Setelah Pentas di 9 Negara, I La Galigo Kembali Hadir di Jakarta
A
A
A
JAKARTA - Kolaborasi Bakti Budaya Djarum Foundation, Yayasan Bali Purnati dengan Ciputra Artpreneur akan mempersembahkan pertunjukan teater kelas dunia I La Galigo yang naskahnya diadaptasi dari Sureq Galigo. Naskah Bugis kuno dari abad 14 ini siap mentas di Ciputra Artprenuer Theater, Jakarta pada 3, 5, 6, 7 Juli 2019.
I La Galigo merupakan salah satu pertunjukan teater kelas dunia asal Indonesia yang sudah menyita perhatian di beberapa negara. Banyaknya apresiasi yang diberikan terhadap pertunjukan I La Galigo baik di dalam maupun luar negeri, membuktikan bahwa budaya Indonesia luar biasa indahnya di mata dunia.
Sumber utama pertunjukan yakni Sureq Galigo adalah wiracarita mitos penciptaan suku Bugis (circa abad 13 dan 15) yang terabadikan lewat tradisi lisan dan naskah-naskah, dan kemudian dituliskan dalam bentuk syair menggunakan bahasa Bugis dan huruf Bugis kuno.
Dalam adaptasi naskah panggung ini, Sureq Galigo menjadi dasar dari sebuah kisah yang menggambarkan petualangan perjalanan, peperangan, kisah cinta terlarang, pernikahan yang rumit, dan pengkhianatan. Elemen-elemen ini dirangkai menjadi cerita besar yang begitu menarik, dinamis, dan ternyata masih memiliki relevansi dengan kehidupan modern zaman sekarang.
Karya musik teater I La Galigo ini bercerita melalui tarian, gerak tubuh, soundscape, dan penataan musik gubahan maestro musik Rahayu Supanggah di bawah penyutradaraan salah satu sutradara teater kontemporer terbaik dunia saat ini, Robert Wilson. Pertunjukan yang berdurasi dua jam ini akan amat memukau karena tata cahaya dan tata panggung yang spektakuler.
Untuk menciptakan ekspresi yang lebih dramatis, sebanyak 70 instrumen musik, mulai dari instrumen tradisional Sulawesi, Jawa, dan Bali akan dimainkan 12 musisi untuk mengiringi pertunjukan ini. Penataan bunyi dan musik ini merupakan sebuah hasil karya dan hasil kerja intensif melalui riset yang tidak main-main di bawah penyelia Rahayu Supanggah.
(Baca juga: Sebuah Cerita Perjalanan: Persiapan Pementasan I La Galigo )
"Mulai dari 2001 kami mempelajari naskah tua yang dianggap sakral dalam budaya Bugis tersebut, sekaligus mendalami budaya Sulawesi Selatan. Setelah tiga tahun, akhirnya pada 2004 kami melakukan pementasan pertama I La Galigo di Esplanade, Singapura, dan selepas pentas di 9 negara dan 18 tahun telah berlalu, I La Galigo kembali hadir di Jakarta untuk naik pentas di Ciputra Artpreneur," jelas Restu I. Kusumaningrum, Ketua Yayasan Bali Purnati dan Direktur Artistik I La Galigo kepada SINDO di Galeri Indonesia Kaya, Grand Indonesia, Jakarta, Kamis (13/6).
"Kami berharap pertunjukan yang telah kami rangkai secara modern ini dapat memperkenalkan naskah kuno asli Indonesia kepada generasi muda, sekaligus mengusik keingintahuan masyarakat untuk lebih mendalami seni budaya Indonesia sehingga tidak punah," sambungnya.
Sejak pentas perdananya di Esplanade Theatres on the Bay (Singapura) pada 2004, lakon ini terus menuai pujian saat digelar di kota-kota besar dunia, seperti Lincoln Center Festival di New York, Het Muziektheater di Amsterdam, Forum Universal de les Cultures di Barcelona, Les Nuits de Fourviere di Prancis, Ravenna Festival di Italia, Metropolitan Hall for Taipei Arts Festival di Taipei, Melbourne International Arts Festival di Melbourne, dan Teatro Arcimboldi di Milan sebelum kembali ke Makassar untuk dipentaskan di Benteng Rotterdam.
I La Galigo juga terpilih sebagai pementasan khusus berkelas dunia pada saat Annual Meetings IMF-World Bank Group 2018 di Bali. Bahkan media sekelas The New York Times pun tak segan menyebutnya 'stunningly beautiful music-theater work' ketika I La Galigo menjadi pembuka pada Festival Lincoln Center Festival 2005.
I La Galigo merupakan salah satu pertunjukan teater kelas dunia asal Indonesia yang sudah menyita perhatian di beberapa negara. Banyaknya apresiasi yang diberikan terhadap pertunjukan I La Galigo baik di dalam maupun luar negeri, membuktikan bahwa budaya Indonesia luar biasa indahnya di mata dunia.
Sumber utama pertunjukan yakni Sureq Galigo adalah wiracarita mitos penciptaan suku Bugis (circa abad 13 dan 15) yang terabadikan lewat tradisi lisan dan naskah-naskah, dan kemudian dituliskan dalam bentuk syair menggunakan bahasa Bugis dan huruf Bugis kuno.
Dalam adaptasi naskah panggung ini, Sureq Galigo menjadi dasar dari sebuah kisah yang menggambarkan petualangan perjalanan, peperangan, kisah cinta terlarang, pernikahan yang rumit, dan pengkhianatan. Elemen-elemen ini dirangkai menjadi cerita besar yang begitu menarik, dinamis, dan ternyata masih memiliki relevansi dengan kehidupan modern zaman sekarang.
Karya musik teater I La Galigo ini bercerita melalui tarian, gerak tubuh, soundscape, dan penataan musik gubahan maestro musik Rahayu Supanggah di bawah penyutradaraan salah satu sutradara teater kontemporer terbaik dunia saat ini, Robert Wilson. Pertunjukan yang berdurasi dua jam ini akan amat memukau karena tata cahaya dan tata panggung yang spektakuler.
Untuk menciptakan ekspresi yang lebih dramatis, sebanyak 70 instrumen musik, mulai dari instrumen tradisional Sulawesi, Jawa, dan Bali akan dimainkan 12 musisi untuk mengiringi pertunjukan ini. Penataan bunyi dan musik ini merupakan sebuah hasil karya dan hasil kerja intensif melalui riset yang tidak main-main di bawah penyelia Rahayu Supanggah.
(Baca juga: Sebuah Cerita Perjalanan: Persiapan Pementasan I La Galigo )
"Mulai dari 2001 kami mempelajari naskah tua yang dianggap sakral dalam budaya Bugis tersebut, sekaligus mendalami budaya Sulawesi Selatan. Setelah tiga tahun, akhirnya pada 2004 kami melakukan pementasan pertama I La Galigo di Esplanade, Singapura, dan selepas pentas di 9 negara dan 18 tahun telah berlalu, I La Galigo kembali hadir di Jakarta untuk naik pentas di Ciputra Artpreneur," jelas Restu I. Kusumaningrum, Ketua Yayasan Bali Purnati dan Direktur Artistik I La Galigo kepada SINDO di Galeri Indonesia Kaya, Grand Indonesia, Jakarta, Kamis (13/6).
"Kami berharap pertunjukan yang telah kami rangkai secara modern ini dapat memperkenalkan naskah kuno asli Indonesia kepada generasi muda, sekaligus mengusik keingintahuan masyarakat untuk lebih mendalami seni budaya Indonesia sehingga tidak punah," sambungnya.
Sejak pentas perdananya di Esplanade Theatres on the Bay (Singapura) pada 2004, lakon ini terus menuai pujian saat digelar di kota-kota besar dunia, seperti Lincoln Center Festival di New York, Het Muziektheater di Amsterdam, Forum Universal de les Cultures di Barcelona, Les Nuits de Fourviere di Prancis, Ravenna Festival di Italia, Metropolitan Hall for Taipei Arts Festival di Taipei, Melbourne International Arts Festival di Melbourne, dan Teatro Arcimboldi di Milan sebelum kembali ke Makassar untuk dipentaskan di Benteng Rotterdam.
I La Galigo juga terpilih sebagai pementasan khusus berkelas dunia pada saat Annual Meetings IMF-World Bank Group 2018 di Bali. Bahkan media sekelas The New York Times pun tak segan menyebutnya 'stunningly beautiful music-theater work' ketika I La Galigo menjadi pembuka pada Festival Lincoln Center Festival 2005.
(nug)