Curhatan Jugun Ianfu dalam Ronggeng Kulawu
A
A
A
Ada banyak kisah selama pergerakan Indonesia yang sampai saat ini masih agak tabu dibicarakan, salah satunya soal jugun ianfu (wanita pribumi yang dipaksa menjadi penghibur tentara Jepang selama Perang Dunia II) yang diangkat lewat pentas Ronggeng Kulawu .
Ronggeng Kulawu merupakan kisah seorang penari ronggeng bernama Maesaroh asal Dusun Kulawu yang selalu menyemarakkan desanya dengan tarian selama masa penjajahan Belanda. Maesaroh yang diperankan Maudy Koesnaedi punya impian dan harapan bahwa kelak dirinya akan menikah dengan pujaan hatinya Kang Uja selepas Indonesia merdeka.
Ketika Jepang datang meng gantikan Belanda sebagai penjajah Indonesia, impian dan harapan Maesaroh pun kandas. Kehormatan dirinya hilang ketika penari ronggeng ini diculik dan dipaksa menjadi jugun ianfu , lalu menjadi “nyai” kesayangan seorang kapten Jepang bernama Kazuo Ito (Andi Kanemoto).
Penderitaan, nestapa, siksaan, dan kesengsaraan Maesaroh selama menjadi jugun ianfu makin memuncak tatkala sebuah tragedi besar menimpanya. Tragedi ini kemudian mengantarkan sang pe nari ronggeng ikut andil mem bantu pergerakan Indonesia menuju kemerdekaan dan dirinya tak sudi lagi jatuh ke pelukan penjajah yang durjana.
“Saya pikir ini menarik sekali karena banyak yang belum mengupas tentang jugun ianfu walaupun kita juga masih menyentuh per mu ka an nya saja. Ba gaimanapun me reka memiliki andil dalam pergerakan kemerdekaan Indonesia,” ujar sutradara Ronggeng Kuwalu Wawan Sofwan.
Dia juga menceritakan bahwa pada awalnya dirinya diminta Maudy dan pihak Galeri Indonesia Kaya untuk membuat pementasan yang menarik terkait perayaan Hari Kemerdekaan. Tema pahla wan, menurut Wawan, sudah banyak yang mengupas.
Kebetulan Maudy saat ini tertarik dengan budaya Sunda, ter uta ma tari ronggeng, sehingga bagaimana kalau meng angkat kisah fiksi penari ronggeng ter kenal yang kemudian dijadikan “nyai” oleh tentara Jepang dan turut mem bantu pergerakan melawan penjajahan Jepang di Indonesia.
“Bentuk andilnya seperti apa mungkin seperti yang terlihat dalam pementasan seperti menyumbang materi atau memberi dukungan,” kata Wawan. Pentas Ronggeng Kulawu boleh dibilang merupakan pentas yang cukup apik dalam menggambarkan curhatan tentang kekejian yang dirasakan oleh seorang jugun ianfu selama penjajah Jepang kendati hanya lewat kata-kata.
Maudy Koesnaedi berhasil menampilkan secara getir, lewat sebuah monolog dan dialog, bagaimana siksaan dan kekejaman hawa nafsu penjajah bertubi-tubi menimpa Maesaroh hingga berhasil membuat penonton merinding.
“Sebenarnya pentas ini mau mengangkat tentang curhatannya para jugun ianfu,” ujar Maudy Koesnaedi kepada wartawan. Aktris cantik kelahiran Jakarta itu lebih lanjut menjelaskan bahwa banyak orang salah kaprah melihat para jugun ianfu sebagai wanita yang hidup senang serta tenang di bawah lindungan tentara Jepang selama masa penjajahan.
Padahal, menurut Maudy, wanita-wanita ini mengalami pergulatan batin, pengorbanan fisik dan mental serta penderitaan luar biasa selama menjadi “nyai” tentaratentara Dai Nippon. “Ada banyak sekali Maesaroh di Indonesia pada saat itu dan setelah kemerdekaan tidak ada yang me medulikan mereka.
Sebe gitu berat penderitaan para wa nita ini secara fisik maupun batin dari kedua belah pihak, baik dari Jepang maupun negara kita sendiri, dan keluarganya. Sungguh berat,” kata Maudy seusai menjalani pentas Rongge ng Kulawu .
Pentas Ronggeng Kulawu digelar oleh Galeri Indonesia Kaya bersama Maudy Koesnaedi dan Andi Kanemoto dalam rangka memperingati Hari Kemerdekaan Indonesia ke-73. Naskah pentas ini ditulis Endah Dinda Jenura serta diproduseri Maudy Koesnaedi sendiri dan iring an musiknya oleh Uge Gunara.
“Bersama Maudy Koesnaedi dan Andi Kanemoto, kami mengajak para penikmat seni menyaksikan perjuangan seorang perempuan dalam meraih kemerdekaan. Di sutradarai oleh sutradara teater kawakan, Wawan Sofwan, dan iringan musik oleh Uge Gunara, lakon Ronggeng Kulawu ini diharapkan dapat menjadi pengingat akan perjuangan yang telah dihadapi para pendahulu kita,” ujar Renitasari Adrian, Program Director Bakti Budaya Djarum Foundation.
Ronggeng Kulawu merupakan kisah seorang penari ronggeng bernama Maesaroh asal Dusun Kulawu yang selalu menyemarakkan desanya dengan tarian selama masa penjajahan Belanda. Maesaroh yang diperankan Maudy Koesnaedi punya impian dan harapan bahwa kelak dirinya akan menikah dengan pujaan hatinya Kang Uja selepas Indonesia merdeka.
Ketika Jepang datang meng gantikan Belanda sebagai penjajah Indonesia, impian dan harapan Maesaroh pun kandas. Kehormatan dirinya hilang ketika penari ronggeng ini diculik dan dipaksa menjadi jugun ianfu , lalu menjadi “nyai” kesayangan seorang kapten Jepang bernama Kazuo Ito (Andi Kanemoto).
Penderitaan, nestapa, siksaan, dan kesengsaraan Maesaroh selama menjadi jugun ianfu makin memuncak tatkala sebuah tragedi besar menimpanya. Tragedi ini kemudian mengantarkan sang pe nari ronggeng ikut andil mem bantu pergerakan Indonesia menuju kemerdekaan dan dirinya tak sudi lagi jatuh ke pelukan penjajah yang durjana.
“Saya pikir ini menarik sekali karena banyak yang belum mengupas tentang jugun ianfu walaupun kita juga masih menyentuh per mu ka an nya saja. Ba gaimanapun me reka memiliki andil dalam pergerakan kemerdekaan Indonesia,” ujar sutradara Ronggeng Kuwalu Wawan Sofwan.
Dia juga menceritakan bahwa pada awalnya dirinya diminta Maudy dan pihak Galeri Indonesia Kaya untuk membuat pementasan yang menarik terkait perayaan Hari Kemerdekaan. Tema pahla wan, menurut Wawan, sudah banyak yang mengupas.
Kebetulan Maudy saat ini tertarik dengan budaya Sunda, ter uta ma tari ronggeng, sehingga bagaimana kalau meng angkat kisah fiksi penari ronggeng ter kenal yang kemudian dijadikan “nyai” oleh tentara Jepang dan turut mem bantu pergerakan melawan penjajahan Jepang di Indonesia.
“Bentuk andilnya seperti apa mungkin seperti yang terlihat dalam pementasan seperti menyumbang materi atau memberi dukungan,” kata Wawan. Pentas Ronggeng Kulawu boleh dibilang merupakan pentas yang cukup apik dalam menggambarkan curhatan tentang kekejian yang dirasakan oleh seorang jugun ianfu selama penjajah Jepang kendati hanya lewat kata-kata.
Maudy Koesnaedi berhasil menampilkan secara getir, lewat sebuah monolog dan dialog, bagaimana siksaan dan kekejaman hawa nafsu penjajah bertubi-tubi menimpa Maesaroh hingga berhasil membuat penonton merinding.
“Sebenarnya pentas ini mau mengangkat tentang curhatannya para jugun ianfu,” ujar Maudy Koesnaedi kepada wartawan. Aktris cantik kelahiran Jakarta itu lebih lanjut menjelaskan bahwa banyak orang salah kaprah melihat para jugun ianfu sebagai wanita yang hidup senang serta tenang di bawah lindungan tentara Jepang selama masa penjajahan.
Padahal, menurut Maudy, wanita-wanita ini mengalami pergulatan batin, pengorbanan fisik dan mental serta penderitaan luar biasa selama menjadi “nyai” tentaratentara Dai Nippon. “Ada banyak sekali Maesaroh di Indonesia pada saat itu dan setelah kemerdekaan tidak ada yang me medulikan mereka.
Sebe gitu berat penderitaan para wa nita ini secara fisik maupun batin dari kedua belah pihak, baik dari Jepang maupun negara kita sendiri, dan keluarganya. Sungguh berat,” kata Maudy seusai menjalani pentas Rongge ng Kulawu .
Pentas Ronggeng Kulawu digelar oleh Galeri Indonesia Kaya bersama Maudy Koesnaedi dan Andi Kanemoto dalam rangka memperingati Hari Kemerdekaan Indonesia ke-73. Naskah pentas ini ditulis Endah Dinda Jenura serta diproduseri Maudy Koesnaedi sendiri dan iring an musiknya oleh Uge Gunara.
“Bersama Maudy Koesnaedi dan Andi Kanemoto, kami mengajak para penikmat seni menyaksikan perjuangan seorang perempuan dalam meraih kemerdekaan. Di sutradarai oleh sutradara teater kawakan, Wawan Sofwan, dan iringan musik oleh Uge Gunara, lakon Ronggeng Kulawu ini diharapkan dapat menjadi pengingat akan perjuangan yang telah dihadapi para pendahulu kita,” ujar Renitasari Adrian, Program Director Bakti Budaya Djarum Foundation.
(don)