Menghayati Usabha Sambah di Desa Wisata Tenganan Pegringsingan, Karangasem
loading...
A
A
A
KARANGASEM - Bali tidak hanya memiliki garis pantai yang panjang dan permai lengkap dengan hamparan pasir putih, biota laut yang beraneka, gugusan bukit, bentangan sawah yang berundak-undak serta keindahan alam lainnya, tapi juga kekayaan adat dan seni budaya serta keramahan masyarakatnya.
Salah satu adat budaya di sana adalah penjor, sebuah penanda Naga Basuki yang bermakna kesejahteraan. Penjor terbuat dari sebatang bambu yang ujungnya melengkung, dihiasi dengan janur dan daun enau muda serta dedaunan lainnya. Setiap batang penjor juga dilengkapi pula dengan bunga dan bebuahan di bagian bawangnya. Semuanya merupakan simbol yang memiliki makna tertentu, yang dihubungkan dan sang pencipta dan manusia.
Penjor biasanya dipasang pada momen-momen tertentu, seperti perayaan keagamaan seperti Hari Raya Galungan, atau perayaan adat.
Menurut I Wayan Budi, perajin penjor yang ditemui INews, di Desa Panglipuran, Karangasem, Blai penjor yang dia buat membutuhkan waktu sekitar dua bulan. Maklum meronce janur dan dedauanan lainnya memerlukan ketelatenan. Penjor buatan Wayan seperti umumnya penjor di Bali panjangnya sekitar 13 meter.
Namun uniknya Desa Wisata Tenganan, Hari Raya Galungan tidak dirayakan dengan memasang penjor seperti di daerah lainnya di Bali. Desa Wisata Tenganan yang berjarak 55 kilometer dari pusat Kota Denpasar serta waktu tempuh sekitar 75 menit ini memiliki karakteristik yang kuat sebagai desa yang memegang teguh adat istiadat leluhur. Itulah yang akan kamu jumpai saat #MenyapaDesa ke #DesaWisata Tenganan, Pegringsingan, Karangsem, Bali.
Meski demikian Hari Raya Galungan di Desa Tenganan dirayakan sangat semarak dan hangat. Beberapa hari sebelum perayaan masyarakat Desa Tenganan bergotong royong memasak untuk persiapan perayaan. Aneka hidangan diracik pada hari itu oleh kaum laki-laki. Sementara kaum perempuanya sibuk menyiapkan bante uduan, yaitu aneka buah yang disusun menyerupai bentuk tertentu serta pastinya menyiapkan sesajen.
Seperti di Bali umumnya, sesajen memang elemen penting yang tidak bisa dilepaskan dalam kehidupan sehari-hari, apalagi pada momen penting seperti perayaan hari raya.
Sesajen dan bante uduan diletakkan di pura desa yang terletak di tengah desa. Perayaan Galungan di Desa Tenganan ditutup dengan acara Mekibung, atau duduk melingkar untuk makan bersama di bale panca, semacam bale adat. Mekibung bermakna kebersamaan, kesejahteraan dan kesetaraan. Di desa ini memang tidak mengenal sistem kasta.
Sebulan penuh menjelang Perayaan Hari Raya Galungan masyarakat Desa Tenganan dipimpin tetua adat menggelar upacara adat Usabha Sambah. Salah satu bagian dari upacara ini adalah apa yang mereka sebut sebagai makare-kare, sebuah tradisi penghormatan bagi Dewa Indra.
Makare-kare atau perang pandan. Perang pandan berupa perang-perangan dengan senjata pedang dan perisai yang terbuat dari daun pandan yang diikuti semua kalangan usia.
Salah satu adat budaya di sana adalah penjor, sebuah penanda Naga Basuki yang bermakna kesejahteraan. Penjor terbuat dari sebatang bambu yang ujungnya melengkung, dihiasi dengan janur dan daun enau muda serta dedaunan lainnya. Setiap batang penjor juga dilengkapi pula dengan bunga dan bebuahan di bagian bawangnya. Semuanya merupakan simbol yang memiliki makna tertentu, yang dihubungkan dan sang pencipta dan manusia.
Penjor biasanya dipasang pada momen-momen tertentu, seperti perayaan keagamaan seperti Hari Raya Galungan, atau perayaan adat.
Menurut I Wayan Budi, perajin penjor yang ditemui INews, di Desa Panglipuran, Karangasem, Blai penjor yang dia buat membutuhkan waktu sekitar dua bulan. Maklum meronce janur dan dedauanan lainnya memerlukan ketelatenan. Penjor buatan Wayan seperti umumnya penjor di Bali panjangnya sekitar 13 meter.
Namun uniknya Desa Wisata Tenganan, Hari Raya Galungan tidak dirayakan dengan memasang penjor seperti di daerah lainnya di Bali. Desa Wisata Tenganan yang berjarak 55 kilometer dari pusat Kota Denpasar serta waktu tempuh sekitar 75 menit ini memiliki karakteristik yang kuat sebagai desa yang memegang teguh adat istiadat leluhur. Itulah yang akan kamu jumpai saat #MenyapaDesa ke #DesaWisata Tenganan, Pegringsingan, Karangsem, Bali.
Meski demikian Hari Raya Galungan di Desa Tenganan dirayakan sangat semarak dan hangat. Beberapa hari sebelum perayaan masyarakat Desa Tenganan bergotong royong memasak untuk persiapan perayaan. Aneka hidangan diracik pada hari itu oleh kaum laki-laki. Sementara kaum perempuanya sibuk menyiapkan bante uduan, yaitu aneka buah yang disusun menyerupai bentuk tertentu serta pastinya menyiapkan sesajen.
Seperti di Bali umumnya, sesajen memang elemen penting yang tidak bisa dilepaskan dalam kehidupan sehari-hari, apalagi pada momen penting seperti perayaan hari raya.
Sesajen dan bante uduan diletakkan di pura desa yang terletak di tengah desa. Perayaan Galungan di Desa Tenganan ditutup dengan acara Mekibung, atau duduk melingkar untuk makan bersama di bale panca, semacam bale adat. Mekibung bermakna kebersamaan, kesejahteraan dan kesetaraan. Di desa ini memang tidak mengenal sistem kasta.
Sebulan penuh menjelang Perayaan Hari Raya Galungan masyarakat Desa Tenganan dipimpin tetua adat menggelar upacara adat Usabha Sambah. Salah satu bagian dari upacara ini adalah apa yang mereka sebut sebagai makare-kare, sebuah tradisi penghormatan bagi Dewa Indra.
Makare-kare atau perang pandan. Perang pandan berupa perang-perangan dengan senjata pedang dan perisai yang terbuat dari daun pandan yang diikuti semua kalangan usia.