Puasa Intermiten Bantu Perangi Obesitas
A
A
A
WASHINGTON - Makan terjadwal yang melibatkan puasa intermiten bisa membantu memerangi tak hanya obesitas tapi juga banyak penyakit terkait kehidupan modern, seperti diabetes, penyakit jantung, kanker dan Alzheimer’s.
Saran yang diberikan dalam memerangi obesitas biasanya difokuskan pada konsumsi kalori yang lebih sedikit dan lebih banyak berolahraga. Selain itu, menyantap makanan seperti sayuran, buah, kacang-kacangan, serat dan ikan dan mengurangi atau menyingkirkan makanan ringan juga sering disarankan.
Tapi, bukti mengungkapkan aspek penting lain diet—kapan dan sesering apa orang makan—bisa memainkan peranan penting dalam kesehatan. Nyatanya, pola makan paling umum dalam masyarakat modern, makan sehari tiga kali plus makanan kecil, tidak normal dari perspektif evolusi manusia.
Sekelompok periset internasional yang menulis artikel mengenai hal tersebut di jurnal Proceedings of the National Academy of Sciences, mengatakan, lebih banyak riset memperlihatkan puasa intermiten bisa bermanfaat.
“Puasa saja lebih kuat dalam mencegah dan membalik sejumlah penyakit ketimbang obat-obatan,” ujar Satchidananda Panda, associate professor di Salk Institute for Biological Studies di San Diego, California dan salah satu penulis artikel itu, seperti dikutip Live Science.
Para pemburu dan peramu zaman dulu sering kali makan sebentar-sebentar. Ini mengindikasikan kemampuan berfungsi di level tinggi baik secara fisik dan mental selama periode lama tanpa makan mungkin bisa jadi penting dalam evolusi manusia dan tubuh manusia beradaptasi untuk tampil sebaik-baiknya dengan puasa intermiten.
Puasa intermiten itu bisa terdiri atas makan 500 kalori atau kurang dua hari tiap pekan atau tiap hari, atau tidak sarapan dan makan siang selama beberapa hari.
Riset sebelumnya mengindikasikan pada hewan, puasa intermiten bisa mencegah atau bahkan membalik penyakit seperti kanker, diabetes, penyakit jantung dan gangguan neurodegenerative. Kajian hewan mengindikasikan puasa intermiten memberikan manfaat ini dengan membiarkan tubuh merespons dengan lebih baik stres yang bisa merusaknya. Misalnya, puasa bisa membuat tumor lapar, mengurangi peradangan atau memperbaiki permbersihan molekul yang rusak dan kompenen lain sel.
“Puasa intermiten membantu tubuh mempermuda dan memperbaiki diri, dengan demikian mempromosikan kesehatan keseluruhan,” ujar Panda.
Tubuh bisa merespons dengan lebih baik makanan yang dimakan pada sekali waktu dalam sehari ketimbang lainnya karena ritme sirkadian. Pada tahun-tahun sebelum cahaya artifisial, orang bergantung pada pola alamiah siang dan malam, dengan makanan biasa dimakan pada siang hari dan puasa terjadi pada malam hari. Ini berarti, makna pada waktu tertentu pada siang hari bisa lebih sehat bagi metabolisme tubuh—misalnya, pada 2013, dua kajian pada manusia mengindikasikan, makan makanan lebih cepat pada siang hari memperbaiki penurunan berat badan pada orang yang mengalami kelebihan berat dan obesitas.
Menurut Panda, puasa intermiten bisa jadi menantang bagi orang-orang. Sarapan sering kali dipromosikan sebagai bantuan pengendali berat badan, tapi bukti terakhir menunjukkan hal itu bisa jadi tidak benar.
Riset lebih lanjut dibutuhkan untuk mengeksplorasi manfaat dan kerugian tipe puasa intermiten di berbagai populasi. “Efektivitasnya dalam mencegah dan membalik penyakit, serta interaksi dengan pengobatan standar penyakit metabolisme kronis, seharusnya diuji pada kelompok sukarelawan yang tepat,” papar Panda.
Saran yang diberikan dalam memerangi obesitas biasanya difokuskan pada konsumsi kalori yang lebih sedikit dan lebih banyak berolahraga. Selain itu, menyantap makanan seperti sayuran, buah, kacang-kacangan, serat dan ikan dan mengurangi atau menyingkirkan makanan ringan juga sering disarankan.
Tapi, bukti mengungkapkan aspek penting lain diet—kapan dan sesering apa orang makan—bisa memainkan peranan penting dalam kesehatan. Nyatanya, pola makan paling umum dalam masyarakat modern, makan sehari tiga kali plus makanan kecil, tidak normal dari perspektif evolusi manusia.
Sekelompok periset internasional yang menulis artikel mengenai hal tersebut di jurnal Proceedings of the National Academy of Sciences, mengatakan, lebih banyak riset memperlihatkan puasa intermiten bisa bermanfaat.
“Puasa saja lebih kuat dalam mencegah dan membalik sejumlah penyakit ketimbang obat-obatan,” ujar Satchidananda Panda, associate professor di Salk Institute for Biological Studies di San Diego, California dan salah satu penulis artikel itu, seperti dikutip Live Science.
Para pemburu dan peramu zaman dulu sering kali makan sebentar-sebentar. Ini mengindikasikan kemampuan berfungsi di level tinggi baik secara fisik dan mental selama periode lama tanpa makan mungkin bisa jadi penting dalam evolusi manusia dan tubuh manusia beradaptasi untuk tampil sebaik-baiknya dengan puasa intermiten.
Puasa intermiten itu bisa terdiri atas makan 500 kalori atau kurang dua hari tiap pekan atau tiap hari, atau tidak sarapan dan makan siang selama beberapa hari.
Riset sebelumnya mengindikasikan pada hewan, puasa intermiten bisa mencegah atau bahkan membalik penyakit seperti kanker, diabetes, penyakit jantung dan gangguan neurodegenerative. Kajian hewan mengindikasikan puasa intermiten memberikan manfaat ini dengan membiarkan tubuh merespons dengan lebih baik stres yang bisa merusaknya. Misalnya, puasa bisa membuat tumor lapar, mengurangi peradangan atau memperbaiki permbersihan molekul yang rusak dan kompenen lain sel.
“Puasa intermiten membantu tubuh mempermuda dan memperbaiki diri, dengan demikian mempromosikan kesehatan keseluruhan,” ujar Panda.
Tubuh bisa merespons dengan lebih baik makanan yang dimakan pada sekali waktu dalam sehari ketimbang lainnya karena ritme sirkadian. Pada tahun-tahun sebelum cahaya artifisial, orang bergantung pada pola alamiah siang dan malam, dengan makanan biasa dimakan pada siang hari dan puasa terjadi pada malam hari. Ini berarti, makna pada waktu tertentu pada siang hari bisa lebih sehat bagi metabolisme tubuh—misalnya, pada 2013, dua kajian pada manusia mengindikasikan, makan makanan lebih cepat pada siang hari memperbaiki penurunan berat badan pada orang yang mengalami kelebihan berat dan obesitas.
Menurut Panda, puasa intermiten bisa jadi menantang bagi orang-orang. Sarapan sering kali dipromosikan sebagai bantuan pengendali berat badan, tapi bukti terakhir menunjukkan hal itu bisa jadi tidak benar.
Riset lebih lanjut dibutuhkan untuk mengeksplorasi manfaat dan kerugian tipe puasa intermiten di berbagai populasi. “Efektivitasnya dalam mencegah dan membalik penyakit, serta interaksi dengan pengobatan standar penyakit metabolisme kronis, seharusnya diuji pada kelompok sukarelawan yang tepat,” papar Panda.
(alv)