Pesan Sangar untuk Para Koruptor
A
A
A
Kepiawaian dalam mengolah ide dan gagasan kreatif yang didukung dengan kemampuan akting para pemainnya, membuat Teater Gandrik tak lekang di makan waktu.
Terlebih di setiap penampilannya, teater asal Yogyakarta ini selalu mengangkat cerita-cerita yang berkembang dalam kehidupan sehari-hari masyarakat. Teater Gandrik, kelompok seni yang senantiasa memadukan semangat teater tradisional dan modern dalam setiap aksi panggungnya kembali menyapa penggemarnya lewat pagelaran bertajuk “Para Pensiunan 2049”.
Disutradarai Djaduk Ferianto dengan penulis naskah Agus Noor dan Susilo Nugroho, pentas teater Gandrik di Ciputra Artprenuer Theater, Jakarta, tampil dengan gaya khasnya, ‘guyon parikena’ atau sindiran secara halus seperti mengejek diri sendiri.
Pementasan ini menampilkan Butet Kartaredjasa, Susilo Nugroho, Djajuk Prabowo, Rulyani Isfihana, Sepnu Heryanto, Gunawan Maryanto, Citra Pratiwi, Feri Ludiyanto, Jamiatut Tarwiyah, Nunung Deni Puspitasari, Kusen Ali, M Yusuf ‘Peci Miring’, M Arif ‘Broto’ Wijayanto, Muhamad Ramdan, dan Akhmad Yusuf Pratama, serta tim pendukung lainnya.
Sebelum pentas pada 25-26 April, di Ciputra Artpreneur Theater, Jakarta, lakon “Para Pensiunan 2049” telah digelar pada 8-9 April, di Taman Budaya Yogyakarta. Dengan desain artistik sederhana khas teater modern, musik yang didukung Kua Etnika serta tata cahaya yang membuat khidmat, lakon “Para Pensiun an 2049” di Ciputra Artpreneur Theater Jakarta, sedikit meregangkan urat saraf di tengah panasnya situasi politik saat ini.
Tampil selama 2,5 jam, pentas digambarkan dengan konsep dark atau gelap sehingga menghasilkan kesan horor. Ini sebagai medium untuk memberikan pesan kuat bagi penonton agar berperilaku baik, hidup lurus atau sesuai dengan aturan, serta menghindari ihwal menyimpang seperti korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Kendati tema yang dihadirkan bercerita soal kematian dan korupsi, namun para punggawa Teater Gandrik mampu mengocok perut penonton dengan dialog-dialog renyah, segar, dan begitu jenaka. Tak lupa mereka menyentil kondisi sosial politik Tanah Air sekaligus menertawakan drama klaim presiden-presidenan hingga kelakar Pemilu 2019 yang terjadi di luar panggung akhir-akhir ini.
Patut diakui, beberapa aspek dalam teater begitu diperhatikan dan dijaga dalam pementasan kali ini sehingga tidak hanya menghibur dengan banyolan-banyolan segar, namun juga ada pesan moral yang dibawa penonton ketika pulang.
Aspek pertama yang begitu menonjol, yakni ensemble (kesatuan chemistry) antarpemain yang begitu padu, di mana pemain mam pu keluar masuk peran, memainkan irama atau mencarikan konteks dengan kondisi yang berlangsung, tanpa mengurangi peran pemain lain.
Kemampuan dan totalitas bermain teater begitu menonjol pada sosok Susilo Nugroho (Kerkop penjaga makam) dan Butet Kartaredjasa (Doorsttot) yang begitu kuat memainkan emosi sekaligus meng hi bur penonton dengan joke-joke segar yang mereka hadirkan di atas panggung. Aspek kedua yakni irama pertunjukan yang begitu dijaga sehingga dialog antarpemain begitu mengalir, tak sekadar dialog-dialog biasa layaknya sandiwara radio.
Colour sound dan pola dialog tiap karakter dibalut dengan kemasan musik yang tak hanya sekadar menegaskan suasana, namun juga mampu menghadirkan musik yang ilustratif berikut aspek panggung serta kostum yang benar-benar membuat hidup pertunjukan kali ini meski terkadang bahasa yang digunakan tidak ramah kepada semua usia penonton.
Lakon “Para Pensiunan 2049” dalam rangka menyambut perayaan ke-36 tahun Teater Gandrik bercerita tentang para pensiunan yang ingin menikmati masa tuanya dan menunggu akhir hidupnya dengan tenang. Mereka adalah pensiunan jenderal, pensiunan politisi, pensiunan hakim, dan para pensiunan lainnya. Kemudian muncul Undang-Undang Pemberantasan Pelaku Korupsi (Pelakor), yang mengharuskan siapa pun yang meninggal wajib memiliki Surat Keterangan Kematian yang Baik (SKKB). Apabila tidak mempunyai SKKB, mayatnya tidak boleh dikubur karena dianggap tidak bersih dari korupsi.
Dari situ cerita terus bergulir, ketika para pensiunan yang terbukti korupsi semasa hidupnya tak boleh dikubur ketika mati. Tradisi Teater Gandrik yang para pemainnya kerap berimprovisasi di atas panggung dan begitu piawai menghadirkan tawa bagi penonton, tak terasa membuat pertunjukan yang sejatinya berdurasi dua jam molor hingga 30 menit.
Sang sutradara Djaduk Ferianto menuturkan, naskah “Para Pensiunan 2049” ini merupakan hasil saduran dari naskah “Pensiunan” karya almarhum Heru Kesawa Murti, yang dibuat pada 1986.
“Naskah ini ditulis kembali oleh Agus Noor dan Susilo Nugroho agar dapat diterima dan dinikmati oleh generasi muda. Dan, naskah ini latarnya bukan ada di Indonesia. Awalnya di Indonesia. Tapi, karena kami ketakutan betul masuk Cipinang, akhirnya kita ubah. Masa saya atau Butet ikut-ikutan masuk Cipinang,” canda Djaduk seraya tertawa seusai pertunjukan “Para Pensiunan” di Lotte Shopping Avenue, Jumat (26/4) malam. “Kami cari jalan yang paling aman. Bongkar naskah, setting di negara antah berantah. Visual kostum juga perpaduan gaya klasik Eropa, China, Mesir, dan lain-lain.
Dari aspek visual kami menggunakan pendekatan tidak manual, ada tambahan mix juga supaya ada artikulasi yang jelas. Ini kan cara baru kami, gimana menggarap cerita dan melemparkannya pada publik,” sambung Djaduk Ferianto.
Senada dengan Djaduk, pimpinan produksi pertunjukan “Para Pensiunan 2049”, Butet Kartaredjasa juga mengakui ada perubahan naskah sesuai peristiwa yang sedang hangat belakangan. “Ada peristiwa yang juga mengubah naskah. Dari satu penciptaan khas Teater Gandrik yang diasah untuk lebih tangkas, sensitif, dan rajin memperkaya dengan improvisasi.
Segala peristiwa yang terjadi di luar panggung sekarang semakin sulit. Sumber inspirasi peristiwa ternyata lebih lucu dari Gandrik. Gandrik seperti kehilangan kepercayaan diri, kalah lucu. Jadi ya main arwah-arwahan saja,” kata Butet sembari tertawa.
Butet mengatakan, ada banyak berkah bertaburan di atas panggung. Termasuk perubahan spontan para pemain yang hanya mengandalkan ketangkasan tanpa harus mengorbankan alur cerita utama. “Ada banyak pesan yang disampaikan lewat lakon ini. Korupsi, moralitas, suasana pilpres, dan segala perubahan yang cukup menarik,” tandas Butet. (Thomasmanggalla)
Terlebih di setiap penampilannya, teater asal Yogyakarta ini selalu mengangkat cerita-cerita yang berkembang dalam kehidupan sehari-hari masyarakat. Teater Gandrik, kelompok seni yang senantiasa memadukan semangat teater tradisional dan modern dalam setiap aksi panggungnya kembali menyapa penggemarnya lewat pagelaran bertajuk “Para Pensiunan 2049”.
Disutradarai Djaduk Ferianto dengan penulis naskah Agus Noor dan Susilo Nugroho, pentas teater Gandrik di Ciputra Artprenuer Theater, Jakarta, tampil dengan gaya khasnya, ‘guyon parikena’ atau sindiran secara halus seperti mengejek diri sendiri.
Pementasan ini menampilkan Butet Kartaredjasa, Susilo Nugroho, Djajuk Prabowo, Rulyani Isfihana, Sepnu Heryanto, Gunawan Maryanto, Citra Pratiwi, Feri Ludiyanto, Jamiatut Tarwiyah, Nunung Deni Puspitasari, Kusen Ali, M Yusuf ‘Peci Miring’, M Arif ‘Broto’ Wijayanto, Muhamad Ramdan, dan Akhmad Yusuf Pratama, serta tim pendukung lainnya.
Sebelum pentas pada 25-26 April, di Ciputra Artpreneur Theater, Jakarta, lakon “Para Pensiunan 2049” telah digelar pada 8-9 April, di Taman Budaya Yogyakarta. Dengan desain artistik sederhana khas teater modern, musik yang didukung Kua Etnika serta tata cahaya yang membuat khidmat, lakon “Para Pensiun an 2049” di Ciputra Artpreneur Theater Jakarta, sedikit meregangkan urat saraf di tengah panasnya situasi politik saat ini.
Tampil selama 2,5 jam, pentas digambarkan dengan konsep dark atau gelap sehingga menghasilkan kesan horor. Ini sebagai medium untuk memberikan pesan kuat bagi penonton agar berperilaku baik, hidup lurus atau sesuai dengan aturan, serta menghindari ihwal menyimpang seperti korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Kendati tema yang dihadirkan bercerita soal kematian dan korupsi, namun para punggawa Teater Gandrik mampu mengocok perut penonton dengan dialog-dialog renyah, segar, dan begitu jenaka. Tak lupa mereka menyentil kondisi sosial politik Tanah Air sekaligus menertawakan drama klaim presiden-presidenan hingga kelakar Pemilu 2019 yang terjadi di luar panggung akhir-akhir ini.
Patut diakui, beberapa aspek dalam teater begitu diperhatikan dan dijaga dalam pementasan kali ini sehingga tidak hanya menghibur dengan banyolan-banyolan segar, namun juga ada pesan moral yang dibawa penonton ketika pulang.
Aspek pertama yang begitu menonjol, yakni ensemble (kesatuan chemistry) antarpemain yang begitu padu, di mana pemain mam pu keluar masuk peran, memainkan irama atau mencarikan konteks dengan kondisi yang berlangsung, tanpa mengurangi peran pemain lain.
Kemampuan dan totalitas bermain teater begitu menonjol pada sosok Susilo Nugroho (Kerkop penjaga makam) dan Butet Kartaredjasa (Doorsttot) yang begitu kuat memainkan emosi sekaligus meng hi bur penonton dengan joke-joke segar yang mereka hadirkan di atas panggung. Aspek kedua yakni irama pertunjukan yang begitu dijaga sehingga dialog antarpemain begitu mengalir, tak sekadar dialog-dialog biasa layaknya sandiwara radio.
Colour sound dan pola dialog tiap karakter dibalut dengan kemasan musik yang tak hanya sekadar menegaskan suasana, namun juga mampu menghadirkan musik yang ilustratif berikut aspek panggung serta kostum yang benar-benar membuat hidup pertunjukan kali ini meski terkadang bahasa yang digunakan tidak ramah kepada semua usia penonton.
Lakon “Para Pensiunan 2049” dalam rangka menyambut perayaan ke-36 tahun Teater Gandrik bercerita tentang para pensiunan yang ingin menikmati masa tuanya dan menunggu akhir hidupnya dengan tenang. Mereka adalah pensiunan jenderal, pensiunan politisi, pensiunan hakim, dan para pensiunan lainnya. Kemudian muncul Undang-Undang Pemberantasan Pelaku Korupsi (Pelakor), yang mengharuskan siapa pun yang meninggal wajib memiliki Surat Keterangan Kematian yang Baik (SKKB). Apabila tidak mempunyai SKKB, mayatnya tidak boleh dikubur karena dianggap tidak bersih dari korupsi.
Dari situ cerita terus bergulir, ketika para pensiunan yang terbukti korupsi semasa hidupnya tak boleh dikubur ketika mati. Tradisi Teater Gandrik yang para pemainnya kerap berimprovisasi di atas panggung dan begitu piawai menghadirkan tawa bagi penonton, tak terasa membuat pertunjukan yang sejatinya berdurasi dua jam molor hingga 30 menit.
Sang sutradara Djaduk Ferianto menuturkan, naskah “Para Pensiunan 2049” ini merupakan hasil saduran dari naskah “Pensiunan” karya almarhum Heru Kesawa Murti, yang dibuat pada 1986.
“Naskah ini ditulis kembali oleh Agus Noor dan Susilo Nugroho agar dapat diterima dan dinikmati oleh generasi muda. Dan, naskah ini latarnya bukan ada di Indonesia. Awalnya di Indonesia. Tapi, karena kami ketakutan betul masuk Cipinang, akhirnya kita ubah. Masa saya atau Butet ikut-ikutan masuk Cipinang,” canda Djaduk seraya tertawa seusai pertunjukan “Para Pensiunan” di Lotte Shopping Avenue, Jumat (26/4) malam. “Kami cari jalan yang paling aman. Bongkar naskah, setting di negara antah berantah. Visual kostum juga perpaduan gaya klasik Eropa, China, Mesir, dan lain-lain.
Dari aspek visual kami menggunakan pendekatan tidak manual, ada tambahan mix juga supaya ada artikulasi yang jelas. Ini kan cara baru kami, gimana menggarap cerita dan melemparkannya pada publik,” sambung Djaduk Ferianto.
Senada dengan Djaduk, pimpinan produksi pertunjukan “Para Pensiunan 2049”, Butet Kartaredjasa juga mengakui ada perubahan naskah sesuai peristiwa yang sedang hangat belakangan. “Ada peristiwa yang juga mengubah naskah. Dari satu penciptaan khas Teater Gandrik yang diasah untuk lebih tangkas, sensitif, dan rajin memperkaya dengan improvisasi.
Segala peristiwa yang terjadi di luar panggung sekarang semakin sulit. Sumber inspirasi peristiwa ternyata lebih lucu dari Gandrik. Gandrik seperti kehilangan kepercayaan diri, kalah lucu. Jadi ya main arwah-arwahan saja,” kata Butet sembari tertawa.
Butet mengatakan, ada banyak berkah bertaburan di atas panggung. Termasuk perubahan spontan para pemain yang hanya mengandalkan ketangkasan tanpa harus mengorbankan alur cerita utama. “Ada banyak pesan yang disampaikan lewat lakon ini. Korupsi, moralitas, suasana pilpres, dan segala perubahan yang cukup menarik,” tandas Butet. (Thomasmanggalla)
(nfl)