Tom Ford Desainer Perfeksionis dan Inovatif
A
A
A
AMERIKA - Tom Ford adalah desainer Amerika Serikat dengan ciri khas desain klasik dan flamboyan.
Desainer yang perfeksionis ini tidak hanya menghadirkan koleksi busana, juga produk kecantikan, kacamata, aksesori, dan fotografi fashion yang inovatif. Laki-laki bernama lengkap Thomas Carlyle Ford ini lahir pada 27 Agustus 1961 di Austin, Texas, Amerika Serikat.
Dia adalah putra dari Shirley Burton dan Thomas David Ford. Sang ibu, yang mencintai busana klasik, mengajarinya cara berpakaian yang baik sehingga orang akan memberi hormat. Sementara itu, sang nenek dari pihak ayah sangat stylish dengan cara yang “sangat Texas”.
Neneknya memiliki barang-barang besar dan mencolok, dari perhiasan sampai mobil. “Gambar-gambar kecantikan yang saya dapatkan pada masa kanak-kanak bersama saya seumur hidup,” ujar Ford, seperti dilansir dari Vogue.com.
Karena pengaruh ibu dan neneknya, Ford tumbuh sebagai anak yang peka terhadap keindahan visual. Dia tumbuh menjadi sosok yang perfeksionis dalam hal penampilan. Bagi Ford, berpenampilan yang rapi tak hanya memuaskan diri sendiri, juga perwujudan etika yang baik dan sopan santun.
“Saya percaya jika Anda bertemu seseorang untuk makan malam, dan Anda memilih pakaian yang rapi, itu merupakan refleksi rasa hormat Anda kepada sang tuan rumah,” kata Ford.
Minatnya pada hal-hal visual dan seni mendorongnya untuk mengikuti kursus sejarah seni di New York University (NYU) pada 1979. Namun, minatnya yang lain pada dunia seni peran membuatnya hanya bertahan satu tahun di NYU.
Dia justru pergi ke Los Angeles, untuk mengikuti kursus menjadi aktor. Jadwal kursusnya mulai menjadi kacau ketika ia juga mencoba peruntungan sebagai model. Ford akhirnya memutuskan fokus untuk belajar di bidang seni, kemudian menempuh pendidikan di Parsons School of Design di New York.
Di sana dia belajar arsitektur interior, namun justru menyelesaikan sekolah nya di Paris. “Di Paris, saya menyadari fashion lebih menarik perhatian. Saya pun tertarik untuk menggeluti bidang ini,” ujar Ford.
Kembali ke New York pada 1986, ia memutuskan bekerja di bidang fashion . Dia pun bekerja kepada desainer Amerika Serikat ter kenal Cathy Hardwick dan Perry Ellis. Selama dua tahun Ford bekerja sebagai asisten desain.
Ford lantas berpikir, jika dia ingin menjadi perancang busana sukses, dia harus meninggalkan Amerika dan tinggal di Eropa. “Jika saya akan menjadi desainer yang baik, saya harus tinggalkan Amerika. Budaya saya sendiri menghambat saya.
Terlalu banyak gaya di Amerika yang kurang bagus. Orang Eropa, bagaimanapun, menghargai fashion ,” ujar Ford. Pada 1990 Ford pun memutuskan untuk tinggal di Milan.
Pada saat itu rumah mode Italia, Gucci, sedang berjuang secara finansial dan berusaha memperkuat koleksi pakaian siap pakai. Direktur kreatif Gucci saat itu, Dawn Mello, pun akhirnya mempekerjakan Ford sebagai perancang busana siap pakai.
Ketika Richard Lambertson pergi meninggalkan jabatan direktur desain pada tahun 1992, Ford mengambil alih posisi ini. Ciri khas rancangannya yang bergaya klasik dengan sentuhan flamboyan berhasil diterima baik di pasaran.
Secara agresif, Ford pun memperluas lini produk Gucci dengan menghadirkan produk wewangian, fotografi, iklan, dan desain toko. “Pada tahun 1993 ketika saya bertugas mendesain sebelas lini produk, saya bekerja selama delapan belas jam sehari,” ujar Ford.
Di bawah tangan dingin dan sikap perfeksionis Ford, Gucci berhasil lolos dari masalah finansial dan menjadi label mewah internasional yang populer. Pada tahun 1999 label yang pernah sekarat ini memiliki nilai hampir USD4,3 miliar (Rp64,5 triliun).
Ketika Yves Saint Laurent (YSL) diakuisisi oleh Gucci, Ford juga menjadi direktur kreatif label itu. Meski menjadi direktur kreatif dua label sekaligus, Ford berhasil menjalankan tugasnya dengan sangat baik.
Di bawah Ford, Gucci dan YSL dianggap melahirkan karya-karya rancangan aspirasional. Adanya masalah internal dengan para petinggi Gucci membuat Ford memutuskan meninggalkan grup Gucci pada 2004. Pada saat itu Gucci menjadi label fashion senilai USD10 miliar (Rp150 triliun).
Setelah vakum dari dunia fashion selama dua tahun, Ford pun memutuskan untuk mendirikan label dengan namanya sendiri, yakni Tom Ford. Label ini tak hanya menghadirkan koleksi pakaian reday to wear, juga produk kecantikan, kacamata, aksesori, dan pakaian laki-laki.
Ford pun berprinsip, fashion bukanlah tentang kebutuhan, melainkan keinginan. “Ingat bahwa pelanggan kami tidak membutuhkan pakaian kami. Mereka tidak membutuhkan sepasang sepatu atau jaket baru. Kita harus menciptakan kebutuhan itu dengan menciptakan keinginan melalui banyak produk, “ kata Ford. (Dwi Nur Ratnaningsih)
Desainer yang perfeksionis ini tidak hanya menghadirkan koleksi busana, juga produk kecantikan, kacamata, aksesori, dan fotografi fashion yang inovatif. Laki-laki bernama lengkap Thomas Carlyle Ford ini lahir pada 27 Agustus 1961 di Austin, Texas, Amerika Serikat.
Dia adalah putra dari Shirley Burton dan Thomas David Ford. Sang ibu, yang mencintai busana klasik, mengajarinya cara berpakaian yang baik sehingga orang akan memberi hormat. Sementara itu, sang nenek dari pihak ayah sangat stylish dengan cara yang “sangat Texas”.
Neneknya memiliki barang-barang besar dan mencolok, dari perhiasan sampai mobil. “Gambar-gambar kecantikan yang saya dapatkan pada masa kanak-kanak bersama saya seumur hidup,” ujar Ford, seperti dilansir dari Vogue.com.
Karena pengaruh ibu dan neneknya, Ford tumbuh sebagai anak yang peka terhadap keindahan visual. Dia tumbuh menjadi sosok yang perfeksionis dalam hal penampilan. Bagi Ford, berpenampilan yang rapi tak hanya memuaskan diri sendiri, juga perwujudan etika yang baik dan sopan santun.
“Saya percaya jika Anda bertemu seseorang untuk makan malam, dan Anda memilih pakaian yang rapi, itu merupakan refleksi rasa hormat Anda kepada sang tuan rumah,” kata Ford.
Minatnya pada hal-hal visual dan seni mendorongnya untuk mengikuti kursus sejarah seni di New York University (NYU) pada 1979. Namun, minatnya yang lain pada dunia seni peran membuatnya hanya bertahan satu tahun di NYU.
Dia justru pergi ke Los Angeles, untuk mengikuti kursus menjadi aktor. Jadwal kursusnya mulai menjadi kacau ketika ia juga mencoba peruntungan sebagai model. Ford akhirnya memutuskan fokus untuk belajar di bidang seni, kemudian menempuh pendidikan di Parsons School of Design di New York.
Di sana dia belajar arsitektur interior, namun justru menyelesaikan sekolah nya di Paris. “Di Paris, saya menyadari fashion lebih menarik perhatian. Saya pun tertarik untuk menggeluti bidang ini,” ujar Ford.
Kembali ke New York pada 1986, ia memutuskan bekerja di bidang fashion . Dia pun bekerja kepada desainer Amerika Serikat ter kenal Cathy Hardwick dan Perry Ellis. Selama dua tahun Ford bekerja sebagai asisten desain.
Ford lantas berpikir, jika dia ingin menjadi perancang busana sukses, dia harus meninggalkan Amerika dan tinggal di Eropa. “Jika saya akan menjadi desainer yang baik, saya harus tinggalkan Amerika. Budaya saya sendiri menghambat saya.
Terlalu banyak gaya di Amerika yang kurang bagus. Orang Eropa, bagaimanapun, menghargai fashion ,” ujar Ford. Pada 1990 Ford pun memutuskan untuk tinggal di Milan.
Pada saat itu rumah mode Italia, Gucci, sedang berjuang secara finansial dan berusaha memperkuat koleksi pakaian siap pakai. Direktur kreatif Gucci saat itu, Dawn Mello, pun akhirnya mempekerjakan Ford sebagai perancang busana siap pakai.
Ketika Richard Lambertson pergi meninggalkan jabatan direktur desain pada tahun 1992, Ford mengambil alih posisi ini. Ciri khas rancangannya yang bergaya klasik dengan sentuhan flamboyan berhasil diterima baik di pasaran.
Secara agresif, Ford pun memperluas lini produk Gucci dengan menghadirkan produk wewangian, fotografi, iklan, dan desain toko. “Pada tahun 1993 ketika saya bertugas mendesain sebelas lini produk, saya bekerja selama delapan belas jam sehari,” ujar Ford.
Di bawah tangan dingin dan sikap perfeksionis Ford, Gucci berhasil lolos dari masalah finansial dan menjadi label mewah internasional yang populer. Pada tahun 1999 label yang pernah sekarat ini memiliki nilai hampir USD4,3 miliar (Rp64,5 triliun).
Ketika Yves Saint Laurent (YSL) diakuisisi oleh Gucci, Ford juga menjadi direktur kreatif label itu. Meski menjadi direktur kreatif dua label sekaligus, Ford berhasil menjalankan tugasnya dengan sangat baik.
Di bawah Ford, Gucci dan YSL dianggap melahirkan karya-karya rancangan aspirasional. Adanya masalah internal dengan para petinggi Gucci membuat Ford memutuskan meninggalkan grup Gucci pada 2004. Pada saat itu Gucci menjadi label fashion senilai USD10 miliar (Rp150 triliun).
Setelah vakum dari dunia fashion selama dua tahun, Ford pun memutuskan untuk mendirikan label dengan namanya sendiri, yakni Tom Ford. Label ini tak hanya menghadirkan koleksi pakaian reday to wear, juga produk kecantikan, kacamata, aksesori, dan pakaian laki-laki.
Ford pun berprinsip, fashion bukanlah tentang kebutuhan, melainkan keinginan. “Ingat bahwa pelanggan kami tidak membutuhkan pakaian kami. Mereka tidak membutuhkan sepasang sepatu atau jaket baru. Kita harus menciptakan kebutuhan itu dengan menciptakan keinginan melalui banyak produk, “ kata Ford. (Dwi Nur Ratnaningsih)
(nfl)