Gawat, Kasus Kanker Paru di Indonesia Terus Meningkat
A
A
A
JAKARTA - Data terbaru menyebutkan bahwa angka kunjungan pasien kanker paru pada pusat rujukan respirasi nasional meningkat hampir 10 kali lipat dibanding 15 tahun lalu.
Data Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) menyebutkan bahwa insiden tertinggi di Indonesia adalah pada laki-laki dan 11,2% pada perempuan. Bagi pasien kanker paru, angka ini merupakan perjalanan hidup berliku yang harus dilalui dengan kesakitan.
Belum cukup dengan itu, pasien juga harus menghadapi beban psikososial dan ekonomi yang berdampak pada keluarga, bahkan ekonomi negara. Hingga kini pemerintah masih terus mengupayakan menekan prevalensi kanker paru melalui optimalisasi fasilitas kesehatan dan pengobatan. Namun, inovasi perlu terus dikembangkan demi pencapaian kualitas hidup yang baik bagi para pasien kanker.
Dr dr Agus Dwi Susanto SpP (K) FAPSR FISR selaku Ketua Umum Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) mengungkapkan, lebih dari 80% pasien kanker paru datang setelah stadium lanjut atau stadium IV. “Dibutuhkan edukasi berkelanjutan kepada masyarakat luas terkait deteksi dini dan pengobatan kanker paru,” kata dr Agus dalam acara bertema “Gerakan Nasional Indonesia Peduli Kanker Paru Resmi Dicanangkan untuk Turunkan Prevalensi Kanker Paru di Indonesia”.
Terkait itu, dr Elisna Syahruddin PhD SpP (K), Ketua Pokja Kanker Paru PDPI, menambahkan, usaha yang paling penting adalah pengendalian faktor risiko yang perlu ditingkatkan secara masif agar dapat menurunkan jumlah kasus baru beberapa tahun kedepannya. “Tentu pasien perlu mendapatkan pengobatan segera,” kata dr Elisna.
Modalitas pengobatan/terapi kanker paru ditentukan jenis sel kanker, stadium penyakit saat ditemukan, dan kondisi pasien. Saat ini tidakada masalah untuk pilihan pengobatan kanker paru. Standar pengobatan di Indonesia maju dan setara dengan pedoman pengobatan internasional.
Modalitas terapi, di antaranya operasi, terapi radiasi, kemoterapi, terapi target, dan imunoterapi, dapat diberikan, meski jenis pengobatan terapi target dan imunoterapi perlu dilakukan pemeriksaan khusus, yaitu bio molekuler marker.
Menurut dr Elisna, standar pengobatan kanker paru terkini bisa lebih spesifik dan diharapkan akan meningkatkan harapan hidup pasien dengan efek samping lebih ringan. “Terpenting, keseluruhan pengobatan ini dapat dilakukan di Indonesia,” ucapnya.
Masyarakat sebetulnya juga membutuhkan informasi tentang kanker, khususnya kanker paru, seperti faktor risiko, gejala, serta diagnosis dan metode pengobatan yang sesuai dengan pedoman penatalaksanaannya. Hal ini bertujuan meluruskan mitos yang selama ini berkembang di masyarakat.
“Ini mendorong kami sebagai wadah pasien/penyintas kanker untuk bersama Perhimpunan Dokter Paru Indonesia mencanangkan Gerakan Nasional Indonesia Peduli Kanker Paru (IPKP),” tutur Aryanthi Baramuli Putri, Ketua Umum Cancer Information and Support Center(CISC).
Dia melanjutkan, ke depannya IPKP akan mengajak se-mua pihak menyelenggarakan upaya penanggulangan kanker paru. Dengan adanya gerakan nasional ini, diharapkan masyarakat dapat berpartisipasi dan memberikan dukungan serta suara aktif dalam menekan angka kesakitan dan kematian akibat kanker paru di Indonesia.
Hadir pada kesempatan itu Melly Goeslaw yang didaulat menjadi Duta Gerakan Nasional IPKP Indonesia. Menurut Melly, riwayat keluarga yang merupakan penderita kanker telah mendorongnya untuk peduli dan peka dengan situasi kanker di Indonesia. “Karena itu, saya sangat mengapresiasi Gerakan Nasional Indonesia Peduli Kanker Paru,” katanya.
Sementara itu, Indro Warkop yang juga didaulat sebagai Duta Gerakan Nasional IPKP tidak menampik dukungan keluarga sangat penting bagi pasien kanker. “Saat terdeteksi kanker paru stadium 4, almarhumah istri saya sangat takut pada penyakit yang dideritanya. Melalui gerakan ini, saya ingin masyarakat memahami bahwa dukungan keluarga dan orang-orang terdekat sangat penting bagi pasien,” tuturnya. (Sri Noviarni)
Data Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) menyebutkan bahwa insiden tertinggi di Indonesia adalah pada laki-laki dan 11,2% pada perempuan. Bagi pasien kanker paru, angka ini merupakan perjalanan hidup berliku yang harus dilalui dengan kesakitan.
Belum cukup dengan itu, pasien juga harus menghadapi beban psikososial dan ekonomi yang berdampak pada keluarga, bahkan ekonomi negara. Hingga kini pemerintah masih terus mengupayakan menekan prevalensi kanker paru melalui optimalisasi fasilitas kesehatan dan pengobatan. Namun, inovasi perlu terus dikembangkan demi pencapaian kualitas hidup yang baik bagi para pasien kanker.
Dr dr Agus Dwi Susanto SpP (K) FAPSR FISR selaku Ketua Umum Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) mengungkapkan, lebih dari 80% pasien kanker paru datang setelah stadium lanjut atau stadium IV. “Dibutuhkan edukasi berkelanjutan kepada masyarakat luas terkait deteksi dini dan pengobatan kanker paru,” kata dr Agus dalam acara bertema “Gerakan Nasional Indonesia Peduli Kanker Paru Resmi Dicanangkan untuk Turunkan Prevalensi Kanker Paru di Indonesia”.
Terkait itu, dr Elisna Syahruddin PhD SpP (K), Ketua Pokja Kanker Paru PDPI, menambahkan, usaha yang paling penting adalah pengendalian faktor risiko yang perlu ditingkatkan secara masif agar dapat menurunkan jumlah kasus baru beberapa tahun kedepannya. “Tentu pasien perlu mendapatkan pengobatan segera,” kata dr Elisna.
Modalitas pengobatan/terapi kanker paru ditentukan jenis sel kanker, stadium penyakit saat ditemukan, dan kondisi pasien. Saat ini tidakada masalah untuk pilihan pengobatan kanker paru. Standar pengobatan di Indonesia maju dan setara dengan pedoman pengobatan internasional.
Modalitas terapi, di antaranya operasi, terapi radiasi, kemoterapi, terapi target, dan imunoterapi, dapat diberikan, meski jenis pengobatan terapi target dan imunoterapi perlu dilakukan pemeriksaan khusus, yaitu bio molekuler marker.
Menurut dr Elisna, standar pengobatan kanker paru terkini bisa lebih spesifik dan diharapkan akan meningkatkan harapan hidup pasien dengan efek samping lebih ringan. “Terpenting, keseluruhan pengobatan ini dapat dilakukan di Indonesia,” ucapnya.
Masyarakat sebetulnya juga membutuhkan informasi tentang kanker, khususnya kanker paru, seperti faktor risiko, gejala, serta diagnosis dan metode pengobatan yang sesuai dengan pedoman penatalaksanaannya. Hal ini bertujuan meluruskan mitos yang selama ini berkembang di masyarakat.
“Ini mendorong kami sebagai wadah pasien/penyintas kanker untuk bersama Perhimpunan Dokter Paru Indonesia mencanangkan Gerakan Nasional Indonesia Peduli Kanker Paru (IPKP),” tutur Aryanthi Baramuli Putri, Ketua Umum Cancer Information and Support Center(CISC).
Dia melanjutkan, ke depannya IPKP akan mengajak se-mua pihak menyelenggarakan upaya penanggulangan kanker paru. Dengan adanya gerakan nasional ini, diharapkan masyarakat dapat berpartisipasi dan memberikan dukungan serta suara aktif dalam menekan angka kesakitan dan kematian akibat kanker paru di Indonesia.
Hadir pada kesempatan itu Melly Goeslaw yang didaulat menjadi Duta Gerakan Nasional IPKP Indonesia. Menurut Melly, riwayat keluarga yang merupakan penderita kanker telah mendorongnya untuk peduli dan peka dengan situasi kanker di Indonesia. “Karena itu, saya sangat mengapresiasi Gerakan Nasional Indonesia Peduli Kanker Paru,” katanya.
Sementara itu, Indro Warkop yang juga didaulat sebagai Duta Gerakan Nasional IPKP tidak menampik dukungan keluarga sangat penting bagi pasien kanker. “Saat terdeteksi kanker paru stadium 4, almarhumah istri saya sangat takut pada penyakit yang dideritanya. Melalui gerakan ini, saya ingin masyarakat memahami bahwa dukungan keluarga dan orang-orang terdekat sangat penting bagi pasien,” tuturnya. (Sri Noviarni)
(ysw)