Dua Pasang Hati
A
A
A
Haruskah? Lara memejamkan matanya, meraih handphone -nya dan... ”Kenapa?” Suara sosok itu begitu dingin dan tanpa basa-basi. ”Lo... di-dimana?” ”Lagi siap-siap, mau pulang. Kenapa sih?” balas sosok itu dengan ketus.
”Gue... gue dirawat di kamar 408, ruang Goretti.” ”Terus?” Lara menghela nafas panjang, menyingkirkan egonya yang sebenarnya sangat enggan meminta bantuannya. ”Ke sini, temenin gue. Please ?” Cowok itu mematikan teleponnya, tanpa menjawab permohonan Lara. Beberapa menit kemudian, tibalah sosok yang dinanti Lara. Masih lengkap dengan jas kebesarannya, tubuhnya tinggi tegap, serta wajahnya dipasang dingin nan arogan.
”Kenapa lo nyuruh gue kesini? Udah gede aja, tidur sendiri nggak berani.” Dokter itu menyindirnya tajam. Lara nggak punya tenaga untuk menyanggah argumen dingin cowok itu. Ia menghela nafasnya, ”Gue takut... Nan. Tadi, itu... ada orang yang masuk ke sini.” Cowok yang disapa Keenan menautkan alisnya lalu berdeham ringan, ”siapa?” Lara mengangkat bahunya, tidak tahu.
Cowok itu menyunggingkan senyum sinisnya, ”Lo terlalu banyak nonton horor, kali. Rumah sakit ini aman, dipasang CCTV. Kalo ada orang luar masuk, pasti ketauan satpam,” terang Keenan sambil duduk di sampingnya. ”Dih, udah tau gue benci banget nonton horor. Sumpah, Nan. Gue tadi liat kayak ada dokter yang masuk,” ucap Lara berusaha meyakinkan penglihatannya.
”Dokter jaga palingan. Lagian semua dokter spesialis tinggal gue doang yang belum pulang. Masih ada pasien tadi,” ucap cowok itu menyandarkan dirinya ke kursi. Mata telanjang Lara menatap jakun cowok itu yang naik turun tak sengaja, mengakibatkan pikirannya refleks mengingat pada kejadian beberapa waktu lalu. ”Udah sana tidur, masih aja melek. Udah ada gue, juga.”
Keenan memerintahkan Lara yang masih membuka matanya lebar-lebar. Cowok itu menegakkan posisi duduknya, tangannya menyentuh dahi Lara. ”Udah normal,” ucap Keenan kemudian. Entah mengapa hari ini Lara sama sekali tidak membantahnya, meronta, atau bahkan membentak Keenan, ketika cowok itu menyentuh tubuhnya. Malah... ada desir aneh yang menyentuh pelupuk hati Lara.
”Iya, emang. Tapi masih aja gue nggak diijinin pulang. Nggak liat nih, tangan gue udah mulai bengkak gara-gara diinfus berapa hari,” ujar Lara sambil menunjukkan jemari kanannya di depan mata Keenan. Tapi cowok itu tak merespon dan hanya menatap matanya. ”Ntar juga normal balik. Namanya juga diinfus.
Ya, mungkin mereka masih mau meriksa kondisi psikis dan nyari tau kenapa lo bisa kayak waktu itu,” gumam Keenan. Lara mencerna baik-baik ucapan Keenan, kayak waktu itu? ”Kayak waktu itu gimana maksud lo? Emangnya lo tau, gue kenapa?” balas Lara penasaran. ”Kayak waktu lo kecil, maksud gue. Mana gue tau, kalo lo dirawat,” sahut Keenan datar. ”Oh, hahaha.
Masih inget aja lo dulu gue pernah kayak gini.” Cewek itu tersenyum pada Keenan, sementara yang disenyumin hanya diam dan nggak membalas senyumannya. ”Ya iyalah, lo sibuk gitu. Mana mungkin lo tau,” gumam Lara lagi, mengalihkan pandangannya ke arah lain. ”Udah tidur sana, lo nggak tau apa, jam segini pasien harusnya istirahat? Kita kalo ngobrol gini, bisa ganggu pasien lain.”
Cowok itu menatap mata Lara lurus-lurus. Deg! Jantung Lara terpacu cepat. Lara menurunkan sandaran kasurnya sehingga ia berada di posisi tidur. Posisi tidur Lara menghadap Keenan, saat itu. Cowok itu sedikit terkesiap dengan Lara yang dengan acuhnya tak sengaja menghadapkan tubuh cewek itu ke arahnya.
Keenan memilih bersikap acuh dan mengontrol pikirannya agar tidak terpengaruh, segera dokter itu menutup matanya juga. Ketika keduanya sudah mulai masuk ke alam tidurnya, tiba-tiba saja suara petir menggelegar menggema di seluruh ruang rumah sakit.
”Aaaaaa!” Lara berteriak ketakutan, dan sontak meremas tangan Keenan kuat-kuat, membangunkan cowok itu yang sedang tertidur juga. Cowok itu bernafas pasrah, membiarkan Lara mencengkeram tangannya kuatkuat. Ia sama sekali nggak berkomentar banyak, hanya diam melihat ketakutan Lara. (bersambung)
OLEH: VANIA M. BERNADETTE
”Gue... gue dirawat di kamar 408, ruang Goretti.” ”Terus?” Lara menghela nafas panjang, menyingkirkan egonya yang sebenarnya sangat enggan meminta bantuannya. ”Ke sini, temenin gue. Please ?” Cowok itu mematikan teleponnya, tanpa menjawab permohonan Lara. Beberapa menit kemudian, tibalah sosok yang dinanti Lara. Masih lengkap dengan jas kebesarannya, tubuhnya tinggi tegap, serta wajahnya dipasang dingin nan arogan.
”Kenapa lo nyuruh gue kesini? Udah gede aja, tidur sendiri nggak berani.” Dokter itu menyindirnya tajam. Lara nggak punya tenaga untuk menyanggah argumen dingin cowok itu. Ia menghela nafasnya, ”Gue takut... Nan. Tadi, itu... ada orang yang masuk ke sini.” Cowok yang disapa Keenan menautkan alisnya lalu berdeham ringan, ”siapa?” Lara mengangkat bahunya, tidak tahu.
Cowok itu menyunggingkan senyum sinisnya, ”Lo terlalu banyak nonton horor, kali. Rumah sakit ini aman, dipasang CCTV. Kalo ada orang luar masuk, pasti ketauan satpam,” terang Keenan sambil duduk di sampingnya. ”Dih, udah tau gue benci banget nonton horor. Sumpah, Nan. Gue tadi liat kayak ada dokter yang masuk,” ucap Lara berusaha meyakinkan penglihatannya.
”Dokter jaga palingan. Lagian semua dokter spesialis tinggal gue doang yang belum pulang. Masih ada pasien tadi,” ucap cowok itu menyandarkan dirinya ke kursi. Mata telanjang Lara menatap jakun cowok itu yang naik turun tak sengaja, mengakibatkan pikirannya refleks mengingat pada kejadian beberapa waktu lalu. ”Udah sana tidur, masih aja melek. Udah ada gue, juga.”
Keenan memerintahkan Lara yang masih membuka matanya lebar-lebar. Cowok itu menegakkan posisi duduknya, tangannya menyentuh dahi Lara. ”Udah normal,” ucap Keenan kemudian. Entah mengapa hari ini Lara sama sekali tidak membantahnya, meronta, atau bahkan membentak Keenan, ketika cowok itu menyentuh tubuhnya. Malah... ada desir aneh yang menyentuh pelupuk hati Lara.
”Iya, emang. Tapi masih aja gue nggak diijinin pulang. Nggak liat nih, tangan gue udah mulai bengkak gara-gara diinfus berapa hari,” ujar Lara sambil menunjukkan jemari kanannya di depan mata Keenan. Tapi cowok itu tak merespon dan hanya menatap matanya. ”Ntar juga normal balik. Namanya juga diinfus.
Ya, mungkin mereka masih mau meriksa kondisi psikis dan nyari tau kenapa lo bisa kayak waktu itu,” gumam Keenan. Lara mencerna baik-baik ucapan Keenan, kayak waktu itu? ”Kayak waktu itu gimana maksud lo? Emangnya lo tau, gue kenapa?” balas Lara penasaran. ”Kayak waktu lo kecil, maksud gue. Mana gue tau, kalo lo dirawat,” sahut Keenan datar. ”Oh, hahaha.
Masih inget aja lo dulu gue pernah kayak gini.” Cewek itu tersenyum pada Keenan, sementara yang disenyumin hanya diam dan nggak membalas senyumannya. ”Ya iyalah, lo sibuk gitu. Mana mungkin lo tau,” gumam Lara lagi, mengalihkan pandangannya ke arah lain. ”Udah tidur sana, lo nggak tau apa, jam segini pasien harusnya istirahat? Kita kalo ngobrol gini, bisa ganggu pasien lain.”
Cowok itu menatap mata Lara lurus-lurus. Deg! Jantung Lara terpacu cepat. Lara menurunkan sandaran kasurnya sehingga ia berada di posisi tidur. Posisi tidur Lara menghadap Keenan, saat itu. Cowok itu sedikit terkesiap dengan Lara yang dengan acuhnya tak sengaja menghadapkan tubuh cewek itu ke arahnya.
Keenan memilih bersikap acuh dan mengontrol pikirannya agar tidak terpengaruh, segera dokter itu menutup matanya juga. Ketika keduanya sudah mulai masuk ke alam tidurnya, tiba-tiba saja suara petir menggelegar menggema di seluruh ruang rumah sakit.
”Aaaaaa!” Lara berteriak ketakutan, dan sontak meremas tangan Keenan kuat-kuat, membangunkan cowok itu yang sedang tertidur juga. Cowok itu bernafas pasrah, membiarkan Lara mencengkeram tangannya kuatkuat. Ia sama sekali nggak berkomentar banyak, hanya diam melihat ketakutan Lara. (bersambung)
OLEH: VANIA M. BERNADETTE
(ars)