Isu Lingkungan di UWRF

Jum'at, 21 November 2014 - 14:18 WIB
Isu Lingkungan di UWRF
Isu Lingkungan di UWRF
A A A
Beberapa tahun belakangan ini, isu lingkungan menjadi topik hangat yang tak kunjung habis dibicarakan. Mulai dari deforestasi, pemburuan satwa langka, hingga pengambilan terumbu karang secara ilegal.

Berkurangnya lahan hijau, menjamurnya gedung-gedung tinggi, dan gaya hidup masyarakat kini yang cenderung konsumtif memberikan dampak negatif pada alam. Menyadari hal tersebut, terhitung sejak tahun lalu, CEO The Body Shop (TBS) Indonesia Suzy Hutomo bersama Direktur Ubud Writers & Readers Festival (UWRF) Janet DeNeefe memasukkan isu lingkungan dalam pelaksanaan UWRF.

Kolaborasi TBS Indonesia dan UWRF menghadirkan Environment Daydalam rangkaian acara pelaksanaan UMRF 2014. Di acara Environment Dayini, para penggiat lingkungan, penulis, pembaca, dan peserta UWRF 2014 berkumpul untuk membahas isu lingkungan dari berbagai sisi.

Seperti pemaparan kondisi alam saat ini, pemutaran film dokumenter, diskusi, hingga menjaga alam dengan pemilihan makanan dalam keseharian. Tujuannya, saling menumbuhkan kepedulian melestarikan lingkungan hidup serta mewujudkan sustainability living melalui film dokumenter, buku, hingga makanan.

“Saya ingin memasukkan konten Indonesia dalam festival internasional dan mengangkat isu lingkungan yang bisa memberikan pandangan mengenai problem, solusi, dan inspirasi. Our planet need a voice,” kata Suzy kepada KORAN SINDO usai acara Environment Daydi Fivelement, Bali, beberapa waktu lalu.

Acara ini dihadiri oleh para penggiat yang memang ahli di bidangnya seperti Nadya Hutagalung yang aktif bersama WWF mengampanyekan penyelamatan gajah. Ada juga penggiat terumbu karang Naneng Setiasih dan Celia Gregory. Selain itu ada pemaparan kondisi perhutanan Papua saat ini oleh Bustar Maitar.

Tak ketinggalan, penjelasan pemilihan makanan ramah lingkungan oleh Mary Jane Edleson. Semua berfokus pada penyelamatan lingkungan dan apa yang bisa dilakukan. “We want people who have personality karena ini festival,” ujar Suzy.

Terkait penyelamatan gajah, Nadya mengatakan sekitar 70%-80% orang Asia tidak tahu bahwa gajah harus dibunuh guna diambil gadingnya. Tahun lalu, tercatat 38.000 gajah Afrika dibunuh untuk diambil gadingnya. Pengambilan gading ini biasanya digunakan sebagai pajangan dalam rumah atau aksesori yang melekat pada tubuh.

Padahal, Nadya mengatakan, melihat gajah berinteraksi satu sama lain merupakan pemandangan yang jauh lebih indah dibandingkan gading yang diambil untuk dijadikan sebagai pajangan atau aksesori. “Mengenakan atau memajang sesuatu yang berakibat pada kematian gajah, sama sekali tidak keren. Stop demand of ivory, it will stop a whole game,” kata Nadya usai pemutaran film dokumenter Let Elephants be Elephantsdi acara Environment Day.

Ema malini
(bbg)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.2144 seconds (0.1#10.140)