Dua Pasang Hati

Rabu, 13 Mei 2015 - 09:23 WIB
Dua Pasang Hati
Dua Pasang Hati
A A A
Keenan menyunggingkan senyum simpul kepada Lara, seolah dia merasa puas ketika melihat Lara emosi karena ucapannya.

Lantas Dodo dan Silvia hampir saja hilang nyawa mendengar Lara berteriak-teriak pada dokter itu. Ada apa sih di antara keduanya? Pasti ini mantannya Mbak Lara, pikir Silvia, yang juga sependapat dengan Dodo. Pasalnya, keduanya sama sekali nggak akur, walaupun sebenarnya menurut Silvia, dokter itu sepertinya cocok dengan Lara.

”Dodo, Silvia. Ayo cepet, kita pergi dari sini. Saya lama-lama bisa kena darah tinggi kalo liat tampang dokter tadi!” perintah Lara kesal. Ia segera meninggalkan Keenan yang sudah naik lebih dulu. Dada Lara begitu sesak ketika sampai di mobil. Tubuhnya mengeluarkan aura panas sejak bertemu Keenan tadi, bahkan jantungnya tadi belum berhenti berdetak lebih cepat. Entah kenapa, Lara nggak bisa melupakan peristiwa yang seharusnya menggelikan baginya.

Gejolak hatinya nggak mampu menolak, saat-saat Keenan menariknya ke dalam tubuh atletis cowok itu. Matanya seakan menagih untuk kembali melihat jakun naik turun milik Keenan. Masih terbayang olehnya ketika Keenan mengalihkan matanya pada Lara, bisa dirasakan napas Lara seakan naik turun karenanya. Entah mengapa dia bisa seperti itu, ditambah lagi jemari besar laki-laki yang empat tahun lebih tua darinya itu, menggenggam tangannya.

Lara tidak pernah menyangka jika telapak tangan Keenan memberikan kehangatan, ketika mereka bersentuhan secara tak sengaja tadi. Tak hanya itu, Lara merasa aneh pada dirinya sendiri. Seolah apa yang telah dilakukan pria tadi itu, benar-benar membuatnya merasa aman, dibalik tubuh besarnya itu. Seolah ia ingin kembali membenamkan tubuh rapuhnya pada tubuh cowok itu.

Aduh... kenapa sih dengan pikiran Lara? Kok malah jadi mikir yang enggak-enggak soal Keenan. Sadar, Ra! Inget nggak tadi mulut menyebalkannya itu kembali mengumbarumbar kelemahan lo? Lara kembali menenangkan pikirannya, supaya nggak berpikir aneh-aneh soal Keenan. Tapi sepertinya... tadi Keenan bermaksud baik. Dia berbuat begitu kan, karena ingin menyelamatkan Lara saja.

Lagilagi hati kecil Lara meracuni otaknya untuk membenarkan kelakuan Keenan padanya. Ah! Bodo amat ah, lanjut Lara dalam hati. Pasti dia cuma mau gayagayaan aja depan orang, sok kayak di film-film, biar dibilang dokter kece yang romantis. Lara mendengus dalam hati, cih! Apa romantisnya kalo kayak gitu? Lara meremas tangannya sendiri yang terasa dingin, ketika membayangkan pandangan mata Keenan padanya.

Tatapan mata yang belum berubah sejak sembilan tahun lalu padanya. Begitu dingin, tajam dan menukik pelataran hatinya. Lirikan mata yang selalu membuatnya nggak tahan untuk mengeluarkan air mata, setiap kali ia melihatnya. Cowok itu terlalu angkuh dan arogan bagi Lara. Cara bicaranya yang sinis, sering kali menyakiti pelupuk hati Lara.

Cukup saja sembilan tahun lalu, ia berderai air mata karena dokter kandungan paling kurang ajar tersebut. Ia tidak ingin mengulanginya kembali. Namun lagi-lagi, batin Lara sempat meracau, dikala otaknya seakan memutar peristiwa hilangnya Lara di Villa Green Apple, di Puncak di masa kecilnya. Ketika itu, Lara kecil sedang bermain petak umpet di sebuah rumah-rumahan dengan beberapa anak kecil yang sepantaran dengannya.

Karena ingin memenangkan timnya, Lara bersembunyi di sebuah ruangan yang begitu gelap, persis seperti gudang. Awalnya ia begitu puas, karena pasti dia akan ditemukan paling terakhir. Namun nggak ia sangka, temantemannya tidak ada yang berhasil menemukannya. Sudah setengah jam Lara bersembunyi di dalam ruangan itu, tanpa tahu jika permainan mereka sudah berakhir.

Tinggallah Lara menangis sendirian di ruang gelap itu, maka ia berteriak-teriak meminta tolong agar segera dikeluarkan dari ruang gelap itu. Dadanya begitu sesak, kepalanya mendadak pusing, dan tubuhnya terasa lemas. Jantungnya tidak mampu berdetak secara normal, melemahkan semua sel-sel aliran darah dan tubuhnya.

Dia tidak lagi bisa berteriak-teriak seperti tadi, nafas di dadanya tak lagi normal, membuat mulutnya seolah terkunci rapat-rapat. Keringat dingin membasahi seluruh kepala dan tubuhnya. (bersambung)

Vania M. Bernadette
(ftr)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6166 seconds (0.1#10.140)