Wignyo Rahadi Populerkan Tenun Indonesia
A
A
A
WIGNYO RAHADI menjadi desainer yang setia dan konsisten mempopulerkan keragaman tenun Indoonesia. Keinginannya untuk terus belajar dan berinovasi membuat tenun lebih modern dan dapat dipakai lintas generasi.
Laki-laki kelahiran Solo, 18 Mei 1960 ini awalnya menepuh pendidikan S1 Ilmu Ekonomi, Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi (STEI) Jakarta. Wignyo mulai tertarik dengan kerajinan tenun pada tahun 1995 saat bekerja di industri benang sutera, PT. Indo Jado Sutera Pratama. Saat itu dia bekerja sebagai Manajer Pemasaran.
Sebagai Manajer Pemasaran, dia wajib mempelajari seluk-beluk pembuatan benang sutra dan desain tenun yang baik. Dia juga harus melakukan sosialisasi tentang cara menggunakan benang sutra dengan baik dan benar kepada para pembatik dan penenun. “Sejak saat itu saya mulai jatuh cinta dengan tenun,” ujar Wignyo saat ditemui di Butiknya di Butik Tenun Gaya, Cipete, Jakarta Selatan pada Selasa (3/12).
Sembari menjadi profesional, sejak 1997 sebetulnya Wignyo sudah merintis bisnis pribadi. Bersama tujuh temannya, ia melakukan uji coba alat tenun. Ternyata, teman-teman pembatik, penenun, dan desainer kenalannya rata-rata berkomentar positif dan berminat terhadap hasil tenun yang dibuatnya. Terpikirlah ia untuk membuat bisnis tenun. “Jujur, saya khawatir saat itu. Namun, setelah pengetahuan dan pengalaman yang cukup, saya memberanikan diri memulai bisnis,” ujar Wignyo.
Wignyo pun keluar dari zona nyaman, yang semula menjadi manajer pemasaran kini menjadi pengusaha tenun. Keputusannya tepat. Pada tahun 2000 Wignyo mendirikan usaha tenun di Sukabumi, Jawa Barat dengan nama Tenun Gaya.Dipilihnya lahan 2500 meter persegi ini lantaran daerah ini dekat dengan pusat bahan baku. “Saya merasa menemukan pekerjaan yang lebih asyik dan menyenangkan. Saya merasa menemukan diri saya di sini, lingkungan saya seharusnya begini,” ujar Wignyo
Pada awal karir sebagai pengusaha dan desainer, Wignyo memulai dengan mengeksplor tenun Terawang, yang kemudian dikenal dengan tenun Baron. Karya-karya Wignyo juga merupakan hasil eksplorasinya ke sejumlah wilayah penghasil tenun di berbagai pelosok Nusantara seperti Padang, Yogyakarta, Pekalongan, Majalaya, serta Garut. Seiring berjalannya waktu dia menjadi produsen pertama yang menjual kain tenun meteran di Indonesia.
Selain itu, Wignyo konsisten mengembangkan desain dan teknik kerajinan tenun ATBM (Alat Tenun Bukan Mesin) yang menghasilkan ragam kreasi baru seperti anyaman bintik, salur bintik, dan benang putus. Kecintaan terhadap wastra Nusantara dibuktikan Wignyo dengan konsisten mengangkat inspirasi dari motif kain tradisional dalam sentuhan modern agar dapat diterima oleh lintas generasi.
Tak hanya berkreasi dengan tenun ATBM yang dituangkan dalam bentuk kain, sarung, serta selendang, Wignyo pun menciptakan rancangan berupa ready to wear (busana siap pakai). Karyanya tersebut mulai dari blouse, kebaya kontemporer, dress, hingga kemeja laki-laki. “Saya tidak sekedar mendisain kain yang sudah jadi untuk dijadikan busana siap pakai, tapi juga merancang motif yang digunakan pada kain tenun yang diproduksi oleh pengrajin yang saya naungi,” ujar Wignyo.
Warna Tenun Gaya pun disebutnya memiliki ciri khas sendiri. Misalnya meskipun terinspirasi dari kain songket Palembang, tetapi Tenun Gaya dibuat dengan campuran warna yang lebih lembut, juga bahan yang lebih nyaman untuk dikenakan. “Saya tak ingin menambahkan terlalu banyak ornamen dan gaya kontemporer agar tak menutupi kecantikan asli kain tenun tradisional,” ujar Wignyo.
Meski terbilang sukses merintis karir sebagai desainer, Wignyo selalu tertantang untuk selalu berinovasi dalam penggunaan kain. Dia selalu memastikan diri untuk selalu berkreasi agar karya dan produknya selalu berbeda. Termasuk menggali potensi kain-kain daerah yang sangat bagus tapi belum diolah, serta mengutamakan kualitas karya dan produk.
Berkat kerja keras Wignyo, kini dia mempekerjakan ratusan orang, menyasar segmen kelas menengah- atas. Produknya bahkan mulai merambah luar negeri, terutama Singapura. Selain di Singapura, karya Wignyo juga dijual di Malaysia, Filipina, Jepang, dan Rusia.
Estafet kesuksesan Wignyo dalam berbisnis tenun rupanya akan diwariskan ke anak-anaknya. Anak sulungnya, lulusan jurusan fashion marketing di Singapura, sudah setahun lebih membantu sang ayah di Tenun Gaya. Sementara, anak kedua, lulusan fashion design, juga dari Singapura, pun telah merapat ke perusahaan keluarga. (Dwi Nur Ratnaningsih)
Laki-laki kelahiran Solo, 18 Mei 1960 ini awalnya menepuh pendidikan S1 Ilmu Ekonomi, Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi (STEI) Jakarta. Wignyo mulai tertarik dengan kerajinan tenun pada tahun 1995 saat bekerja di industri benang sutera, PT. Indo Jado Sutera Pratama. Saat itu dia bekerja sebagai Manajer Pemasaran.
Sebagai Manajer Pemasaran, dia wajib mempelajari seluk-beluk pembuatan benang sutra dan desain tenun yang baik. Dia juga harus melakukan sosialisasi tentang cara menggunakan benang sutra dengan baik dan benar kepada para pembatik dan penenun. “Sejak saat itu saya mulai jatuh cinta dengan tenun,” ujar Wignyo saat ditemui di Butiknya di Butik Tenun Gaya, Cipete, Jakarta Selatan pada Selasa (3/12).
Sembari menjadi profesional, sejak 1997 sebetulnya Wignyo sudah merintis bisnis pribadi. Bersama tujuh temannya, ia melakukan uji coba alat tenun. Ternyata, teman-teman pembatik, penenun, dan desainer kenalannya rata-rata berkomentar positif dan berminat terhadap hasil tenun yang dibuatnya. Terpikirlah ia untuk membuat bisnis tenun. “Jujur, saya khawatir saat itu. Namun, setelah pengetahuan dan pengalaman yang cukup, saya memberanikan diri memulai bisnis,” ujar Wignyo.
Wignyo pun keluar dari zona nyaman, yang semula menjadi manajer pemasaran kini menjadi pengusaha tenun. Keputusannya tepat. Pada tahun 2000 Wignyo mendirikan usaha tenun di Sukabumi, Jawa Barat dengan nama Tenun Gaya.Dipilihnya lahan 2500 meter persegi ini lantaran daerah ini dekat dengan pusat bahan baku. “Saya merasa menemukan pekerjaan yang lebih asyik dan menyenangkan. Saya merasa menemukan diri saya di sini, lingkungan saya seharusnya begini,” ujar Wignyo
Pada awal karir sebagai pengusaha dan desainer, Wignyo memulai dengan mengeksplor tenun Terawang, yang kemudian dikenal dengan tenun Baron. Karya-karya Wignyo juga merupakan hasil eksplorasinya ke sejumlah wilayah penghasil tenun di berbagai pelosok Nusantara seperti Padang, Yogyakarta, Pekalongan, Majalaya, serta Garut. Seiring berjalannya waktu dia menjadi produsen pertama yang menjual kain tenun meteran di Indonesia.
Selain itu, Wignyo konsisten mengembangkan desain dan teknik kerajinan tenun ATBM (Alat Tenun Bukan Mesin) yang menghasilkan ragam kreasi baru seperti anyaman bintik, salur bintik, dan benang putus. Kecintaan terhadap wastra Nusantara dibuktikan Wignyo dengan konsisten mengangkat inspirasi dari motif kain tradisional dalam sentuhan modern agar dapat diterima oleh lintas generasi.
Tak hanya berkreasi dengan tenun ATBM yang dituangkan dalam bentuk kain, sarung, serta selendang, Wignyo pun menciptakan rancangan berupa ready to wear (busana siap pakai). Karyanya tersebut mulai dari blouse, kebaya kontemporer, dress, hingga kemeja laki-laki. “Saya tidak sekedar mendisain kain yang sudah jadi untuk dijadikan busana siap pakai, tapi juga merancang motif yang digunakan pada kain tenun yang diproduksi oleh pengrajin yang saya naungi,” ujar Wignyo.
Warna Tenun Gaya pun disebutnya memiliki ciri khas sendiri. Misalnya meskipun terinspirasi dari kain songket Palembang, tetapi Tenun Gaya dibuat dengan campuran warna yang lebih lembut, juga bahan yang lebih nyaman untuk dikenakan. “Saya tak ingin menambahkan terlalu banyak ornamen dan gaya kontemporer agar tak menutupi kecantikan asli kain tenun tradisional,” ujar Wignyo.
Meski terbilang sukses merintis karir sebagai desainer, Wignyo selalu tertantang untuk selalu berinovasi dalam penggunaan kain. Dia selalu memastikan diri untuk selalu berkreasi agar karya dan produknya selalu berbeda. Termasuk menggali potensi kain-kain daerah yang sangat bagus tapi belum diolah, serta mengutamakan kualitas karya dan produk.
Berkat kerja keras Wignyo, kini dia mempekerjakan ratusan orang, menyasar segmen kelas menengah- atas. Produknya bahkan mulai merambah luar negeri, terutama Singapura. Selain di Singapura, karya Wignyo juga dijual di Malaysia, Filipina, Jepang, dan Rusia.
Estafet kesuksesan Wignyo dalam berbisnis tenun rupanya akan diwariskan ke anak-anaknya. Anak sulungnya, lulusan jurusan fashion marketing di Singapura, sudah setahun lebih membantu sang ayah di Tenun Gaya. Sementara, anak kedua, lulusan fashion design, juga dari Singapura, pun telah merapat ke perusahaan keluarga. (Dwi Nur Ratnaningsih)
(nfl)