Waspada! Jangan Abaikan Ancaman Hipertensi
A
A
A
JIKA tidak dikelola dengan baik, hipertensi dapat meningkatkan risiko kecacatan akibat berkembangnya penyakit dan kerusakan organ penting, disamping juga risiko kematian.
Sebanyak 26% populasi dunia atau sekitar 972 juta orang di tahun 2000 menderita hipertensi, dan prevalensinya diperkirakan akan meningkat menjadi 29% pada tahun 2025. Di Indonesia sendiri, prevalensi hipertensi di tahun 2018 berdasarkan hasil pengukuran pada penduduk usia ≥ 18 tahun sebesar 34,1%.
Estimasi jumlah kasus hipertensi di Indonesia sebanyak 63.309.620 orang, sedangkan angka kematian akibat hipertensi sebesar 427.218 kematian. Penyakit ini terjadi pada kelompok umur 31-44 tahun (31,6%), umur 45-54 tahun (45,3%), dan umur 55-64 tahun (55,2%). Masalahnya, masih banyak pasien hipertensi yang tidak mengetahui bahwa dirinya telah menderita tekanan darah tinggi berhubung seringkali tidak adanya gejala.
Wajar saja jika hipertensi sering disebut sebagai pembunuh senyap atau “silent killer”. Hipertensi atau tekanan darah tinggi merupakan faktor risiko terhadap kerusakan organ penting seperti otak, jantung, ginjal, mata, pembuluh darah besar (aorta) dan pembuluh darah tepi. Jika tidak dikelola dengan baik, bukan hanya faktor risiko kematian yang dapat terjadi, namun juga meningkatnya risiko kecacatan akibat berkembangnya penyakit dan kerusakan organ penting.
Faktanya, hipertensi dapat menyebabkan sekitar 50% stroke iskemik (penyumbatan) dan juga meningkatkan risiko stroke hemoragik (perdarahan). Sebagian besar orang yang mengalami stroke juga memiliki tekanan darah tinggi atau hipertensi. Tekanan darah tinggi merusak arteri di seluruh tubuh, menciptakan suatu kondisi dimana arteri menjadi tebal dan kaku dan dapat pecah atau terjadi penyumbatan-penyumbatan.
Hal ini terjadi juga pada pembuluh-pembuluh darah di otak akibat dari tekanan darah tinggi sehingga akan menimbulkan risiko stroke yang jauh lebih tinggi. Itulah sebabnya mengelola tekanan darah tinggi sangat penting untuk mengurangi risiko terkena stroke.
Tidak hanya stroke, dr. Arieska Ann Soenarta, SpJP(K), FIHA,FAsCC mengungkapkan, "hipertensi merupakan faktor risiko terpenting dalam penyebab terjadinya penyakit Kardio-Cerebro-Vascular (KCV)," katanya. Kematian di dunia sebagian besar disebabkan oleh penyakit KCV, baik pada pria maupun wanita. Dalam kurun waktu antara tahun 2000-2025 diperkirakan akan terjadi peningkatan prevalensi sebanyak 9% pada pria dan 13% pada wanita.
Kapan Dinyatakan Hipertensi?
Lalu kapan individu dinyatakan menderita hipertensi?Dr.TunggulD.Situmorang,Sp.PD-KGH,FINASIM, Ketua Umum Perhimpunan Dokter Hipertensi Indonesia (PERHI) menjawab, apabila secara meyakinkan memiliki tekanan darah sistolik ≥ 140 mmHg dan tekanan darah diastolik ≥ 90 mmHg pada sedikitnya tiga kali pengukuran.
Dengan cara dan alat yang benar selang waktu satu menit dalam suasana yang tenang, keadaan cukup istirahat di klinik atau fasilitas layanan kesehatan. Bila “meragukan”, dianjurkan untuk di ulang-ulang pengukurannya oleh pasien sendiri di rumah (Home Blood Pressure Monitoring = HBPM) atau bila ada fasilitas dengan mengukur TD secara 24 jam terus menerus dengan alat khusus (Ambulatory Blood Pressure Monitoring = ABPM).
"Pasien harus memahami bahwa hipertensi primer tidak dapat sembuh total, tapi bisa dikendalikan," terang dr. Tunggul. Untuk mengelola hipertensi agar mencapai tekanan darah sesuai target, dimulai dengan perubahan gaya hidup sehat, berat badan ideal dan mengurangi asupan garam. Kepatuhan pasien dalam menjalani pengobatan, pengukuran tekanan darah secara benar dan berkala menjadi hal yang sangat penting dalam pengendalian hipertensi.
Dr. Tunggul juga menjelaskan bahwa sesuai dengan Konsensus Penatalaksanaan Hipertensi 2019, pada pasien dengan tekanan darah ≥ 140 mmHg / ≥ 90 mmHg diperlukan inisiasi obat untuk menurunkan tekanan darah. Di Indonesia sudah tersedia semua golongan obat-obatan pengendali tekanan darah, yaitu golongan: Calcium Channel Blocker (CCB), Diuretik, Penyekat Beta (Beta Blocker), Penyekat Alpha (Alpha Blocker), Anti Converting Enzyme Inhibitor (ACE inhibitor), Angiotensinogen Receptor Blocker (ARB), Central Blocker, Aldosteron Antagonist dan lain-lain. (Sri Noviarni)
Sebanyak 26% populasi dunia atau sekitar 972 juta orang di tahun 2000 menderita hipertensi, dan prevalensinya diperkirakan akan meningkat menjadi 29% pada tahun 2025. Di Indonesia sendiri, prevalensi hipertensi di tahun 2018 berdasarkan hasil pengukuran pada penduduk usia ≥ 18 tahun sebesar 34,1%.
Estimasi jumlah kasus hipertensi di Indonesia sebanyak 63.309.620 orang, sedangkan angka kematian akibat hipertensi sebesar 427.218 kematian. Penyakit ini terjadi pada kelompok umur 31-44 tahun (31,6%), umur 45-54 tahun (45,3%), dan umur 55-64 tahun (55,2%). Masalahnya, masih banyak pasien hipertensi yang tidak mengetahui bahwa dirinya telah menderita tekanan darah tinggi berhubung seringkali tidak adanya gejala.
Wajar saja jika hipertensi sering disebut sebagai pembunuh senyap atau “silent killer”. Hipertensi atau tekanan darah tinggi merupakan faktor risiko terhadap kerusakan organ penting seperti otak, jantung, ginjal, mata, pembuluh darah besar (aorta) dan pembuluh darah tepi. Jika tidak dikelola dengan baik, bukan hanya faktor risiko kematian yang dapat terjadi, namun juga meningkatnya risiko kecacatan akibat berkembangnya penyakit dan kerusakan organ penting.
Faktanya, hipertensi dapat menyebabkan sekitar 50% stroke iskemik (penyumbatan) dan juga meningkatkan risiko stroke hemoragik (perdarahan). Sebagian besar orang yang mengalami stroke juga memiliki tekanan darah tinggi atau hipertensi. Tekanan darah tinggi merusak arteri di seluruh tubuh, menciptakan suatu kondisi dimana arteri menjadi tebal dan kaku dan dapat pecah atau terjadi penyumbatan-penyumbatan.
Hal ini terjadi juga pada pembuluh-pembuluh darah di otak akibat dari tekanan darah tinggi sehingga akan menimbulkan risiko stroke yang jauh lebih tinggi. Itulah sebabnya mengelola tekanan darah tinggi sangat penting untuk mengurangi risiko terkena stroke.
Tidak hanya stroke, dr. Arieska Ann Soenarta, SpJP(K), FIHA,FAsCC mengungkapkan, "hipertensi merupakan faktor risiko terpenting dalam penyebab terjadinya penyakit Kardio-Cerebro-Vascular (KCV)," katanya. Kematian di dunia sebagian besar disebabkan oleh penyakit KCV, baik pada pria maupun wanita. Dalam kurun waktu antara tahun 2000-2025 diperkirakan akan terjadi peningkatan prevalensi sebanyak 9% pada pria dan 13% pada wanita.
Kapan Dinyatakan Hipertensi?
Lalu kapan individu dinyatakan menderita hipertensi?Dr.TunggulD.Situmorang,Sp.PD-KGH,FINASIM, Ketua Umum Perhimpunan Dokter Hipertensi Indonesia (PERHI) menjawab, apabila secara meyakinkan memiliki tekanan darah sistolik ≥ 140 mmHg dan tekanan darah diastolik ≥ 90 mmHg pada sedikitnya tiga kali pengukuran.
Dengan cara dan alat yang benar selang waktu satu menit dalam suasana yang tenang, keadaan cukup istirahat di klinik atau fasilitas layanan kesehatan. Bila “meragukan”, dianjurkan untuk di ulang-ulang pengukurannya oleh pasien sendiri di rumah (Home Blood Pressure Monitoring = HBPM) atau bila ada fasilitas dengan mengukur TD secara 24 jam terus menerus dengan alat khusus (Ambulatory Blood Pressure Monitoring = ABPM).
"Pasien harus memahami bahwa hipertensi primer tidak dapat sembuh total, tapi bisa dikendalikan," terang dr. Tunggul. Untuk mengelola hipertensi agar mencapai tekanan darah sesuai target, dimulai dengan perubahan gaya hidup sehat, berat badan ideal dan mengurangi asupan garam. Kepatuhan pasien dalam menjalani pengobatan, pengukuran tekanan darah secara benar dan berkala menjadi hal yang sangat penting dalam pengendalian hipertensi.
Dr. Tunggul juga menjelaskan bahwa sesuai dengan Konsensus Penatalaksanaan Hipertensi 2019, pada pasien dengan tekanan darah ≥ 140 mmHg / ≥ 90 mmHg diperlukan inisiasi obat untuk menurunkan tekanan darah. Di Indonesia sudah tersedia semua golongan obat-obatan pengendali tekanan darah, yaitu golongan: Calcium Channel Blocker (CCB), Diuretik, Penyekat Beta (Beta Blocker), Penyekat Alpha (Alpha Blocker), Anti Converting Enzyme Inhibitor (ACE inhibitor), Angiotensinogen Receptor Blocker (ARB), Central Blocker, Aldosteron Antagonist dan lain-lain. (Sri Noviarni)
(nfl)