Kaum Milenial Rentan Terkena Hipertensi
A
A
A
JAKARTA - Data Riskesdas 2018 menyebutkan, 34,1 % masyarakat Indonesia dewasa umur 18 tahun ke atas terkena hipertensi. Kaum milenial adalah kelompok yang rentan terkena.
Seperti dikatakan dr Paskariatne Probo Dewi Yamin SpJP, salah satu faktor risiko hipertensi adalah gaya hidup tidak tepat yang banyak dilakukan sebagian kaum milenial. Studi epidemiologi di AS menemukan, 7,3% kaum milenial (dewasa muda usia 18-39 tahun) terkena hipertensi dan 23,4% termasuk kategori prehipertensi.
Gaya hidup yang dimaksud lebih mengarah pada aktivitas fisik yang berkurang karena semakin berkembangnya fasilitas seperti lift yang membuat masyarakat semakin jarang menggunakan tangga. “Kebiasaan merokok, makanan instan dan cepat saji jika sering dikonsumsi akan meningkatkan risiko hipertensi,” ujarnya dalam acara 13 th Scientific Meeting of Indonesian Society of Hypertension (InaSH) 2019.
Faktor psikososial seperti stres akibat pekerjaan juga dapat meningkatkan risiko terjadinya hipertensi. Hipertensi atau darah tinggi disebut penyakit silent killer atau penyakit yang tidak menimbulkan tanda-tanda khusus. Rata-rata kaum milenial diketahui terkena hipertensi saat melakukan medical check-up , itu pun jika ada program dari kantornya.
Padahal, sebenarnya hal ini tidak dapat disepelekan. Apabila kaum milenial tidak sadar dengan faktor risiko yang ada, dapat menimbulkan penyakit berat seperti stroke, ginjal, dan jantung. Maka itu, penting untuk meningkatkan awareness masyarakat dengan melakukan deteksi dini atau mengukur tekanan darah sendiri di rumah.
Terlebih, sekarang sudah ada alat pengukur tekanan darah digital yang lebih memudahkan masyarakat dalam mengukur. Generasi milenial, yaitu mereka yang berusia sekitar 15 tahun ke atas dan menempati 68,7% dari populasi (SUPAS 2015) dari keseluruhan jumlah penduduk Indonesia, diharapkan dapat melakukan deteksi dini terhadap penyakit hipertensi.
Mereka dianjurkan melakukan modifikasi salah satu faktor penyebab hipertensi, yaitu melakukan pola hidup sehat sehingga mengurangi risiko terkena hipertensi. Secara menyeluruh, tren prevalensi penyakit hipertensi sampai saat ini masih terus meningkat.
Data Riskesdas 2018 menunjukkan bahwa 34,1% masyarakat Indonesia dewasa umur 18 tahun ke atas terkena hipertensi. Angka ini meningkat 7,6% dibanding hasil Riskesdas 2013, yaitu 26,5%. Sementara itu, pada kesempatan yang sama, Prof Dr dr Suhardjono SpPD-KGH KGer mengatakan, berdasarkan data WHO 2018, prevalensi hipertensi di dunia sebesar 40% dan rata-rata dimulai pada usia 25 tahun.
Faktor risiko hipertensi dapat dilihat dari dua sisi, yaitu disebabkan faktor penyerta lain, seperti kerusakan organ (jantung, ginjal atau penyakit kardiovaskular lainnya) dan faktor lingkungan atau gaya hidup tidak sehat, seperti konsumsi makanan serbainstan dan konsumsi garam berlebih.
“Faktor lainnya yaitu faktor usia. Semakin tinggi umur seseorang, semakin tinggi tekanan darahnya, biasanya lebih banyak terjadi pada laki-laki di atas usia 50 tahun, sedangkan bagi perempuan di usia 65 tahun saat post-menopause,” beber dr Suhardjono.
Dia menambahkan, pada intinya hipertensi harus diobati, semakin cepat lebih baik. Jika tidak segera diobati, dapat menimbulkan kerusakan target organ, infark jantung, stroke, gagal ginjal, vaskular yang berakibat buruk sehingga dapat menimbulkan kematian dan kecacatan. Pengobatan hipertensi juga ditujukan untuk menurunkan angka morbiditas dan mortalitas dengan mengendalikan maksimal semua faktor risiko yang ada.
“Kami mengimbau masyarakat mau melakukan pencegahan dengan menerapkan modifikasi gaya hidup, makan sehat, olahraga teratur, patuh terhadap pengobatan hipertensi yang saat ini mudah didapatkan, serta melakukan deteksi dini tekanan darah, baik di rumah maupun di fasilitas kesehatan yang ada,” ungkapnya. (Sri Noviarni)
Seperti dikatakan dr Paskariatne Probo Dewi Yamin SpJP, salah satu faktor risiko hipertensi adalah gaya hidup tidak tepat yang banyak dilakukan sebagian kaum milenial. Studi epidemiologi di AS menemukan, 7,3% kaum milenial (dewasa muda usia 18-39 tahun) terkena hipertensi dan 23,4% termasuk kategori prehipertensi.
Gaya hidup yang dimaksud lebih mengarah pada aktivitas fisik yang berkurang karena semakin berkembangnya fasilitas seperti lift yang membuat masyarakat semakin jarang menggunakan tangga. “Kebiasaan merokok, makanan instan dan cepat saji jika sering dikonsumsi akan meningkatkan risiko hipertensi,” ujarnya dalam acara 13 th Scientific Meeting of Indonesian Society of Hypertension (InaSH) 2019.
Faktor psikososial seperti stres akibat pekerjaan juga dapat meningkatkan risiko terjadinya hipertensi. Hipertensi atau darah tinggi disebut penyakit silent killer atau penyakit yang tidak menimbulkan tanda-tanda khusus. Rata-rata kaum milenial diketahui terkena hipertensi saat melakukan medical check-up , itu pun jika ada program dari kantornya.
Padahal, sebenarnya hal ini tidak dapat disepelekan. Apabila kaum milenial tidak sadar dengan faktor risiko yang ada, dapat menimbulkan penyakit berat seperti stroke, ginjal, dan jantung. Maka itu, penting untuk meningkatkan awareness masyarakat dengan melakukan deteksi dini atau mengukur tekanan darah sendiri di rumah.
Terlebih, sekarang sudah ada alat pengukur tekanan darah digital yang lebih memudahkan masyarakat dalam mengukur. Generasi milenial, yaitu mereka yang berusia sekitar 15 tahun ke atas dan menempati 68,7% dari populasi (SUPAS 2015) dari keseluruhan jumlah penduduk Indonesia, diharapkan dapat melakukan deteksi dini terhadap penyakit hipertensi.
Mereka dianjurkan melakukan modifikasi salah satu faktor penyebab hipertensi, yaitu melakukan pola hidup sehat sehingga mengurangi risiko terkena hipertensi. Secara menyeluruh, tren prevalensi penyakit hipertensi sampai saat ini masih terus meningkat.
Data Riskesdas 2018 menunjukkan bahwa 34,1% masyarakat Indonesia dewasa umur 18 tahun ke atas terkena hipertensi. Angka ini meningkat 7,6% dibanding hasil Riskesdas 2013, yaitu 26,5%. Sementara itu, pada kesempatan yang sama, Prof Dr dr Suhardjono SpPD-KGH KGer mengatakan, berdasarkan data WHO 2018, prevalensi hipertensi di dunia sebesar 40% dan rata-rata dimulai pada usia 25 tahun.
Faktor risiko hipertensi dapat dilihat dari dua sisi, yaitu disebabkan faktor penyerta lain, seperti kerusakan organ (jantung, ginjal atau penyakit kardiovaskular lainnya) dan faktor lingkungan atau gaya hidup tidak sehat, seperti konsumsi makanan serbainstan dan konsumsi garam berlebih.
“Faktor lainnya yaitu faktor usia. Semakin tinggi umur seseorang, semakin tinggi tekanan darahnya, biasanya lebih banyak terjadi pada laki-laki di atas usia 50 tahun, sedangkan bagi perempuan di usia 65 tahun saat post-menopause,” beber dr Suhardjono.
Dia menambahkan, pada intinya hipertensi harus diobati, semakin cepat lebih baik. Jika tidak segera diobati, dapat menimbulkan kerusakan target organ, infark jantung, stroke, gagal ginjal, vaskular yang berakibat buruk sehingga dapat menimbulkan kematian dan kecacatan. Pengobatan hipertensi juga ditujukan untuk menurunkan angka morbiditas dan mortalitas dengan mengendalikan maksimal semua faktor risiko yang ada.
“Kami mengimbau masyarakat mau melakukan pencegahan dengan menerapkan modifikasi gaya hidup, makan sehat, olahraga teratur, patuh terhadap pengobatan hipertensi yang saat ini mudah didapatkan, serta melakukan deteksi dini tekanan darah, baik di rumah maupun di fasilitas kesehatan yang ada,” ungkapnya. (Sri Noviarni)
(nfl)