan oleh pemerintah agar para pasien mendapatkan obat-obatan yang lebih efektif.
"Pemerintah juga sedang meningkatkan peranan Penilaian Teknologi Kesehatan (PTK) dalam rangka menilai teknologi, alat kesehatan, maupun obat-obatan baru agar bisa masuk ke dalam manfaat tanggungan JKN," kata dr. Yuli.
Sekretaris Direktorat Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan, Dita Novianti Sugandi Argadiredja menyatakan, pemerintah mempertimbangkan aspek benefit, efektivitas, khasiat, dan aspek-aspek lainnya dalam upaya memperluas akses pengobatan.
Baca juga: 6 Penyebab Pembengkakan Jantung Seperti Diidap Dicky Topan, Nomor 3 Paling Sering Dialami
Rencana pemerintah tersebut perlu segera terealisasi agar sejalan dengan kebutuhan pasien akan adanya terapi profilaksis hemofilia yang terbukti efektif secara klinis maupun ekonomis.
(nug)