Sutradara Bali: Beats of Paradise Berbagi Pengalaman dengan Direksi BUMN
A
A
A
JAKARTA - Sukses dengan film yang disutradarainya, Livi Zheng tidak hanya memperoleh beberapa penghargaan, namun juga mendapatkan kesempatan untuk menjadi pemateri di hadapan lebih dari 100 orang direksi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dalam acara BUMN HCM "Great Leaders Camp" di Bogor, Jawa Barat.
Sutradara yang berkarya dan tinggal di Los Angeles, Amerika Serikat itu mengangkat materi dengan tema "The Self-Disruptive Leader". Sebelum berbicara, Livi Zheng terlebih dahulu memutarkan cuplikan film besutannya "Brush with Danger" dan "Bali: Beats of Paradise", yang direspons cukup hangat dari para peserta.
Mengenai topik presentasinya, Livi Zheng menyatakan, disruptif dikenal sebagai perubahan dari masa datang ke masa kini, yang bisa berujung kekacauan akibat ketidaksiapan sumber daya manusia dan antisipasi perubahannya. Menurutnya, di tengah era disruptif sekarang ini, seorang pemimpin, tak selalu lahir lewat pembelajaran di sekolah maupun kekuasan, tapi dari lingkungan tak terduga, seperti dalam pembuatan film.
Gadis kelahiran Malang, 3 April 1989 itu juga menyatakan, seorang pemimpin harus mempunyai kemampuan menangkap dan mengolah ide-ide dari anak buah dan lingkungan sekitarnya, negara bahkan budayanya untuk karya-karya dan kemajuan organisasinya.
Dengan karakter pemimpin tersebut, seorang pemimpin juga harus bisa menularkan jiwa kepemimpinannya dan melahirkan pemimpin-pemimpin baru dalam lingkungan berbeda. "Dengan demikian, kemajuan organisasi kita akan semakin kuat dan luas cakupannya," lanjut Livi Zheng melalui keterangan tertulisnya kepada SINDO, Rabu (27/3).
Dalam kesempatan tersebut, peraih predikat master di Sekolah Seni Sinematik di Universitas California Selatan ini pun menceritakan 15 tahun kehidupannya mulai dari Beijing, China hingga di Hollywood, AS. Livi Zheng juga memimpin sejumlah kru yang semuanya orang Amerika. "Mereka saya ajarkan makan makanan Indonesia, mengenakan batik Indonesia, dan berbahasa Indonesia," terangnya.
Menurut Livi Zheng, berkarier di AS, persaingan yang dihadapinya bukan hanya film-film lokal Amerika, tapi juga film-film dari seluruh dunia. Namun, dengan kepemimpinan yang diterapkannya, di antaranya dengan tetap mempertahankan identitas dan akar budaya bangsa, Livi Zheng tak khawatir.
"Lahir sebagai orang Indonesia yang dibesarkan di negara yang sangat kaya ini adalah sebuah kelebihan dan dapat memberikan inspirasi tersendiri. Hampir di semua film saya, saya selalu memasukkan unsur-unsur Indonesia. Misalnya dalam film 'Brush with Danger', saya ikut memasukkan 50 lukisan dari Indonesia. Dalam film 'Insight' memasukkan pencak silat dalam koreografinya. Bahkan, untuk studio film saya, saya menggotong satu kontainer furniture Indonesia ke sana," papar Livi Zheng.
Di film terbarunya "Bali: Beats of Paradise", Livi Zheng mengangkat kisah inspiratif pemain dan komposer gamelan Nyoman Wenten, yang mengejar mimpinya sebagai seniman Bali di Amerika lewat gamelan Bali.
"Segala halangan dihadapinya, hingga pengorbanannya meninggalkan keluarga beberapa tahun untuk menyebarkan gamelan di negeri orang. Kini, berkat Nyoman Wenten, gamelan sudah diajarkan di kampus-kampus bergengsi di Amerika," ujar Livi.
Saat ini, gamelan menjadi mata kuliah khusus di banyak universitas yang ada di AS, di antaranya Harvard University, Massachusetts Institute of Technology (MIT), University of California-Los Angeles (UCLA) dan University of California-Berkeley (UC-Berkeley).
Sutradara yang berkarya dan tinggal di Los Angeles, Amerika Serikat itu mengangkat materi dengan tema "The Self-Disruptive Leader". Sebelum berbicara, Livi Zheng terlebih dahulu memutarkan cuplikan film besutannya "Brush with Danger" dan "Bali: Beats of Paradise", yang direspons cukup hangat dari para peserta.
Mengenai topik presentasinya, Livi Zheng menyatakan, disruptif dikenal sebagai perubahan dari masa datang ke masa kini, yang bisa berujung kekacauan akibat ketidaksiapan sumber daya manusia dan antisipasi perubahannya. Menurutnya, di tengah era disruptif sekarang ini, seorang pemimpin, tak selalu lahir lewat pembelajaran di sekolah maupun kekuasan, tapi dari lingkungan tak terduga, seperti dalam pembuatan film.
Gadis kelahiran Malang, 3 April 1989 itu juga menyatakan, seorang pemimpin harus mempunyai kemampuan menangkap dan mengolah ide-ide dari anak buah dan lingkungan sekitarnya, negara bahkan budayanya untuk karya-karya dan kemajuan organisasinya.
Dengan karakter pemimpin tersebut, seorang pemimpin juga harus bisa menularkan jiwa kepemimpinannya dan melahirkan pemimpin-pemimpin baru dalam lingkungan berbeda. "Dengan demikian, kemajuan organisasi kita akan semakin kuat dan luas cakupannya," lanjut Livi Zheng melalui keterangan tertulisnya kepada SINDO, Rabu (27/3).
Dalam kesempatan tersebut, peraih predikat master di Sekolah Seni Sinematik di Universitas California Selatan ini pun menceritakan 15 tahun kehidupannya mulai dari Beijing, China hingga di Hollywood, AS. Livi Zheng juga memimpin sejumlah kru yang semuanya orang Amerika. "Mereka saya ajarkan makan makanan Indonesia, mengenakan batik Indonesia, dan berbahasa Indonesia," terangnya.
Menurut Livi Zheng, berkarier di AS, persaingan yang dihadapinya bukan hanya film-film lokal Amerika, tapi juga film-film dari seluruh dunia. Namun, dengan kepemimpinan yang diterapkannya, di antaranya dengan tetap mempertahankan identitas dan akar budaya bangsa, Livi Zheng tak khawatir.
"Lahir sebagai orang Indonesia yang dibesarkan di negara yang sangat kaya ini adalah sebuah kelebihan dan dapat memberikan inspirasi tersendiri. Hampir di semua film saya, saya selalu memasukkan unsur-unsur Indonesia. Misalnya dalam film 'Brush with Danger', saya ikut memasukkan 50 lukisan dari Indonesia. Dalam film 'Insight' memasukkan pencak silat dalam koreografinya. Bahkan, untuk studio film saya, saya menggotong satu kontainer furniture Indonesia ke sana," papar Livi Zheng.
Di film terbarunya "Bali: Beats of Paradise", Livi Zheng mengangkat kisah inspiratif pemain dan komposer gamelan Nyoman Wenten, yang mengejar mimpinya sebagai seniman Bali di Amerika lewat gamelan Bali.
"Segala halangan dihadapinya, hingga pengorbanannya meninggalkan keluarga beberapa tahun untuk menyebarkan gamelan di negeri orang. Kini, berkat Nyoman Wenten, gamelan sudah diajarkan di kampus-kampus bergengsi di Amerika," ujar Livi.
Saat ini, gamelan menjadi mata kuliah khusus di banyak universitas yang ada di AS, di antaranya Harvard University, Massachusetts Institute of Technology (MIT), University of California-Los Angeles (UCLA) dan University of California-Berkeley (UC-Berkeley).
(nug)